Mereka Berjuang Mempertahankan Hidup di Pulau Amat Belanda
Kasus HIV pertama di Batam ditemukan pada 1992. Pengidapnya seorang pekerja seks yang tertular laki-laki Singapura. Hingga sebelum pandemi, apek-apek dari negeri seberang adalah pelanggan utama bisnis pelacuran di Batam.
”Tempat ini tidak pernah diresmikan atau disahkan sebagai lokalisasi. Izin tentu tidak ada, tetapi pemerintah dan aparat tahu,” kata Cala (65), Kamis (4/11/2021).
Ia adalah ketua rukun tetangga di Pulau Amat Belanda, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau seluas sekitar 5 hektar itu terletak di Selat Singapura, lebih kurang sejauh 10 kilometer dari Singapura.
Kata orang, nama Amat Belanda berasal dari salah seorang penduduk setempat, yakni Ahmad yang sehari-hari akrab disapa Amat. Kebetulan fisik Amat seperti orang bule dari Belanda yang berkulit putih dan berbadan tinggi besar. Maka, oleh penduduk sekitar tempat itu pun lalu disebut Pulau (Si) Amat Belanda.
Bila siang hari, Pulau Amat Belanda sekilas tampak seperti kampung nelayan biasa. Rumah-rumah panggung berderet dan saling terhubung oleh jembatan papan. Di kaki jembatan, sampan-sampan ditambatkan.
Namun, ketika mulai melangkah ke dalam, beberapa rumah terlihat lebih mencolok. Ruang tamu mereka tampak amat besar dengan sofa empuk dan pengeras suara serta televisi layar lebar.
Di balai-balai salah satu rumah yang paling besar ada tulisan ”Sky Dog”. Menurut Cala, itu adalah tempat karaoke yang paling terkenal di Pulau Amat Belanda.
Seorang perempuan berdiri di depan rumah. Pada siang yang sangat terik itu, ia mengenakan kaus ketat dan celana pendek. Riasan di wajahnya tebal dengan gincu merah dan bulu mata lentik. Bibirnya mengeluarkan asap rokok saat bicara.
Pada 1990-an, Pulau Amat Belanda adalah pusat ekonomi malam di Batam. Pulau itu penuh dengan ratusan perempuan dari sejumlah daerah, terutama pantai utara Jawa. Mereka bekerja sebagai pekerja seks atau yang di sana jamak disebut cewek.
”Waktu itu (Pulau) Batam masih sepi kayak tempat jin buang anak. Makanya, orang Singapura larinya ke sini. Awal mula dunia malam Batam itu di sini,” ujar Cala.
Mayoritas tamu di sana adalah laki-laki asal Singapura. Kebanyakan dari mereka sudah paruh baya. Orang-orang itu lazim disebut warga lokal sebagai apek-apek.
Selain apek-apek, pelanggan lokalisasi Pulau Amat Belanda adalah para pelaut, yang kapalnya lego jangkar di sekitar Selat Singapura. Mereka biasanya datang menyewa sampan atau yang di kalangan pelaut dikenal sebagai love boat.
Lokalisasi di Pulau Amat Belanda mulai surut sejak awal 2000-an. Popularitasnya tergeser tempat hiburan lain di Pulau Batam, seperti Nagoya dan Sintai. Dulu ada lebih dari 600 orang yang bermukim di Pulau Amat Belanda. Namun, kini jumlah penduduk di sana sekitar 200 jiwa saja.
Pengelola tempat karaoke ”Sky Dog”, Khusnul (50), mengatakan, kini semua tempat hiburan di Pulau Amat Belanda tutup karena pandemi Covid-19. Biasanya di tempat itu ada enam cewek yang bekerja, tetapi kini tinggal satu pramuria yang bertahan.
Susi (39), bukan nama sebenarnya, adalah satu-satunya pramuria yang bertahan di Sky Dog. Ia berasal dari Binjai, Sumatera Utara. Karena tak ada pengunjung, kini sehari-hari ia membantu Khusnul menjemur rengkam (sejenis rumput laut). Dari hasil penjualan rengkam yang harganya Rp 1.700 per kilogram itu, mereka bertahan hidup.
