Pemilihan Kuwu Cirebon, Harapan Rakyat Sejahtera Bukan Berujung Penjara
Pemilihan kuwu di Cirebon menyisakan banyak pekerjaan rumah. Di tengah tingginya biaya dan belum idealnya perilaku demokrasi, kesejahteraan warga menjadi masalah yang belum juga bisa dirampungkan seutuhnya.
Ratusan orang memadati jalan raya di depan Kantor Desa Kertasura, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Minggu (21/11/2021) sore. Mengenakan pakaian hitam, massa ”wong ireng” itu meluapkan kegembiraan setelah calon kuwu atau kepala desa kandidat mereka memenangkan perhitungan pemilihan kuwu.
Menunjukkan jari berbentuk ”V”, mereka menyerukan nama calon Kuwu Kertasura nomor 2, H Jadiya. Knalpot sepeda motor meraung-raung. Beberapa di antaranya membawa spanduk berisi foto kandidat dengan tulisan kang wis pasti lan teruji, kuwue wong Kertasura (yang pasti dan terbukti, kuwunya warga Kertasura).
Polisi bersenjata api tak kuasa membendung massa. Mereka hanya mengarahkan kendaraan ke jalur lain. Jalan arah ke Indramayu diduduki massa. Kepadatan kendaraan pun terjadi hingga sekitar 500 meter. Laju sepeda motor, mobil, hingga truk pengangkut minyak terpaksa melambat.
Suasana kian mencekam ketika massa pawai jalan kaki ke arah markas ”wong putih” calon kuwu nomor 1, Mohamad Iwan. Sejumlah jurnalis yang meliput memindahkan sepeda motor ke tempat aman. Pemilihan kuwu di Kertasura dianggap rawan konflik, antara lain karena hanya diikuti dua kandidat.
Beruntung, aparat polisi dan TNI menghalau massa. Sebagian menggunakan jaket antipeluru hingga membawa senapan laras panjang. Menggunakan pengeras suara, Kepala Kepolisian Resor Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Fahri Siregar mendesak massa mundur. Aparat dengan pelindung dan tembakan gas air mata siaga.
”Kalau enggak mau bubar, saya bubarin dengan cara saya,” ujarnya.
Baca juga: Pemilihan Kuwu di Cirebon, Arus Lalu Lintas Terganggu
Memukul tiang listrik dengan tongkatnya, Fahri mengancam mengangkut sepeda motor warga yang parkir di bahu jalan. Warga kelimpungan menyelamatkan kendaraannya dan masuk rumah. Simpatisan yang berkumpul di rumah kandidat juga diminta pulang.
”Yang masih berkerumun, saya proses pelanggaran prokes (protokol kesehatan),” katanya.
Dalam Pasal 70 Peraturan Bupati Nomor 74 Tahun 2021, calon kuwu, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, pendukung, dan unsur lain dapat dikenai sanksi jika melanggar prokes. Sanksinya mulai dari teguran lisan, tertulis, hingga diskualifikasi. ”(Kalau ada pelanggaran) Kita proses hukum. Itu pasti,” ujar Fahri.
Setelah sejam ditutup, jalan raya tersebut kembali normal. Suasana pun kondusif. Namun, sehari berikutnya, Senin (22/11/2021), bentrokan nyaris terjadi di antara dua kubu. Polisi sigap menghalaunya. Itu sebabnya, meski kontestasi pilwu telah usai, polisi masih tampak berjaga, Jumat (26/11/2021).
Mudi, ketua tim sukses calon kuwu H Jadiya, mengatakan, warga tidak berniat menghambat arus lalu lintas atau mengganggu kondusivitas. ”Tadi bentuk kegembiraan saja karena warga sudah berjuang sejak 2020. Apalagi, ini pertama kali kuwu menjabat dua periode,” ujarnya.
Sosok kuwu itu paling dihargai. Lebih dihormati dibandingkan dewan atau menteri. Kalau hajatan, kursi kuwu itu beda. (H Soelama Hadi)
Dukun bertindak
Ia menuturkan, persiapan pilwu sudah dimulai sejak Maret tahun lalu. Dari bikin seragam, mengunjungi rumah-rumah warga, hingga membangun 55 posko pemenangan untuk mengambil hati sekitar 6.000 warga Kertasura. Baliho besar kandidat, bahkan dengan gemerlap lampu, juga terpampang di pinggir jalan.
”Ini semua dari masyarakat secara sukarela, bukan dari pak kuwu (Jadiya). Dia enggak punya uang banyak. Cuma uang es saja,” ujarnya.
