Rumah Ramah bagi Para Pelawat Borobudur
Pariwisata Borobudur menggeliatkan ekonomi sekitar. Usaha rumah inap atau ”homestay” bermunculan. Setelah menjadi magnet turis dunia, investasi dari luar pun kian marak.
Denyut pariwisata di Candi Borobudur sejak lama memberi berkah bagi warga sekitarnya. Warga yang awalnya bertani mulai menyediakan rumah singgah bagi pelawat. Potensi ini menjadi gula yang memikat investor luar daerah.
Salah satu perintis rumah singgah atau yang belakangan akrab disebut homestay adalah almarhum Supoyo. Pada 1970-an, saat penginapan di Kecamatan Borobudur baru sekitar lima unit, Supoyo yang sehari-hari berprofesi sebagai petani berinisiatif merenovasi dan membangun tambahan kamar untuk tamu, di rumah yang ditinggalinya bersama keluarga.
”Setiap kali kedatangan tamu, kami hanya mempersilakan yang bersangkutan masuk, melihat kamar dan selanjutnya kami tinggal menunggu reaksinya, apakah dia mau menginap dan cocok dengan harganya atau tidak,” ujar Ardianto (57), putra sulung Supoyo, Selasa (16/11/2021).
Berdiri dengan nama Losmen Borobudur, penginapan yang berdiri di lahan sekitar 1.000 meter persegi tersebut dibangun bertahap. Seiring penambahan kamar tamu, hunian keluarga Supoyo kemudian bergeser ke rumah bagian belakang.
Peluang serupa ditangkap almarhum Ariswara Sutomo. Ariswara yang memiliki sanggar tari dan kerap mengundang perhatian wisatawan asing terinspirasi membuka penginapan karena banyak tamu mengeluh terpaksa menginap di Yogyakarta meski ingin lebih lama tinggal di Borobudur.
Pada 1997, kala jumlah penginapan di sekitar candi baru sekitar 10 unit, Ariswara merenovasi rumah, menambah kamar, dan membuka homestay Rajasa. Rumah inap Rajasa dikelola Ariswara bersama istrinya, Maidar, dan delapan keponakan mereka. Tak ada pembagian tugas yang jelas. Semuanya dilakukan gotong royong.
”Pernah ada tamu minta dibuatkan pancake. Karena tidak tahu resepnya, dia dipersilakan ke dapur, lalu membuatnya dengan bahan-bahan yang ada, sedangkan kami memperhatikan dan akhirnya menghapal resepnya,” ujar Sinta, keponakan Ariswara.
Baca Juga: Pariwisata Borobudur Menggeliat, Pemesanan ”Homestay” Mulai Meningkat
Seiring waktu, Ariswara berinisiatif membuka jasa penukaran uang yang memang sangat dibutuhkan tamu. Usaha ini dilakukan bekerja sama dengan jasa penukaran uang di DI Yogyakarta. Maidar (62) mengenang, jasa penukaran uang itu membuat dirinya harus pulang pergi dua hingga tiga kali sehari Borobudur-Yogyakarta. Karena uang dollar dari tamu kerap diterima dalam kondisi kotor dan lusuh, mereka biasanya terlebih dahulu mencuci dan menjemurnya.
”Kalau tetangga kanan-kiri banyak menjemur kerupuk, kami lebih banyak menjemur uang dollar,” ujar Maidar sembari tertawa.
Bermacam tamu
Jejak pengembangan hunian komersial berbasis homestay di Borobudur dimulai 1975-1983. Kala itu, kunjungan wisatawan belum terlalu banyak dan masih berlangsung pemugaran kedua Candi Borobudur. Saat itu, dibangun dua losmen yang salah satunya kini sudah tutup dan satu losmen lainnya berkembang menjadi Hotel Sarasvati. Ada juga satu restoran tempat makan dan berkumpul wisatawan.
Kendati belum resmi dibuka sebagai destinasi wisata, Candi Borobudur yang dijaga dan dikelola pemerintah desa setempat tetap menarik perhatian sejumlah turis. Setelah pemugaran berakhir 1983, seiring perluasan kawasan dan dibukanya Taman Wisata Candi Borobudur sebagai obyek wisata, pemerintah memindahkan warga tiga dusun dan satu pasar di Desa Borobudur.
Saat itu, warga tak terlalu antusias mendukung pariwisata di Candi Borobudur. Sebagian yang digusur bahkan trauma. Tahun 1989, barulah sebagian orang mulai kembali membuka penginapan. Periode 1995-1996, seiring peningkatan kunjungan wisatawan, sedikitnya 15 penginapan berkonsep homestay mulai dibangun warga. Konsep homestay ini meniru homestay yang saat itu juga mulai menjamur di DI Yogyakarta.
Karena dikelola sangat sederhana, banyak pengalaman tak terduga. Ardianto, misalnya, mengenang, medio 1985, Losmen Borobudur sempat menjadi tempat menginap para pelaku pengeboman Candi Borobudur.
Baca Juga: Muslich, Motor Bisnis ”Homestay” di Desa Ngaran II, Borobudur
Dari ayahnya, Ardianto yang ketika itu kuliah di Kota Yogyakarta diberi tahu, saat itu Supoyo tidak sempat meneliti jelas identitas tamu di KTP karena listrik padam. Tamu langsung dipersilakan masuk kamar. Beberapa jam berikutnya, terdengar ledakan keras yang ternyata suara bom.
Keesokan harinya, Supoyo kaget saat losmen miliknya didatangi polisi dan tentara yang meminta keterangan perihal pelaku pengeboman yang sempat menjadi tamunya. Selama proses penyelidikan, kamar yang ditinggali pelaku disegel polisi selama berbulan-bulan.
