Berkah alam yang melimpah-limpah mengetuk para petani mengucap syukur. Di bawah langit temaram, petani menunggui padi sembari bergambang. Suara ketukan bilah-bilah mahang dan nyanyian syukur lalu membentuk satu harmoni.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Ketukan kayu mahang (Macaranga mauritiana) dan senandung mengisi malam demi malam di Pematang Damar. Musik yang diwariskan turun-temurun itu hilang tatkala kebakaran melanda enam tahun silam. Di tangan sejumlah pemuda, kisah gambang kembali hidup.
Kesenian tradisi yang sempat meredup itu lahir baru. Bertransformasi lewat perjuangan para petani muda di Jambi Tulo, Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Musik direkonstruksi sesuai aslinya, sementara senandungnya berlirik adaptif. Melantun seiring ketukan bilah-bilah kayu.
Musik itu menyuarakan rasa cinta manusia yang mendalam kepada alam. Sekaligus ratapan tatkala mengenang Hutan Pematang Damar hangus terbakar 2015 lalu.
Kalu lah kau pegi ka rimbo
Rotan dan damar penungkut api
Apolah idak atiku ibo, hutan Batang Damar
Api dimakan api…
Bait pembuka lagu berjudul ”Pematang Damar” itu tampil di acara ”Gambangan Bercerito” di Sanggar Muaro Jambi Bersakat, Desa Jambi Tulo, Sabtu (13/11/2021). Kidungnya bercerita tentang duka hati melihat hutan telah hangus.
Turun-temurun masyarakat bersandar pada Pematang Damar. Hutan itu melimpahi mereka dengan hasil yang beragam, mulai dari rotan, rumbia, getah karet dan jernang, hingga buah-buahan dan madunya. Di situ pula kerajaan anggrek hutan bernaung. Mengisi lantai hingga langit-langit rimba.
”Setidaknya 80 spesies anggrek hutan ada di Pematang Damar,” kata Adi Ismanto (41), Ketua Gerakan Muaro Jambi Bersakat, yang mewadahi upaya pelestarian anggrek dan pelestarian tradisi setempat.
Jenisnya beragam, mulai dari Grammatophyllum, Dendrobium, Bulbophyllum, Cymbidium, Appendicula, Pomatocalpa, Phalaenopsis atau Eria, Trichotosia, Thelasis, Flicking coelogyne, hingga Javanica tumbuh subur dalam hutan tropis dataran rendah itu.
Namun, keanekaragamannya semakin terancam seiring perubahan wajah hutan itu. Puncaknya saat kebakaran melanda 2015 lalu. Masyarakat panik karena api sulit diredam. Pemadaman di hamparan gambut kering itu memakan waktu berminggu-minggu.
Di tengah upaya pemadaman Pematang Damar, para pemuda berjuang menyelamatkan anggrek dan pakis hutan yang tersisa, lalu mengevakuasinya di pekarangan. Dua tahun kemudian, anggrek-anggrek dipulangkan ke habitatnya. Namun, kondisi hutan sudah tak lagi berhutan. Kini bahkan telah berubah menjadi kebun sawit.
Meski epifit dapat tumbuh, bunganya tak seindah yang dulu. Warna bunganya memucat bersamaan redupnya tradisi gambangan.
Belakangan, para pemuda tersadar. Gambangan pun coba dihidupkan kembali.
Mereka temui para pengetuk gambang yang menyisakan segelintir orang tua. Segala pengetahuan dan kearifan seni gambangan lantas dikumpulkan. Dari merekalah nada-nadanya kembali dihidupkan.
Adi masih ingat betul cerita dari ayahnya, almarhum Jalaluddin. Di masa lalu, alam memberikan berkah melimpah-limpah. Para petani memanfaatkan musik itu sebagai sarana berucap syukur.
Di bawah langit temaram, petani menunggui padi sembari bergambang. Suara ketukan bilah-bilah mahang mengalun indah. Dalam keheningan di pematang sawah, ketukan itu terdengar hingga ratusan meter jauhnya.
Petani lain yang mendengarkan akan spontan menyambut dengan turut bernyanyi dari pondoknya. Musik dan kidung menjadi satu harmoni yang menyelimuti malam. Doa dan harapan tercurah kepada Sang Maha Pencipta.
Menurut Zubaidit (57), warga sekitar, suara gambangan menjadi pertanda kehadiran manusia. Ketika itu, hutan-hutan lebat mengelilingi desa yang masih dihuni beragam jenis fauna. ”Kalau mendengar musik, binatang buas jadi enggan mendekat, apalagi untuk mengganggu tanaman petani,” kisahnya.
Transformasi gambangan
Berbekal cerita dari para tetua, musik direkonstruksi kembali. Alat musiknya berupa enam bilah kayu mahang dan sebuah kayu pengetuk. Lalu dipahat sedemikian rupa hingga menghasilkan bunyi-bunyi yang sesuai.
Untuk memainkannya, bilah-bilah itu dipangku dalam posisi duduk berselonjor. Agar kayu tetap diam di pangkuan, selembar kaki dikaitkan, lalu ditahan pada jari-jari kaki.
Salah seorang penabuh gambangan, Edwar Sasmita (40), menceritakan keinginan kuatnya agar anak-anak muda melestarikan tradisi itu walau tidak mudah. Ia datangi para sesepuh desa demi mendapatkan musik yang sesuai. ”Tantangannya adalah menghasilkan bunyi ketukan setengah nada saja, sesuai karakter gambangan,” ujarnya.
Di masa kini, sebagian besar penabuh telah tiada. Kayu mahang juga semakin langka. Demi tetap melestarikannya, mereka perbanyak penanaman mahang.
Selanjutnya, syair-syair baru diciptakan. Liriknya akrab dengan keseharian. Selain ”Pematang Damar”, ada lagu berjudul ”Kopi Tuak”, ”Bungo Dewo”, hingga ”Lebung Panjang”.
”Kopi Tuak” berkisah tentang tradisi minum kopi dalam seduhan air nira. Bubuk kopinya tidak diseduh dengan air panas biasa, tetapi dengan air nira segar yang dipanaskan. Rasanya begitu nikmat.
”Meskipun tak memabukkan, kopi tuak ini selalu membuat orang ketagihan untuk menikmati,” kata Adi.
Adapun lagu ”Bungo Dewo” berkisah tentang anggrek hutan, tanaman yang sangat diagung-agungkan masyarakat, tetapi nyaris punah dilalap api. Sedikit banyak lagunya menyiratkan cerita tentang hilangnya kebaikan, yakni semangat hidup anggrek yang tumbuh menumpang tanpa mengganggu tanaman penaungnya. Padahal, jika manusia hidup seperti anggrek yang menumpang tanpa merusak, bumi senantiasa terjaga.
”Seandainya manusia bisa hidup seperti ’Bungo Dewo’, alangkah indahnya kehidupan di bumi ini,” ujarnya sembari menutup pembicaraan.