Ratapan Rumah yang Kian Ringkih di Pinggiran Citarum
Banjir luapan Sungai Citarum di Kabupaten Bandung lebih cepat surut. Namun, banjir selama puluhan tahun telah merusak ratusan rumah. Penderitaan warga masih berlanjut di tengah derap pembangunan yang sedang ngebut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Berkat gempuran berbagai infrastruktur, sejauh ini banjir luapan Sungai Citarum di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, lebih cepat surut. Namun, semuanya tidak menghapus jejak ratusan rumah yang rusak sejak puluhan tahun sebelumnya. Sebagian warga pindah, tetapi tak sedikit yang bertahan dengan keterbatasan. Penderitaan mereka masih berlanjut di tengah derap pembangunan yang berjalan cepat.
Di bawah guyuran gerimis, Dadan (54) berjalan menyusuri gang-gang sempit menuju rumahnya di Kampung Cigosol, Kecamatan Baleendah, Rabu (17/11/2021) sore. Ia melewati belasan bangunan yang porak-poranda karena kerap direndam banjir setiap musim hujan.
Dinding beberapa rumah itu jebol. Atapnya roboh. Penyebabnya, penyangga bangunan lapuk akibat sering tergenang. Sementara bagian dalam rumah dipenuhi endapan lumpur dan sampah yang terbawa banjir.
“Ratusan rumah di sini hancur karena banjir. Yang ambruk dan rata dengan tanah juga ada. Sebagian besar ditinggalkan pemiliknya,” ujarnya.
Gang-gang yang dilaluinya berlumpur, bekas banjir beberapa hari sebelumnya. Sisa genangan di halaman rumah tidak berpenghuni juga belum surut sepenuhnya.
Tiba di rumah, Dadan disambut anak bungsunya, Rizky (10). Hanya mereka berdua tinggal di rumah itu. Istrinya meninggal lima tahun lalu. Sementara anak pertama dan keduanya sudah berkeluarga.
Akan tetapi, rumah satu lantai seluas sekitar 50 meter persegi hanya ditempati separuhnya. Sebab, setengahnya lagi terdapat endapan tanah sisa banjir hingga setinggi setengah meter.
Beberapa kaca jendela rumahnya pecah. Sisa lumpur yang mengering pun masih menempel. Garis-garis bekas batas ketinggian banjir yang menyerupai goresan juga terlihat samar di dinding depan rumah.
“Yang ini bekas banjir 2019. Tingginya lebih dari dua meter. Kami berenang mengungsi ke pinggir jalan,” ujarnya sambil menunjuk garis di atas kosen pintu. Ingatan traumatis itu jelas masih susah lupa.
Berjarak tiga meter dari Sungai Cisangkuy, anak Citarum, rumah Dadan selalu disinggahi banjir setiap musim hujan. Tahun ini, kekhawatirannya terhadap ancaman banjir sedikit berkurang.
Delapan bulan terakhir, tanggul setinggi 1,5 meter dibangun di Cisangkuy untuk menahan luapan ke permukiman warga. Floodway atau sodetan Cisangkuy yang mengalihkan alur sungai langsung Citarum juga membuat debit air ke kawasan Baleendah dan sekitarnya jauh berkurang.
Berjarak sekitar 500 meter, kolam retensi Cieunteung telah beroperasi sejak tiga tahun lalu. Kolam dengan luas genangan 4,75 hektar itu berfungsi menampung banjir dari permukiman warga untuk dipompa ke Citarum.
Sementara terowongan air Nanjung yang diresmikan pada Januari 2020 berfungsi untuk memperlancar aliran Citarum menuju Waduk Saguling di Bandung Barat. Pembangunan kolam retensi Andir dengan luas genangan 2,75 hektar dan sejumlah polder pun sedang dikebut.
“Berkat infrastruktur itu, banjir berkurang. Tahun ini, belum ada banjir di atas dua meter seperti sebelumnya. Tetapi, rumah kami sudah telanjur rusak akibat banjir selama puluhan tahun,” ujarnya.