Mudi tidak menjelaskan apa yang dimaksud uang es. Ia menampik melakukan politik uang dalam pilwu. Warga, katanya, memilih petahana karena kinerjanya sudah terlihat, seperti jalan beton di kampung.
Totalitas warga mendukung kandidatnya kian tampak saat pemungutan suara. Mereka mendatangi dan menyalami calon kuwu. Bahkan, ada yang memberi ayam peliharaannya cuma-cuma. Pendukung calon Kuwu Suranenggala Kidul nomor 4, Narisa, misalnya, menyiapkan 7 ekor ayam.
Setiap ayam berkokok, warga bersorak. Konon, semakin sering ayam bersuara, kian besar peluang calon kuwu menang. Ketika tim sukses datang mengabarkan Narisa menang di salah satu tempat pemungutan suara, warga langsung merebut ayam di dalam kandang. ”Ini sudah tradisi setiap pilwu,” kata Ruslani, ketua timses Narisa.
Baca juga: Pilkades ”Obat Turun Panas” Politik Akar Rumput di Kabupaten Tangerang
Seperti Jadiya, Narisa juga menyimbolkan kubunya sebagai ”wong ireng” (hitam). Tiga kandidat kuwu Suranenggala Kidul lainnya mengambil warna putih, hijau, dan merah. ”Kami ingin perubahan. Di sini kalau hujan, sawah kebanjiran. Kemarau, kekeringan,” ujarnya.
Tidak hanya yang tampak, kandidat pun mencari dukungan tak kasatmata. Di perempatan jalan desa menuju rumah Narisa, Ratmi (80) tidak tidur sehari semalam demi menjaga api kemenyan. Beralaskan tikar, nenek tujuh cucu ini duduk merapalkan sesuatu. Jemarinya yang keriput menggerakkan manik-manik bertali.
”Kalau asapnya banyak dan apinya keluar terus mestinya jadi (kuwu),” ujar Ratmi dalam bahasa Cirebon sembari menyebutkan salah satu calon kuwu. Itu sebabnya, ketika asap meredup, ia langsung menambah serbuk kemenyan. Lagi pula, asap wangi itu juga menjaganya dari gigitan nyamuk. Api itu membakar walang sangit yang sempat menempel di rambut putihnya.
Di depannya, tampak sesajen seperti kendi beras, pisang, hingga tumpeng. ”Kendi itu untuk mengusir (sesuatu) yang enggak kelihatan. Beras supaya (calon kuwu) sehat. Tumpeng untuk jadi orang lurus (tidak melanggar aturan). Pisang supaya banyak rezeki. Kalau daun beringin agar bisa mengayomi,” katanya.
Ratmi mengaku, ia sudah 10 kali membantu calon kuwu. Buruh tani ini mulai terjun menjadi dukun pilwu dengan sejumlah persyaratan. Misalnya, tidak lagi punya suami dan tidak haid. Ia juga mengklaim harus puasa. Beberapa calon kuwu yang pernah ia bantu memenangkan kontestasi.
Seperti jasa, Ratmi juga meraup rupiah jika kerjaannya tuntas setelah perhitungan suara. ”Dikasih (uang untuk) jajan. Jumlahnya enggak tahu. Kalau jadi (kuwu), ya, ramai orang. Kalau enggak jadi, ya, enggak ramai,” ujarya sambil mengunyah sirih.
Berbagai usaha kandidat dan pendukungnya merebut takhta ”raja kecil” itu, menurut pengamat budaya Cirebon, H Soelama Hadi, merupakan wujud sakralnya posisi kuwu. Apalagi di Cirebon bagian utara, seperti Kecamatan Kapetakan dan Suranenggala.
”Sosok kuwu itu paling dihargai. Lebih dihormati dibandingkan dewan atau menteri. Kalau hajatan, kursi kuwu itu beda,” katanya.
Pandangan itu tidak bisa dilepaskan dari Mbah Kuwu Cirebon atau Ki Gede Alang-Alang. Sosok tersebut membuat permukiman pada abad ke-14 yang belakangan dikenal sebagai Caruban atau Cirebon.
Setelah wafat, Ki Kuwu digantikan Pangeran Cakrabuwana. Jabatan kuwu saat itu sangat dihormati masyarakat Cirebon, Arab, hingga China yang berdagang di sana.
Karena pilwu lebih dekat ke perasaan, emosional. Masyarakat dengan kandidat itu biasa jadi kerabat, sepupu, atau saudara. (Rosidin)
Miliaran rupiah
Kuatnya kultur itu, kata Soelama, membuat masyarakat mengerahkan semua daya upaya saat pilwu. ”Di sini ada (calon) yang sampai keluar Rp 7 miliar. Itu untuk baliho sampai santunan. Apakah sampai selesai menjabat, uang itu kembali? Makanya, ada ungkapan biar tekor asal kesohor,” kata pimpinan grup Sandiwara Jayabaya ini.
