Direlokasi Januari 2022, PKL Malioboro Masih Berbeda Sikap
Pemda DIY berencana merelokasi para pedagang kaki lima di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, pada Januari 2022. Sejumlah paguyuban PKL di Malioboro berbeda sikap menanggapi rencana relokasi itu.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Daerah DI Yogyakarta bakal merelokasi para pedagang kaki lima atau PKL di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, pada Januari 2022. Menanggapi rencana itu, sejumlah paguyuban PKL di Malioboro berbeda sikap. Ada yang menerima relokasi dengan sejumlah syarat, tetapi sebagian lain keberatan.
”Kami targetkan relokasi dilakukan Januari 2022. Ini sekarang berproses terus,” ujar Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah DIY Srie Nurkyatsiwi saat dihubungi, Kamis (2/12/2021), di Yogyakarta.
Relokasi PKL di kawasan wisata Malioboro itu dilakukan sebagai bagian dari penataan kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Sumbu Filosofi merupakan garis lurus yang membentang dari tiga bangunan penting di Yogyakarta, yakni Tugu Golong Gilig atau Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Sumbu Filosofi itu melambangkan perjalanan manusia sejak lahir hingga meninggal atau kembali kepada Tuhan. Sejak beberapa tahun lalu, Pemda DIY berencana mengajukan kawasan Sumbu Filosofi agar ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Usulan disampaikan kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta mencakup wilayah Malioboro sehingga Pemda DIY juga berencana menata kawasan wisata favorit ”Kota Gudeg” itu. Penataan tersebut, antara lain, dilakukan dengan merelokasi atau memindahkan PKL yang selama ini berjualan di sepanjang trotoar kawasan Malioboro.
Nurkyatsiwi mengatakan, para PKL yang selama ini berjualan di trotoar itu akan dipindahkan ke dua lokasi yang masih berada di kawasan Malioboro. Lokasi pertama adalah bangunan di lahan bekas Bioskop Indra yang berada di seberang Pasar Beringharjo. Bangunan tersebut terdiri atas tiga lantai dan sudah selesai dibangun sejak beberapa tahun lalu.
Adapun lokasi kedua menempati lahan bekas Kantor Dinas Pariwisata DIY di dekat Gedung DPRD DIY. Saat ini, di lahan tersebut sedang dibangun los atau tempat berjualan untuk para PKL Malioboro. Pembangunan los ditargetkan selesai Desember ini. ”Itu sudah proses dibangun sekarang. Targetnya Desember ini siap,” ujar Nurkyatsiwi.
Berdasarkan informasi di situs Layanan Pengadaan secara Elektronik (LPSE) Kota Yogyakarta, pembangunan los tersebut dilakukan Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta. Anggaran pembangunannya mencapai Rp 2,569 miliar.
Saat ditanya berapa jumlah PKL yang bisa ditampung di dua lokasi itu, Nurkyatsiwi belum bisa menjelaskan secara rinci. Saat ini, Pemda DIY dan Pemerintah Kota Yogyakarta masih melakukan pendataan untuk memastikan jumlah PKL di kawasan Malioboro. Namun, berdasarkan pendataan awal, jumlahnya sekitar 2.000 orang.
”Untuk pendataan, terus berproses. Nanti kami akan lihat,” ujarnya. Dia menambahkan, Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta juga akan memverifikasi izin para PKL di Malioboro. Mereka yang berizin resmi diutamakan mendapat tempat di lokasi relokasi.
”Kami akan identifikasi legalitas perizinannya. Bukan yang enggak punya izin terus enggak kami lindungi. Pasti dilindungi, tapi penanganan dilakukan secara bertahap,” tambah Nurkyatsiwi.
Sikap paguyuban
Menanggapi rencana relokasi itu, sebagian paguyuban PKL di kawasan Malioboro mengaku keberatan. Keberatan, antara lain, disampaikan Paguyuban Angkringan Malioboro yang beranggotakan sekitar 40 penjual makanan dengan angkringan di trotoar sisi timur kawasan Malioboro.
Ketua Paguyuban Angkringan Malioboro Yati Dimanto menyatakan, para penjual angkringan di kawasan Malioboro merasa keberatan dengan rencana relokasi tersebut. Keberatan muncul karena relokasi dikhawatirkan membuat pendapatan mereka anjlok.
Yati menambahkan, selama masa pandemi Covid-19, pendapatan para PKL di kawasan Malioboro menurun signifikan karena jumlah pengunjung berkurang drastis. Beberapa waktu terakhir, kunjungan wisatawan ke Malioboro memang sudah mulai pulih karena kasus Covid-19 mulai terkendali.
Meski begitu, kondisi perekonomian para PKL di kawasan Malioboro belum sepenuhnya pulih. ”Bisa dikatakan baru beberapa hari dapat duit. Ibaratnya itu kita baru saja bangun tidur, lalu mau mendapat rezeki, tapi tahu-tahu ada berita soal relokasi,” ujar Yati yang sudah berjualan di kawasan Malioboro selama belasan tahun.
Yati mengatakan, para PKL di kawasan Malioboro sebenarnya bersedia ditata asalkan mereka tetap diperbolehkan berjualan di trotoar. ”Harapannya, bisa tetap berjualan di sini. Kami siap kok ditata, tapi tetap di sini. Silakan Malioboro dijadikan indah, tapi tidak perlu memindah,” tuturnya.
Sikap berbeda disampaikan Paguyuban PKL Malioboro-Ahmad Yani (Pemalni) yang beranggotakan 444 PKL di kawasan Malioboro. Kebanyakan anggota Pemalni berjualan pakaian dan cendera mata di trotoar kawasan Malioboro.
Ketua Pemalni Slamet Santoso mengatakan, pihaknya tidak memiliki peluang menolak relokasi karena Pemda DIY sudah mengambil keputusan. Oleh karena itu, Slamet menyebut, para anggota Pemalni menerima rencana relokasi dengan sejumlah syarat. ”Tidak ada penawaran, mau tidak mau harus relokasi. Jadi, kami menerima dengan syarat,” ujarnya.
Slamet menuturkan, syarat pertama yang diajukan Pemalni adalah semua anggota paguyuban itu harus mendapat tempat berjualan di lokasi relokasi. Syarat kedua, tempat relokasi itu harus layak untuk berjualan dan ukurannya memadai. ”Jangan sampai di tempat yang baru nanti tidak layak untuk berjualan, termasuk luasannya,” katanya.
Syarat ketiga, Pemda DIY harus melakukan berbagai upaya agar tempat relokasi PKL itu bisa dikenal dan didatangi wisatawan. Dengan begitu, pendapatan para PKL tidak akan anjlok saat menempati tempat baru. ”Jadi, jangan seperti memindahkan ikan ke akuarium yang kering,” ucap Slamet.
Syarat keempat, setelah relokasi PKL dilakukan, trotoar kawasan Malioboro tidak dijadikan tempat berjualan oleh pedagang lain. Syarat kelima, Pemalni meminta Pemda DIY memberikan bantuan jatah hidup (jadup) untuk para PKL selama masa transisi relokasi ke tempat baru.
Syarat keenam, Pemalni meminta proses relokasi tidak dilakukan Januari 2022, tetapi diundur setelah libur hari raya Idul Fitri yang jatuh pada Mei 2022. Sebab, pada masa libur Idul Fitri, banyak wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta sehingga pendapatan para PKL biasanya meningkat.
”Kami meminta penundaan relokasi sampai setelah libur Idul Fitri. Masa libur Idul Fitri, kan, masa-masa yang diharapkan PKL untuk panen pembeli karena banyak wisatawan yang masuk ke Yogyakarta,” ujarnya.