Sementara itu, di Hotel Rajasa, Maidar dan keluarga mendapatkan banyak pengalaman menarik dari kunjungan banyak komunitas umat Buddha yang tiap tahun rutin berkunjung ke Candi Borobudur. ”Selama menginap, rutinitas keagamaan mereka sangat padat. Karena beberapa kali mereka harus melakukan ritual jam dua atau tiga pagi, kami pun harus bangun dini hari untuk membuatkan sarapan,” ujarnya.
Investor luar
Seiring kunjungan yang kian padat, banyak warga luar kota menanamkan modal dengan membangun homestay. Salah satunya Lili Tristiningsih (72) dan suaminya, Erwin (73). Awalnya, keduanya hanya wisatawan yang betah menikmati suasana Borobudur. Pada 2009, mereka menyewa kamar di rumah warga dan berpindah-pindah tempat selama 6 bulan. Pada 2011, mereka pun memutuskan menetap di Desa Wanurejo, lalu membuka Homestay Omah Garengpoeng.
Tak hanya homestay, investor luar daerah juga membangun hunian komersial elite. Sekitar 1997, misalnya, dibangun hotel bintang lima pertama di kawasan Borobudur, Amanjiwo Resort. Amanjiwo pernah menerima sejumlah pesohor dunia, di antaranya David Beckam dan Victoria Beckam, aktor Richard Gere, hingga perintis Facebook Mark Zuckerberg.
Dedi Krisanto, pengelola agen perjalanan wisata di Kota Yogyakarta, menuturkan, Amanjiwo Resort di Desa Majaksingi kerap jadi tujuan kalangan turis papan atas karena fasilitasnya elegan dengan pemandangan jelas ke arah Candi Borobudur dengan latar belakang perbukitan Menoreh. Akses menuju resor ini melewati persawahan, kebun, dan rumah-rumah penduduk.
Baca Juga: Waspadai Pengembangan, Borobudur Bisa Kehilangan Status Warisan Dunia
Resor ini seperti tersembunyi di tengah hutan. Bangunan berbentuk seperti candi dalam sebuah stupa berpilar dari batu lokal. Dindingnya dibangun dengan batu alam, dengan pilar-pilar kokoh yang menopang di segala sisi. Semua staf dan pelayan menggunakan pakaian adat Jawa. Dari penelusuran di salah satu situs pemesanan hotel, harga sewa kamar termahal mencapai Rp 23 juta per malam.
”Satu lagi keunggulannya, yakni soal privasi. Privasinya tingkat tinggi. Jasa penjemputannya privasi tingkat tinggi. Bisa dengan kru pengaman tambahan, bahkan jet pribadi,” kata Dedi yang beberapa kali terlibat mengatur perjalanan tamu ke resor tersebut.
Arif Basuki (61), warga Kecamatan Mungkid, Magelang, yang pernah 25 tahun menjadi pegawai Amanjiwo Resorts, mengatakan, Amanjiwo Resort dikembangkan grup Aman Resort yang juga mengelola resor-resor papan atas di Indonesia. Menurut Arif, karena filosofi ”aman” yang bermakna ketenangan tersebut, identitas tokoh terkenal biasanya disimpan rapat-rapat, bahkan tidak diinformasikan kepada pegawai hotel.
”Saat briefing pagi, ketika semua pegawai berkumpul dan mendengarkan penjelasan tentang daftar tamu yang akan datang hari itu, maka tamu yang merupakan tokoh terkenal biasanya akan disebut sebagai Mr X saja,” ujarnya.
Baca Juga: Pengembangan Borobudur Disebut Tidak Akan Merusak Bangunan Candi
Arif mengakui, sejumlah nama memang sempat ”bocor” dan diketahui publik. Namun, karena ketatnya sistem pengamanan internal, isu keberadaan pesohor itu kadang gagal dikonfirmasi kalangan jurnalis. Selain panorama Candi Borobudur, para pesohor senang datang ke kawasan Borobudur karena bisa tenang menyusuri perdesaan tanpa dikenali atau diganggu keriuhan penggemar.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Magelang, saat ini terdapat 384 homestay di Kabupaten Magelang dan 266 homestay ada di Kecamatan Borobudur. Jack Priyana, perintis homestay di Kecamatan Borobudur, mengatakan, menjamurnya homestay terjadi tahun 2018. Saat itu, banyak yang ikut-ikutan. ”Karena asal-asalan, banyak homestay hanya bertahan seumur jagung,” ujarnya.
Selain itu, Jack menilai, keberadaan sejumlah penginapan yang dibangun investor luar kota mulai mengikis suasana perdesaan. ”Warga tidak bisa sembarangan menggelar kenduri mengundang warga satu desa karena juga terdapat penghuni yang merupakan pemilik atau pengelola hotel yang tidak mereka kenal,” ujarnya.
Munculnya para investor luar kota tersebut pada akhirnya memunculkan banyak calo-calo tanah. ”Tanpa disadari, calo tanah bisa tiba-tiba muncul dari mana saja, bisa dari perangkat desa, bahkan kerabat keluarga sendiri,” ujarnya.
Keluarga Jack, misalnya, pernah kehilangan 3 hektar tanah yang dibeli oleh kerabatnya. Kerabat tersebut ternyata calo yang kemudian menjual tanah tersebut kepada investor asal Jakarta. Jack khawatir, jika tidak dilindungi, pembangunan fisik hotel, penginapan, dan restoran yang tidak terkendali akan berdampak buruk pada lingkungan dan peradaban warga desa.