UMK 2022 Dinilai Memberatkan, Pengusaha Jatim Berencana Tempuh Jalur Hukum
Penetapan UMK 2022 di Jatim dinilai memberatkan dan tidak memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha. Pengusaha berencana mengajukan keberatan dan menggugat ke pengadilan sebagai pembelajaran bagi semua pihak.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan besaran upah minimum kabupaten dan kota di wilayahnya dengan rata-rata kenaikan sebesar Rp 75.000 atau 1,75 persen pada wilayah ekonomi utama atau ring satu. Kebijakan itu dinilai memberatkan dan tidak memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha. Pengusaha berencana mengajukan keberatan dan melayangkan gugatan ke pengadilan.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto mengatakan, keputusan Gubernur Jatim tentang penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2022 sangat memberatkan pengusaha. Alasannya, situasi saat ini masih dalam kondisi pandemi Covid-19.
”Keputusan tersebut sebenarnya juga berat bagi buruh dan pemerintah. Angka kenaikan Rp 75.000 itu mungkin adalah angka kebersamaan karena pemerintah juga harus mengakomodasi tuntutan buruh,” ujar Adik di Surabaya, Rabu (1/12/2021).
Apabila ada buruh yang keberatan dengan keputusan mengenai upah tersebut, pihaknya mengimbau jangan melakukan demo lagi. Lebih baik para pekerja kembali bekerja dan menyalurkan aspirasinya melalui jalur hukum. Demikian halnya dengan para pengusaha yang tidak setuju, dipersilakan menempuh jalur hukum agar stabilitas ekonomi Jatim tetap terjaga.
Adik mengatakan keberatan pelaku usaha mengenai keputusan tentang UMK 2022 merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya tidak ada kenaikan upah untuk lima kabupaten dan kota yang masuk ring satu Jatim, yakni Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Mojokerto.
Dalam putusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/803/KPTS/013/2021 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2022, Surabaya mengantongi upah tertinggi, yakni Rp 4.375.479 per pekerja per bulan. Adapun upah terendah di Kabupaten Sampang yakni Rp 1.922.122.
Khusus lima kabupaten dan kota yang masuk ring satu, yakni Surabaya, Kabupaten Gresik, Mojokerto, Sidoarjo, dan Pasuruan, terdapat kenaikan UMK sebesar 1,74-1,75 persen dari tahun sebelumnya. Pertimbangannya, kelima daerah tersebut merupakan kawasan padat industri.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa berharap keputusan itu dipatuhi semua pihak. ”Keputusan kenaikan UMK 2022 diambil dengan memperhatikan rasa keadilan, mempertimbangkan kondisi perekonomian, serta menjamin kondisi sektor industri dan ketenagakerjaan yang kondusif,” ujar Khofifah di Gedung Negara Grahadi, Rabu (1/12/2021).
Namun, Adik menilai upah di lima kabupaten dan kota tersebut sudah melampaui batas maksimal sehingga ketika ada kenaikan upah kembali sangat memberatkan pengusaha dan akan menimbulkan disparitas upah yang cukup jauh dengan kota lain, misalnya dengan daerah di Jawa Tengah.
”Contohnya upah di Surabaya dan Solo. Tahun ini UMK Surabaya sebesar Rp 4.300.479 dan di tahun 2022 menjadi Rp 4.375.479,19, naik Rp 75.000. Sementara UMK Solo tahun 2021 sebesar Rp 2.013.810 dan di tahun 2022 menjadi Rp 2.034.810, naik sebesar Rp 21.000. Artinya, disparitas upah antara Surabaya dan Solo mencapai lebih dari Rp 2,3 juta,” kata Andik.
Sementara industri di Jateng memiliki banyak kesamaan dengan industri yang ada di Jatim, termasuk pasarnya juga sama. Hal ini akan berpengaruh pada daya saing produk yang dihasilkan terutama oleh industri di Jatim.
Untuk itu, Kadin Jatim berharap tahun depan harus ada kepastian hukum. Apabila tahun depan masih tidak ada kepastian hukum, besar kemungkinan akan lebih banyak industri di Jatim yang merelokasi perusahaannya ke daerah yang nilai UMK-nya relatif rendah dan bisa ditoleransi. Apalagi saat ini infrastruktur semakin baik, seperti akses tol yang kian banyak.
Adik menambahkan, sebenarnya upah tinggi akan berdampak negatif terhadap upaya pemerintah dalam melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi, baik daerah maupun nasional. Lapangan kerja menjadi terbatas, yang disebabkan adanya upaya efisiensi atau rasionalisasi yang dilakukan pengusaha karena tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut.
Selain itu, upah yang tinggi juga berdampak terjadinya substitusi tenaga kerja ke mesin, memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Di sisi lain, pengusaha yang akan membuka lowongan pekerjaan juga berpikir lagi dengan besarnya kenaikan upah yang dipaksakan tersebut sehingga akan terjadi perlambatan perluasan kesempatan kerja baru.
Lebih jauh lagi, Adik meyakini kebijakan pengupahan akan berpengaruh pada iklim investasi di sebuah daerah. Kebijakan kenaikan upah yang melebihi kemampuan investor akan mendorong terjadinya relokasi perusahaan, dari lokasi yang memiliki nilai upah minimum tinggi ke yang lebih rendah, hingga mendorong tutupnya perusahaan.
Keberatan dan gugatan
Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim dalam pernyataan resminya mengaku kecewa dan menyayangkan keputusan Gubernur Jatim tentang UMK 2022. Wakil Ketua Apindo Jatim Johnson M Simanjuntak mengatakan, pihaknya berencana menempuh jalur hukum untuk menyampaikan aspirasinya atas kebijakan tersebut sebagai bentuk pembelajaran bagi semua pihak agar dapat dihargai, dihormati, dan dimengerti demi terciptanya kepastian bagi dunia usaha.
Hari Purnama dari Divisi Advokasi Apindo Jatim menambahkan, upaya hukum yang akan ditempuh antaralain secara administratif mengajukan keberatan terhadap keluarnya surat keputusan tersebut. Selanjutnya, mengajukan gugatan ke PTUN. Namun, langkah tersebut akan dikoordinasikan lebih dulu dengan para pengusaha di Jatim.
Menurut Apindo, idealnya kenaikan upah sesuai dengan PP No 36/2021. Dengan besaran UMK yang ditetapkan saat ini, diprediksi kemampuan bayar pengusaha hanya 15-20 persen atau maksimal 30 persen dari total perusahaan di Jatim.
Selama sepuluh tahun belakangan, upah di Jatim terutama di ring satu, nilainya cukup tinggi, yakni di atas Rp 4 juta per orang per bulan. Padahal, upah ini merupakan standar minimum yang berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun.