Pengusaha dan Pekerja Menolak Penetapan UMK Jawa Timur
Pengusaha dan pekerja di Jawa Timur menolak penetapan upah minimum kabupaten/kota meski dengan sudut pandang berbeda.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kalangan pengusaha dan pekerja menolak penetapan upah minimum kabupaten/kota 2022 untuk 38 daerah di Jawa Timur. Meski sama-sama menolak, sudut pandang pengusaha dan pekerja berbeda.
Kalangan pengusaha menolak penetapan UMK di Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Pasuruan karena di luar formulasi Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Khusus untuk kawasan utama ekonomi itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengabaikan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan yang mewajibkan penetapan UMK 2022 menggunakan formulasi PP No 31/2021 dengan kenaikan sekitar Rp 7.000.
Sesuai dengan Keputusan Gubernur Jatim Nomor 188/803/Kpts/013/2021 tentang UMK di Jawa Timur Tahun 2022, di Surabaya, upah minimum Rp 4,375 juta atau naik Rp 75.000 dari tahun sebelumnya. Kenaikan yang relatif setara juga dialami oleh Gresik yang Rp 4,372 juta, Sidoarjo di Rp 4,368 juta, Kabupaten Pasuruan yang Rp 4,365 juta, dan Kabupaten Mojokerto di Rp 4,354 juta.
Dari keputusan itu, upah di Surabaya yang tertinggi di Jatim. Upah terendah ada di Sampang, Pulau Madura, dengan Rp 1,922 juta yang tidak naik dibandingkan dengan tahun lalu.
Penetapan di lima kabupaten/kota itu tidak sesuai PP Pengupahan, memang secara nominal kecil, tapi kalau dikalikan ribuan pekerja, kan menjadi besar. (Johnson Simanjuntak)
Penetapan UMK di lima daerah memang diapresiasi oleh kalangan pekerja. Namun, Khofifah tidak melakukannya untuk kabupaten/kota lainnya. Buruh menolak kebijakan Khofifah yang masih menggunakan formulasi PP bahkan mengakibatkan nilai upah di beberapa daerah tidak naik. Misalnya Kabupaten Malang (Rp 3,068 juta), Jombang (Rp 2,654 juta), Kabupaten Probolinggo (Rp 2,553 juta), Jember (Rp 2,355 juta), dan Pacitan (Rp 1,961 juta).
Wakil Koordinator Bidang Pengupahan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim Johnson Simanjuntak mengatakan, pihaknya akan menggugat Keputusan Gubernur Jatim tentang UMK 2022 itu ke jalur hukum. Alasannya, keputusan itu tidak memiliki kepastian hukum.
”Penetapan di lima kabupaten/kota itu tidak sesuai PP Pengupahan, memang secara nominal kecil, tapi kalau dikalikan ribuan pekerja, kan menjadi besar,” kata Johnson.
Sekretaris Eksekutif Apindo Jatim Made Sujana mengatakan, kenaikan upah di ring 1 berkali-kali lipat dibandingkan dengan amanat PP Pengupahan. Kawasan ini memang padat industri. Namun, untuk 33 kabupaten/kota lainnya, Khofifah menggunakan PP Pengupahan untuk penetapan UMK. Situasi inilah yang dianggap kalangan pengusaha bahwa Khofifah tidak memberikan kepastian hukum.
”Penetapan yang berbeda akan membawa ketidakpastian dalam investasi dan lainnya di Jatim untuk tahun-tahun berikutnya,” kata Made.
Secara terpisah, Juru Bicara Gerakan Serikat Pekerja (Gasper) Jatim Jazuli mengatakan, untuk penetapan upah di lima kab/kota diapresiasi oleh buruh. Namun, Khofifah juga dipertanyakan karena tidak menerapkan kebijakan serupa di seluruh wilayah.
Jazuli mencontohkan, di Tuban ada industri semen yang berkontribusi besar bagi ekonomi Jatim. Namun, di Tuban, upah minimum naik Rp 6.990 sesuai PP Pengupahan menjadi Rp 2,539 juta. Tuban sepatutnya dipandang setara dengan ring 1 begitu pula daerah lainnya.
”Penetapan upah di Tubah dan daerah lainnya sesuai PP Pengupahan menimbulkan ketidakadilan sosial,” katanya.
Kalangan buruh berpendapat, skema pengupahan yang naik cuma Rp 7.000 tidak memberi nilai tambah bagi kehidupan pekerja. Kenaikan amat minim itu jauh di bawah tingkat kenaikan harga atau inflasi. Kenaikan tidak akan berdampak sedikit pun terhadap ancaman gerusan daya beli buruh terhadap komoditas kebutuhan utama terutama pangan dan sandang.
”Kami berencana juga mengugat keputusan UMK dari gubernur,” ujar Jazuli.
Buruh mengingatkan, bersamaan dengan proses pembahasan dan penetapan UMP dan UMK, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah dan DPR diminta memperbaiki regulasi itu dalam dua tahun atau menjadi inkonstitusional permanen.
Keputusan itu pada prinsipnya tidak membatalkan UU Cipta Kerja sehingga masih berlaku tetapi harus diperbaiki dalam dua tahun. Kalangan buruh mendesak gubernur dalam menetapkan UMK tidak bersandar pada PP Pengupahan mengingat UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Namun, di sisi lain, pengusaha memandang UU tadi belum dinyatakan batal sehingga aturan turunan, yakni PP Pengupahan tetap bisa dijadikan landasan dalam penetapan UMK.