
PONTIANAK, KOMPAS — Upah Minimum Provinsi Kalimantan Barat tahun 2022 naik 1,44 persen. Meskipun demikian, kenaikan UMP tersebut tidak sesuai dengan harapan buruh di tengah beberapa sektor unggulan daerah yang dalam kondisi cukup baik.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat H Manto, Kamis (25/11/2021), mengatakan, atas rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi Kalbar, Gubernur telah menetapkan UMP Kalbar Tahun 2022 sebesar Rp 2.434.328,19. Pada tahun 2022 ada kenaikan UMP sebesar Rp 34.629,54 atau 1,44 persen dibandingkan dengan UMP Kalbar tahun 2021 yang sebesar Rp 2.399.698,65.
”Kebijakan pengupahan bagian dari program strategis nasional. Oleh sebab itu, pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan pengupahan berpedoman pada kebijakan pemerintah pusat,” ujar Manto.
Sebagaimana diatur dalam PP No 36/2021 tentang Pengupahan, aturan turunan dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, Gubernur hanya menetapkan UMP/UMK dan tidak boleh lagi menetapkan upah minimum sektoral. Selain itu, dalam menentukan besaran UMP Kalbar Tahun 2022 dihitung dengan mengacu pada formula penyesuaian upah minimum.
Baca juga : Kenaikan Semu Upah Minimum
Data terkait dengan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan tidak lagi mengacu pada data nasional, tetapi pada data setiap provinsi. Hal tersebut sebagaimana yang telah disampaikan Badan Pusat Satistik pada Kementerian Ketenagakerjaan, seperti data pertumbuhan ekonomi, inflasi, angka rata-rata konsumsi rumah tangga, dan angka anggota rumah tangga yang bekerja.
”Kenaikan UMP Kalbar Tahun 2022 sebesar 1,44 persen ini masih di atas rata-rata nasional kenaikan UMP Tahun 2022 sebesar 1,09 persen, sebagaimana yang telah disampaikan Dewan Pengupahan Nasional,” kata Manto.

UMP Kalbar Tahun 2022 sebesar Rp 2.434.327,56 berada di atas batas bawah upah Rp 1.568.490,19 dan garis kemiskinan Kalbar Rp 483.454. Hal ini juga sudah sesuai dengan ketentuan upah minimum sebagaimana diamanatkan PP No 36/2021 tentang Pengupahan.
Dewan pengupahan Provinsi Kalbar beranggotakan unsur pemerintah, unsur serikat pekerja/serikat buruh, serta unsur asosiasi pengusaha dan akademisi, pada saat melakukan rapat penyesuaian upah minimum tahun 2022 pada 12 November 2021, telah berpedoman pada PP No 36/2021. Selain itu, berpedoman pula pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor B-M/383/HI.01.00/IX/2021.
Sistem pengupahan
Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Kalbar Suherman, mengatakan, dalam rapat Dewan Pengupahan, pihaknya memang dilibatkan. Namun, pihaknya menyayangkan dan kecewa dengan sistem pengupahan yang sudah ditentukan di PP No 36/2021 dan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan karena sudah dirumuskan ada batas atas dan bawah.
Berbeda dengan tahun sebelumnya yang, meskipun pihaknya juga tidak setuju, masih ada peningkatan 7 persen-8 persen, kala itu. Sebelumnya yang dipakai sebagai pertimbangan ada produk domestik regional bruto tingkat nasional dan ditambah inflasi tingkat nasional.
Baca juga : Kesejahteraan Buruh di Tengah Pandemi
Sementara sekarang yang dipakai adalah tingkat pertumbuhan ekonomi daerah hanya 3,7 persen. Ketika dimasukkan ke dalam rumusan yang telah ditetapkan, rata-rata kenaikan UMP hanya 1,44 persen.
”Ini sangat kecil. Apalagi, upah baru ditetapkan, harga sembako (kebutuhan pokok) sudah naik, misalnya minyak goreng. Kenaikan UMP yang diharapkan 7 persen-8 persen bahkan 10 persen agar bisa dirasakan pekerja buruh,” ujarnya.
Juga utang pihak ketiga yang membengkak karena pendemi dalam dua tahun ini.
Pihaknya juga memahami bahwa pandemi Covid-19 masih terjadi dan berpengaruh pada sektor usaha jasa. Namun, perlu diingat pula, Kalbar memiliki sektor unggulan yang cukup bagus potensinya, seperti sawit dan pertambangan.

Dulu ada upah sektoral, tetapi sekarang sudah tidak ada upah sektoral. Oleh sebab itu, pihaknya berharap kepada UMP. Namun, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena regulasi sudah ditetapkan dari pusat.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Pontianak sekaligus Ketua 3 Apindo Kalbar Andreas Acui Simanjaya mengatakan, UMP Kalbar sudah cukup baik bagi semua pihak. Itu karena dalam situasi pandemi, semua pihak perlu mendapatkan kesempatan untuk bisa bertahan.
Meskipun ada sektor unggulan daerah yang membaik, itu bukan mencerminkan situasi ekonomi sudah membaik secara keseluruhan. Ada banyak kondisi keuangan yang perlu diperbaiki karena dampak pandemi.
”Juga utang pihak ketiga yang membengkak karena pendemi dalam dua tahun ini,” ucap Acui.
Kondisi dunia usaha sebagian besar sudah menyesuaikan diri dengan situasi pandemi ini. Mereka perlahan menuju kinerja yang baik. Namun, di sisi lain, dunia usaha juga masih terkendala daya beli masyarakat yang masih tergolong rendah.