Komuter Listrik Gerbangkertasusila di Jatim Belum Jadi Prioritas
Pergerakan harian komuter di Gerbangkertasusila, Jawa Timur, amat padat dan macet. Namun, penanganan masalah dengan pengadaan kereta rel listrik sebagai angkutan massal ternyata bukan proyek prioritas dalam waktu dekat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Peningkatan layanan kereta api komuter menjadi kereta rel listrik di Surabaya Raya plus atau aglomerasi Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan atau Gerbangkertasusila, Jawa Timur, belum menjadi prioritas dalam waktu dekat.
Demikian diutarakan oleh Kepala Dinas Perhubungan Jawa Timur Nyono dalam webinar Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan di Kawasan Perkotaan dengan Skema Buy The Service Kota Surabaya, Rabu (24/11/2021) petang. ”Layanan KRL seperti Jabodetabek atau Solo-Jogja bisa terealisasi di Gerbangkertasusila paling cepat 2027 atau 2028,” ujarnya.
Proyek KRL belum menjadi prioritas di Gerbangkertasusila meski mobilitas pelaju atau komuter di wilayah aglomerasi ini begitu tinggi. Dari materi yang disampaikan oleh Nyono, situasi saat ini, pergerakan harian pelaju di Gerbangkertasusila hampir 694.000 orang. Pada 2025, pergerakan itu bisa mencapai 1,275 juta orang atau naik hampir dua kali lipat dalam tiga tahun.
Jika 10 persen dari 694.000 komuter itu memakai angkutan umum, dibutuhkan kendaraan di darat yang bisa menampung 69.000-70.000 penumpang. Jumlah itu setara dengan 138-140 kereta rel diesel (KRD) dengan setiap rangkaian terdiri atas empat gerbong, seperti KA rute antardaerah di Gerbangkertasusila saat ini. Jumlah penumpang tadi juga setara dengan 1.000 bus besar, 2.000 bus sedang, atau 5.700-5.900 mobil penumpang umum.
”Persoalannya, komuter cenderung menggunakan kendaraan pribadi daripada angkutan umum,” kata Nyono. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian INRIX Global Traffic Scorecard dari Inggris, pada 2017, Surabaya berada di urutan ke-10 dari 54 kota termacet di Asia.
Berdasarkan pengamatan Kompas, untuk lintas Sidoarjo-Surabaya atau koridor selatan-utara, mobilitas pelaju dari Sidoarjo ke Surabaya mayoritas memakai jalur tengah, yaitu jalur tradisional peninggalan kolonial. Di jalur tengah, terutama ruas Cito-Joyoboyo, jalannya amat lebar ditambah frontage atau jalur paralel.
Mobilitas terpadat kedua lewat sisi timur memanfaatkan lingkar tengah timur (MERR) atau Jalan Ir Soekarno yang lebar. Selanjutnya, di sisi barat melewati Jalan Raya Mastrip kemudian ke utara lewat Jalan Raya Wiyung atau ke pusat kota melalui Jalan Gunung Sari. Di sisi barat terdapat jalan tol penghubung Krian-Perak-Gresik.
Nyono mengatakan, dari Porong (Sidoarjo) pernah dioperasikan bus rapid transit (BRT) tujuan Terminal Purabaya melalui jalan tol pada 2015. Dengan bus besar itu, dahulu diharapkan bisa mengangkut sebagian pelaju pengguna kendaraan pribadi sampai Purabaya. Namun, operasional BRT hanya bertahan tiga tahun. ”Belum jadi pilihan utama,” katanya.
Di wilayah Gerbangkertasusila juga dilayani jaringan KA. Misalnya, komuter sulam Surabaya Pasarturi-Lamongan, Surabaya Pasar Turi-Sidoarjo, Surabaya Kota-Bangil (Pasuruan), Sidoarjo-Indro (Gresik), Surabaya-Kota Sidoarjo, dan Jenggala (Surabaya Kota – Mojokerto – Sidoarjo). Animo masyarakat cukup tinggi untuk menggunakan komuter Kereta Api Rel Diesel (KRD) generasi ketiga itu.
Beberapa komuter bahkan baru dioperasikan pada Februari 2021 atau dalam masa pandemi Covid-19 dengan keterisian penumpang mencapai maksimal kebijakan pembatasan (50-70 persen).
Komuter Surabaya-Sidoarjo akan ditambah layanannya harus seizin negara bahkan dalam hal rencana elektrifikasinya
Kelemahan dari layanan KRD ini belum banyak seperti di Jabodetabek atau Jogja-Solo. Misalnya, KRD Surabaya – Sidoarjo yang jeda keberangkatan paling cepat setiap 3 jam. Bandingkan dengan KRL lintas Bogor-Manggarai yang berangkat setiap 10-15 menit pada jam sibuk. Dengan jeda yang lama, membuat sebagian pelaju tidak mengambil kesempatan untuk naik KRD tetapi bersepeda motor yang relatif lincah mengatasi kemacetan.
Manajer Hubungan Masyarakat KAI Daerah Operasi 8 Surabaya Luqman Arif pernah mengatakan, peningkatan layanan KA di Gerbangkertasusila bergantung pada Rencana Induk Perekeretaapian Nasional dari Kementerian Perhubungan.
“Misalnya, komuter Surabaya-Sidoarjo akan ditambah layanannya harus seizin negara (Kementerian Perhubungan) bahkan dalam hal rencana elektrifikasinya,” kata Luqman.
Di lintas timur atau Surabaya-Sidoarjo-Pasuruan, tantangan peningkatan layanan KRD terkendala dengan keberadaan jalur tunggal. Lintas ini seharusnya segera ditingkatkan menjadi jalur ganda sehingga layanan KRD komuter bisa lebih leluasa.
Jalur tunggal dipakai KRD, KA lokal, KA jarak jauh, dan KA barang. Apalagi, masih ada setidaknya 30-40 perlintasan di Surabaya dan Sidoarjo yang belum diubah menjadi terowongan atau jembatan layang. Peningkatan perjalanan KA tanpa diikuti perubahan perlintasan bisa meningkatkan risiko kecelakaan dengan kendaraan lain.
Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak pernah mengatakan, akan mencoba mendorong peningkatan layanan KA di Gerbangkertasusila. Yang bisa segera ditempuh adalah menambah frekuensi pelayanan KRD. Namun, bupati/wali kota perlu berperan dalam penutupan dan perubahan perlintasan yang strategis menjadi terowongan atau jembatan layang.
“Untuk lintas timur yang masih jalur tunggal kami akan dorong pemerintah pusat untuk segera meningkatkannya menjadi ganda setidaknya sampai Pasuruan,” kata Emil.