Pindah dari sana jelas menawarkan kenyamanan. Namun, Dadan belum mempunyai pilihan itu. Penghasilannya yang tak sampai Rp 100.000 per hari sebagai pembuat kupat tahu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Inginnya renovasi rumah supaya bangunannya bisa ditinggikan. Sekalian memperbaiki beberapa bagian yang lapuk. Tetapi, belum ada uang. Jadi, bertahan saja dengan kondisi sekarang,” jelasnya.
Kondisi rumah Dedeh Tarlia (48), warga Baleendah lainnya, sedikit lebih baik. Tidak ada endapan tanah dan lumpur sisa banjir di rumahnya.
Akan tetapi, kondisi itu tetap tidak mampu menutupi kecemasannya. Sebab, rumahnya berada persis di samping Sungai Cisangkuy.
“Kalau tanggul ini jebol, rumah saya yang pertama dihantam banjir. Sebelum ada tanggul dan sodetan, banjir bisa sampai tiga meter,” ujarnya.
Kian berisiko
Risiko tinggal di rumah itu semakin tinggi karena hanya memiliki satu lantai. Sementara, beberapa tetangga Dedeh mempunyai rumah dua lantai sehingga dapat dijadikan tempat evakuasi saat banjir meninggi.
Mengungsi saat banjir menerjang juga tidak kalah berisiko. Ia dan keluarganya harus menerobos banjir sejauh 300 meter untuk menuju Jalan Raya Banjaran. Sebelum itu, mereka mesti berusaha sekuat tenaga untuk membuka pintu karena tertahan dorongan air banjir.
“Di pengungsian juga belum tentu dapat tempat. Karena rumah kami di belakang (berbatasan dengan Cisangkuy), jadi paling lama juga sampai di pengungsian,” ujarnya.
Karena beberapa kendala itu, sudut langit-langit rumahnya dijebol untuk membuat para atau ruang antara plafon dan atap. Setiap memasuki November, ia bersama suami dan dua anaknya tidur di ruangan tersebut.
Sejumlah barang, seperti kasur, televisi, dan pakaian dipindahkan ke sana. Pada bagian samping para dibuat jendela dan pintu darurat sebagai jalur evakuasi saat banjir meninggi.
Ketika siang, udara di dalamnya sangat panas. “Memang tidak nyaman, tetapi tidak ada cara lain agar bisa bertahan saat banjir datang,” ujarnya.
Para tersebut hanya sebatas tempat evakuasi darurat. Lantai papannya selalu berderit setiap kali orang di atasnya berjalan.
Dedeh dan keluarganya takut para itu roboh sewaktu-waktu. Tetapi, mereka tidak bisa berbuat banyak. Keinginan untuk membangun lantai dua rumah terbentur keterbatasan dana.
“Saya jualan gorengan dengan penghasilan Rp 50.000. Sementara suami tidak bekerja. Dari mana punya uang untuk renovasi rumah?” katanya.
Ia tak menampik banjir di Baleendah pada akhir tahun ini tidak sebesar sebelumnya. Dahulu butuh waktu berhari-hari agar banjir surut. Namun, saat ini, jika tidak terjadi hujan di hulu, genangan bisa surut kurang dari delapan jam.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Jabar Boy Iman Nugara menuturkan, perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu) selalu menjadi program prioritas tahunan. Pada tahun ini, program tersebut telah menyasar 31.500 rutilahu dengan pagu anggaran Rp 17,5 juta per unit.
Boy mengatakan, pemerintah desa bersama lembaga pemberdayaan masyarakat dapat menginventarisasi rutilahu dan memasukkan datanya di Sistem Informasi Pembangunan Daerah. Proposal pengajuan perbaikan rutilahu diteruskan ke pemerintah kabupaten/kota untuk diajukan ke provinsi.
“Untuk 2022 ada program perbaikan 21.500 rutilahu dengan asumsi anggaran Rp 20 juta per unit. Sebab, ada penyesuaian kenaikan harga bahan bangunan,” ujarnya.
Dadan, Dedeh, dan banyak warga pinggir sungai lainnya tidak menutup mata kehadiran infastruktur pengendali banjir luapan Citarum telah mengurangi dampaknya. Namun, semuanya tidak lantas menyelesaikan masalah. Sedimentasi masih terjadi. Sampah pun tetap saja menyumbat aliran sungai. Tanpa perubahan, rumah ringkih dan seisi penghuninya bakal hanya akan mendekap kenangan.