Dengan gaji sekitar Rp 4 juta dan masa jabatan enam tahun, seorang kuwu hanya mendapatkan kurang dari Rp 300 juta. Sangat jauh dari ongkos yang dikeluarkan saat pilwu. Meski demikian, mereka bisa mengelola tanah desa berhektar-hektar dan anggaran dana desa lebih dari Rp 1 miliar per tahun. Ini belum termasuk keuntungan sosial sebagai kuwu.
Tidak mengherankan, sebanyak 476 calon kuwu berlomba menduduki kursi pemimpin di 135 desa tahun ini. Bahkan, terdapat lebih dari lima kandidat di sejumlah desa. Lebih dari 500.000 orang dari total 2,2 juta penduduk Cirebon juga turut serta menyalurkan aspirasinya.
Sayangnya, sejumlah hasil pilwu kerap mengecewakan. Sedikitnya, lima kuwu harus mendekam di penjara karena terlibat korupsi. Benih korupsi itu sudah muncul dengan politik uang. Pemilih biasanya ditawarkan Rp 50.000 hingga ratusan ribu rupiah untuk mencoblos salah satu kandidat.
”Bahkan, ada yang Rp 1 juta per kepala (keluarga),” katanya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Cirebon Erus Rusmana menilai, politik uang seharusnya tidak terjadi karena biaya pelaksanaan pilwu sudah ditanggung pemkab. Lebih dari Rp 21 miliar disiapkan untuk pilwu di 135 desa. ”Calon kuwu tidak dibebankan biaya. Tetapi, berapa dana yang mereka keluarkan kami tidak tahu. Belum ada kajiannya,” ujarnya.
Hingga kini, belum ada sistem memadai untuk memantau politik uang di pilwu. Jika di pemilu ada Badan Pengawas Pemilu, di pilwu belum tersedia. Calon kuwu juga tidak wajib melaporkan harta kekayaannya kepada publik.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengakui, pilwu Cirebon rawan politik uang. ”Kalau masyarakat rasional, mau serangan fajar, serangan isya, dzuhur, ambil duitnya tapi jangan dipilih (calonnya). Kalau (politik uang) ini dilakukan terus-menerus, nanti desanya enggak maju-maju karena dipimpin orang yang enggak layak,” ujarnya.
Baca juga: Pandemi, Kemiskinan dan Pengangguran di Kota Cirebon Meningkat
Pernyataan bupati boleh jadi benar. Tahun lalu, Cirebon menjadi daerah urutan kelima termiskin di Jabar, yakni persentase penduduk miskin mencapai 11,24 persen atau 247.940 jiwa. Jumlah itu yang tertinggi sejak 2018. Indeks Pembangunan Manusia di Cirebon juga tergolong sedang, yakni 68,75. Angka ini di bawah rata-rata IPM Jabar, 72,09.
Rosidin, Direktur Fahmina Institute, menilai, dampak buruk pilwu lainnya adalah masyarakat yang terpecah. Sebagai organisasi nirlaba yang bergerak pada isu keindonesiaan, kemanusiaan, dan keadilan di wilayah Cirebon, pihaknya menemukan tingkat kerawanan konflik pada pilwu lebih tinggi dibandingkan pemilu atau pemilihan presiden.
”Karena pilwu lebih dekat ke perasaan, emosional. Masyarakat dengan kandidat itu biasa jadi kerabat, sepupu, atau saudara,” katanya. Saking dekatnya, nyaris asas rahasia dan pemilihan tidak lagi tampak. Warga datang memilih mengenakan seragam bertuliskan kandidat. Gapura kampung menyimbolkan salah satu calon.
Spanduk bukan hanya sebagai alat kampanye, melainkan juga penanda bahwa warga tersebut memilih salah satu calon. Bahkan, di sejumlah rumah warga di Kertasura tertulis, Maaf, kitae wong ireng yang merujuk kandidat tertentu. Di media sosial, saling hujat antarpendukung tak terelakkan.
Oleh karena itu, Rosidin mendorong pentingnya pendidikan politik bagi warga. Kode etik pilwu, seperti tidak menyebar ujaran kebencian juga perlu dibuat. Tokoh agama dan masyarakat diharapkan turut mencegah konflik saat pilwu. Pilwu seharusnya menguarkan aroma harum bak kemenyan, bukan buruk walang sangit hingga berujung masuk penjara.
Baca juga: Suap Penjabat Kepala Desa