”Tadinya cewek di sini cantik-cantik, gara-gara ngurus (rengkam) ini sekarang jadi berkarat,” ujar Khusnul berseloroh.
Kawin kontrak
Selain bekerja di tempat hiburan, ada beberapa perempuan di Pulau Amat Belanda yang menikah dengan laki-laki Singapura. Mereka yang kawin kontrak dengan orang asing ini bermukim di bagian belakang Pulau Amat Belanda, seakan-akan mengambil jarak dengan tempat hiburan yang bergerombol di bagian depan pulau.
”Di sini ada sepuluh cewek yang sistemnya kayak rumah tangga, artinya menikah dengan laki-laki Singapura. Mereka enggak mau cari makan sama orang lain karena udah dikasih jaminan sama apek-apek,” kata Cala.
Salah satu perempuan, Ani (53), bukan nama sebenarnya, menceritakan perjalanan hidupnya hingga menikah dengan laki-laki Singapura. Ia berasal dari Subang, Jawa Barat. Dulu, ia adalah penyadap karet di kampung. Sebelumnya, ia juga sudah pernah menikah dan memiliki tiga anak.
Pada 2004, Ani ditinggal suaminya. Seorang diri ia harus menghidupi tiga anaknya yang saat itu masih kecil.
”Saya diajak kawan. Dari kampung langsung ke sini. Dia bilang, ayo ke sana daripada pusing ngelamun di rumah,” kata Ani.
Pada tujuh tahun pertama, Ani berpindah dari satu bar ke bar lain di Pulau Amat Belanda. Hingga suatu hari pada 2011, ia diajak menikah oleh seorang laki-laki Singapura. Apek-apek itu pensiunan yang usianya sudah lebih dari setengah abad.
Tiga bulan sekali, si apek mengirim Rp 500.000 untuk biaya hidup Ani. Jadwal kunjungan si apek tak pernah pasti. Sesuka hati saja ia datang lalu menginap selama dua atau tiga hari. Sebelum pulang lagi ke negaranya, si apek biasanya memberi uang sedikit, Rp 300.000 paling besar.
”Sejak korona enggak pernah ketemu lagi. Ini udah lebih dari tiga bulan juga belum kirim uang,” ujar Ani resah.
Mantan pekerja seks lain, Ita (60), bukan nama sebenarnya, mengatakan, kini mereka bertahan hidup dengan memancing ikan dan mencari kerang. Adapun nasi mereka dapat dari bantuan sosial Covid-19. Untuk menghemat biaya air pipa, mereka menampung air hujan untuk mandi serta mencuci.
Pulau Amat Belanda hanya dipisahkan laut selebar 300 meter dari pusat kecamatan di Pulau Belakang Padang. Sampan kayu menjadi transportasi utama bila warga hendak membeli kebutuhan pokok, berobat, atau bersekolah ke Belakang Padang. Pekerja seks yang rata-rata tidak memiliki perahu sendiri harus membayar Rp 10.000 untuk sekali jalan.
Kesulitan akan berlipat bila air di antara Pulau Amat Belanda dan Pulau Belakang Padang surut sampai setinggi lutut orang dewasa. ”Kalau ada orang sakit atau meninggal, harus dipikul karena kalau pakai sampan malah nyangkut. Pokoknya di sini serba susah,” ujar Ita, yang berasal dari Pacitan, Jawa Timur.
Meskipun hidup penuh kesulitan, Ani dan Ita tak pernah punya rencana untuk pulang kampung. Mereka tidak tahu bagaimana caranya harus menjelaskan profesi sebagai pekerja seks kepada keluarga di Kampung. Mereka bukan takut menghadapi lagi kesulitan ekonomi di kampung, melainkan pertanyaan dan stigma dari tetangga.
