Buruh Jabar Tuntut Kenaikan Upah 10 Persen untuk Dongkrak Daya Beli
Buruh Jawa Barat menilai kenaikan UMP 2022 yang hanya 1,72 persen tidak adil. Mereka menuntut kenaikan UMK sebesar 10 persen sekaligus mendesak pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja karena memicu penetapan upah rendah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Buruh di Jawa Barat menuntut kenaikan upah minimum kabupaten/kota pada 2022 sebesar 10 persen. Hal itu dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja yang semakin tinggi sekaligus mendongkrak daya beli sehingga bisa menopang pertumbuhan ekonomi.
Tuntutan itu disampaikan buruh saat berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (25/11/2021). Kenaikan upah minimum Provinsi (UMP) Jabar yang hanya 1,72 persen dinilai tidak adil di tengah mulai menggeliatnya industri setelah sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19.
”Beberapa waktu lalu, Presiden (Joko Widodo) menyampaikan, ekonomi Indonesia (kuartal II-2021) tumbuh 7,07 persen. Jabar juga tumbuh 6,13 persen. Yang jadi aneh, kenapa kenaikan upah buruh sangat rendah, bahkan ada yang tidak naik,” ujar Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Misyadi Khaerun.
Jabar telah menetapkan UMP 2022 sebesar Rp 1.841.487,31 per bulan. Jumlah itu naik Rp 31.135,95 atau 1,72 persen.
Menurut Misyadi, kecilnya kenaikan upah tersebut karena pemerintah mengacu ke Undang-Undang Cipta Kerja. Oleh karena itu, pihaknya juga mendesak pemerintah membatalkannya. Ia menyebutkan, terdapat 11 kabupaten/kota yang tidak menaikkan UMK.
”Kami meminta UMK naik sebesar 10 persen agar kehidupan ekonomi buruh bisa lebih baik. Apalagi, kehidupan buruh saat pandemi semakin sulit,” katanya.
Kenaikan upah minimum Provinsi Jabar yang hanya 1,72 persen dinilai tidak adil di tengah mulai menggeliatnya industri setelah sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Misyadi menuturkan, kenaikan upah buruh juga turut membantu pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebab, daya beli masyarakat akan meningkat dan roda ekonomi semakin menggeliat.
”Kalau kenaikannya (UMK) cuma 1 persen, daya beli masyarakat jadi rendah dan ekonomi justru semakin anjlok,” ujarnya.
Demonstrasi yang berlangsung selama 4 jam itu berlangsung tertib. Sekitar 1.000 buruh membubarkan diri pada pukul 15.00. Pengunjuk rasa sempat mendorong pagar Gedung Sate yang dijaga polisi, tetapi tidak terjadi kericuhan.
Unjuk rasa itu dilakukan dalam waktu bersamaan dengan sidang Mahkamah Konstitusi di DKI Jakarta terkait keputusan uji formil UU Cipta Kerja. ”Apabila pemerintah tidak menggubris permintaa buruh, kami akan mengerahkan seluruh anggota untuk menduduki Gedung Sate pada 29 dan 30 November,” ujarnya.
Misyadi menambahkan, pihaknya juga menuntut agar penetapan UMP dihapuskan. Sebab, UMP hanya berdasarkan UMK terendah sehingga merugikan buruh. ”Ini juga bisa dijadikan alasan kabupaten/kota untuk menetapkan upah rendah. Selama ini yang berlaku di lapangan juga UMK, bukan UMP,” ucapnya.
Yadi (32), pengunjuk rasa asal Kabupaten Bandung, meminta pemerintah kabupaten/kota merekomendasikan UMK tanpa berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai turunan dari UU Cipta Kerja. Kenaikan upah di bawah 2 persen dinilai membuat kehidupan buruh semakin menderita.
”Pemerintah bisa cek sendiri kenaikan kebutuhan hidup buruh. Kalau kami tidak ngotot memperjuangkan kenaikan upah saat ini, ke depan upah buruh juga berpotensi terus ditekan karena adanya UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Jabar Setiawan Wangsaatmaja menjelaskan, penghitungan UMP 2022 merupakan yang pertama kali menggunakan PP No 36/2021. Kebijakan upah tenaga kerja merupakan bagian dari program strategis nasional sehingga harus dijalankan sebaik-baiknya oleh kepala daerah.
”Apabila tidak melaksanakan, bisa kena sanksi. Gubernur tidak melaksanakan akan dikenai sanksi oleh menteri (Mendagri). Jika bupati/wali kota tidak melaksanakan, akan kena sanksi dari gubernur,” ujarnya.