Kasus Covid-19 Landai dan Investasi Menggeliat, Buruh Cirebon Justru Gigit Jari
Kenaikan upah minimum Kabupaten Cirebon pada 2022 yang hanya Rp 10.426 dinilai tidak manusiawi. Buruh mendesak Pemkab Cirebon memberikan keadilan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Ratusan buruh tidak beranjak meski hujan deras mengguyur di depan Kantor Bupati Cirebon, Jawa Barat, Kamis (25/11/2021) sore. Mereka memprotes kenaikan upah buruh 2022 yang dinilai tidak manusiawi, hanya Rp 10.426. Kasus penularan Covid-19 mulai melandai, investasi kembali menggeliat. Namun, bagi para pekerja, kabar baik itu tetap saja tidak datang.
Pujiati (34), salah satu peserta aksi, siang itu, sibuk membagikan kue dan nasi bungkus ke sejumlah buruh. Karena kurang, satu nasi bungkus dinikmati dua hingga tiga orang. Menunya, nasi, kaki ayam, dan urap. Mereka menyantapnya sambil tersenyum.
Di balik keceriaan itu, Pujiati sebenarnya galau. Perusahaan peti mati di Cirebon memecatnya dengan dalih habis kontrak. Diduga karena membentuk serikat pekerja, dia dipecat. "Saya sebagai ketuanya. Sekretaris saya juga dipecat,” ujarnya.
Padahal, berserikat merupakan hak pekerja. Ia mendirikan serikat demi kesejahteraan buruh, termasuk mengangkat statusnya yang hanya karyawan kontrak selama enam tahun terakhir. Ia juga belum menerima jaminan sosial, seperti kartu BPJS Ketenagakerjaan.
“Kalau sakit, meskipun ada surat dokter, kami tetap tidak dibayar,” ucap ibu satu anak ini. Upahnya juga hanya Rp 2 juta per bulan, di bawah upah minimum Kabupaten Cirebon Rp 2,26 juta. Kondisi serupa, katanya, juga dialami sebagian dari 140 karyawan tempatnya dulu bekerja.
Padahal, perusahaan tersebut memproduksi peti mati untuk ekspor ke Taiwan. Bahkan, Pujiati turut andil dalam penyediaan peti jenazah ketika kasus Covid-19 melonjak di Tanah Air.
“Waktu Juni-Juli lalu, kami lembur sampai jam 9 malam,” kata Pujiati yang jelas punya peran penting bagi bangsa ini saat pandemi. Hingga kini, kasus Covid-19 di Kabupaten Cirebon mencapai 24.344 orang. Sebanyak 8 orang masih menjalani isolasi, sebanyak 23.447 sembuh, dan 889 orang meninggal dunia.
Sayangnya, harapannya terus bekerja di perusahaan peti mati itu kini terkubur. Meski dipecat, tamatan sekolah menengah pertama ini terus mengadvokasi agar mendapatkan haknya. Tidak hanya untuk diri sendiri, ia juga berjuang supaya UMK Cirebon sesuai kebutuhan buruh.
Baginya, gaji Rp 2 juta per bulan yang dulu ia terima hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya. Ini belum termasuk cicilan sepeda motor Rp 450.000 per bulan, biaya pendidikan anaknya di SMP, dan lainnya.
Beruntung, suaminya yang juga buruh pabrik kasur punya penghasilan lebih dari Rp 2 juta. “Jadi, masih bisa nabung lewat arisan. Seminggu, Rp 50.000,” katanya diiringi senyum.
Kenaikan upah minimum Cirebon Rp 10.426 tidak manusiawi (Machbub)
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cirebon Raya Moh Machbub mengatakan, kenaikan upah minimum Cirebon Rp 10.426 tidak manusiawi. Jika dibagi dalam 25 hari kerja, buruh hanya dapat Rp 417 per hari.
“Pakan burung aja lebih mahal dari ini,” ucapnya. Padahal, selama pandemi Covid-19, katanya, buruh juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk beli masker, cairan antiseptik, dan lainnya. Buruh pun tetap bekerja di tengah ancaman virus korona baru.
Itu sebabnya, pihaknya menolak kenaikan UMK 2022 yang hanya 0,46 persen atau Rp 10.426. Berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) di tiga pasar di Cirebon, katanya, kenaikan UMK Cirebon seharusnya 7 persen hingga 10 persen. Artinya, tambahannya minimal Rp 158.000.
Machbub mengerti, perusahaan juga terdampak pandemi Covid-19. Namun, perlu audit independen untuk memastikan kemampuan keuangan perusahaan. “Kalau upah buruh rendah, daya beli masyarakat juga turun dan pertumbuhan ekonomi ikut terdampak,” paparnya.
Selama ini, sedikitnya 53.000 buruh di sekitar 1.200 perusahaan di Kabupaten Cirebon turut memutar roda ekonomi. “Kalau buruh punya HP (hand phone) dan motor, itu semua nyicil,” ucapnya.
Pihaknya mempertanyakan kebijakan Pemkab Cirebon yang terkesan memberi karpet merah pengusaha atau investor dengan iming-iming upah murah. Satuan Tugas Investasi, misalnya, turut dibentuk.
“Ngapain investor masuk kalau buruh dimiskinkan?” katanya.
Machbub tidak keliru. Upah murah yang hampir setengah dibandingkan Karawang turut mendorong investasi di Kabupaten Cirebon. Hingga September 2021, realisasi investasi di Cirebon Rp 4,4 triliun atau berkontribusi 4,15 persen dalam realisasi investasi Jabar. Pada 2019, realisasi investasi di Cirebon sekitar Rp 1,7 triliun.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengakui, kenaikan upah sekitar Rp 10.000 belum memadai. “Pengen tuku apa (mau beli apa) Rp 10.000?” ucapnya setelah beraudiensi dengan perwakilan buruh.
Akan tetapi, pihaknya tidak bisa berbuat banyak terkait UMK. Sebab, pemda mengacu pada aturan pemerintah pusat, seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang dinilai ikut menahan laju kenaikan upah.
“Kami tidak bisa seenaknya. (kenaikan upah) ini sudah ada kajian dari berbagai aspek sehingga keputusannya menguntungkan berbagai pihak,” ucapnya.
Kehadiran bupati menemui perwakilan buruh mungkin sedikit melegakan. Namun, ketidakberdayaannya menghadapi aturan pemerintah pusat jelas bukan kabar menyenangkan. Saat itu terjadi, nasib Pujianti dan buruh lainnya bangkit setelah pandemi juga semakin tidak pasti.