”Waktu anak saya dulu nengok ke sini, saya bilang kerjaan saya jualan sayur di pasar. Saya tahu dia sebenarnya enggak percaya, tapi waktu itu dia cuma diam aja,” ujar Ani tertawa getir.
Penyakit menular
Pasang surut bisnis pelacuran di Batam bergantung kepada kunjungan apek-apek dari Singapura. Pulau Amat Belanda yang kini sepi bisa saja akan kembali ramai dalam sekejap bila nanti Indonesia dan Singapura membuka lagi perbatasan seiring dengan melandainya kasus Covid-19 di kedua negara.
”Sekarang karena di sini lagi sepi, cewek-cewek pindah ke daerah lain. Tapi nanti mereka bisa tiba-tiba kembali ke sini lagi. Hal seperti itu biasa di sini,” kata Cala.
Nama Pulau Amat Belanda mulai dikenal saat kasus HIV pertama di Batam ditemukan tahun 1992. Virus tersebut ditemukan pada pekerja seks asal Cianjur, Jawa Barat, dan lelakinya, Goh, dari Singapura (Kompas, 14/3/2003).
Sejak saat itu pula lokalisasi Pulau Amat Belanda menjadi perhatian Pemerintah Kota Batam. Sayang, tiga tahun belakangan, upaya penanggulangan HIV/AIDS di sana terhenti. Penyebabnya, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Batam kekurangan dana untuk menjangkau lokalisasi di wilayah luar pulau utama Batam.
Ketua Sekretariat KPA Kota Batam, Pieter Pureklolong, Jumat (12/11/2021), mengatakan, mereka pernah didukung Global Fund dengan donor Rp 400 juta per bulan. Selain itu, KPA Kota Batam juga mendapat dana hibah daerah dan dana bantuan sosial sebesar Rp 75 juta-Rp 250 juta per tahun.
Persoalan muncul ketika keluar Peraturan Presiden Nomor 124 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang KPA Nasional. Substansi dalam Perpres No 124/2016 yang menjadi soal adalah penempatan Sekretariat KPA Nasional di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan.
Sejak masa tugas KPA Nasional diakhiri pada 31 Desember 2017, dana bantuan dari luar negeri, seperti Global Fund, tidak bisa dicairkan. Hal ini berdampak besar pada upaya penanggulangan HIV/AIDS di daerah, seperti Batam.
Baca juga: Pandemi Hambat Penanggulangan HIV di Batam
Seretnya anggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS itu tampak betul di kantor KPA Kota Batam. Ruangan di lantai tujuh gedung Pemerintah Kota Batam itu disesaki tumpukan kardus. Ada lima meja kerja kosong, hanya milik Pieter yang tampak masih dipakai. Ruangan juga pengap karena penyejuk udara sudah lama mati. Koneksi internet tanpa kabel juga sudah putus entah dari kapan.
”Sekarang kami tidak punya anggaran, sejak 2018 nol. Jadi kami tidak bisa menjangkau populasi kunci di pulau-pulau, seperti lokalisasi di Pulau Amat Belanda itu, tidak ada anggaran untuk transportasi,” ujar Pieter.
Data Komisi Penanggulangan AIDS Batam menunjukkan, hingga Agustus 2021, secara kumulatif tercatat 8.049 orang dengan HIV dan 2.919 orang dengan AIDS. Adapun jumlah pengidap AIDS yang meninggal di Batam tercatat 971 orang. Menurut Pieter, prevalensi atau laju penularan HIV/AIDS di Batam selalu ada di posisi tiga besar secara nasional.
Ia berharap, Batam bisa segera memiliki peraturan daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Perda itu dibutuhkan untuk menjamin alokasi anggaran dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk upaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal itu penting untuk menjamin keberlanjutan penanggulangan HIV/AIDS di daerah setelah tak ada lagi donor dari luar negeri.
Baca juga: Di Kampung Bule, Pandemi Covid-19 Bukan Halangan Menggaet ”Mister”