Polisi memastikan pengusutan kasus dugaan kekerasan di Sekolah Penerbangan Dirgantara, Batam, berlanjut. Adapun Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah memastikan para korban telah mendapat perlindungan maksimal.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kepolisian Daerah Kepulauan Riau memastikan pengusutan terhadap kasus dugaan kekerasan di Sekolah Penerbangan Dirgantara, Batam, terus berlanjut. Adapun Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah Batam memastikan para korban telah mendapat perlindungan maksimal.
Kepala Bidang Humas Polda Kepri Komisaris Besar Harry Goldenhardt, Rabu (24/11/2021), mengatakan, kasus dugaan kekerasan terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Sekolah Penerbangan (SPN) Dirgantara masih dalam tahap penyelidikan. ”Kami akan menggelar rilis jika nanti status perkara dinaikkan,” katanya.
Pada 19 November lalu, lima siswa melapor ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kepri bahwa mereka telah mengalami kekerasan selama menempuh pendidikan di SPN Dirgantara. Inisial lima korban tersebut adalah SA (18), IN (17), RA (17), GA (17), dan FA (17).
Dari hasil pemeriksaan awal oleh polisi, diketahui lima korban yang kini duduk di bangku kelas XII itu mengalami kekerasan sejak masih kelas X. Polisi telah mengumpulkan sejumlah bukti, di antaranya video yang menunjukkan para siswa dirantai dan dikurung di sebuah ruangan.
Para korban mengaku sering dikurung di ruangan yang menyerupai sel. Ruangan itu terdapat di lantai 4 gedung SPN Dirgantara berukuran sekitar 3 meter x 2 meter. Kondisi ruangan gelap dan pengap. Hanya ada sebuah ventilasi berteralis besi. Ruangan itu biasanya digunakan untuk mengurung 10 anak sekaligus.
Harry mengatakan, terkait dugaan kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur tersebut, polisi menerapkan Pasal 80 juncto Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak. Selain itu, polisi juga mengenakan Pasal 354 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku terancam hukuman penjara lebih dari 5 tahun.
Penelusuran oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan fakta tindak kekerasan di sekolah itu terjadi sejak 2017 hingga 2021 secara kontinu. Pada 2018, KPAI serta Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kepri pernah menindaklanjuti laporan siswa dengan inisial RS yang mengaku dipenjara di SPN Dirgantara Batam.
Korban, yakni RS, yang hendak naik pesawat dari Batam ke Surabaya ditangkap pembina SPN Dirgantara Batam. Tangan RS diborgol lalu dimasukkan ke sel tahanan di sekolah. Lutut RS melepuh karena ia mengalami kekerasan fisik dengan disuruh berjalan jongkok di aspal panas.
Pelaku kekerasan, Erwin Depari, yang merupakan pembina di SPN Dirgantara kemudian ditangkap polisi dan diproses secara hukum. Pengadilan Negeri Batam menjatuhkan hukuman pidana 1 tahun penjara kepada Erwin Depari. Saat itu, terpidana Erwin Depari diketahui merupakan anggota aktif Polri.
Dinas Pendidikan sudah berjanji akan menjatuhkan sanksi jika nanti ada temuan mengenai pelanggaran standardisasi pendidikan di sekolah tersebut.
Ketua KPPAD Batam Abdillah Saman mengatakan, lima siswa yang menjadi korban kekerasan di sekolah itu telah mendapat pendampingan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepri. Kini, mereka semua juga telah dibantu Dinas Pendidikan Kepri untuk melanjutkan pendidikan dengan berpindah sekolah.
”Kami baru saja melakukan rapat bersama Dinas Pendidikan Kepri untuk mendesak pemberian sanksi tegas kepada SPN Dirgantara. Dinas Pendidikan sudah berjanji akan menjatuhkan sanksi jika nanti ada temuan mengenai pelanggaran standardisasi pendidikan di sekolah tersebut,” ujar Abdillah.
Menurut dia, pemerintah seharusnya dapat mengambil langkah tegas dengan segera menutup sekolah tersebut mengingat kasus kekerasan di SPN Dirgantara terus berulang sejak 2017. Ketegasan pemerintah dalam menangani kasus ini sangat dibutuhkan untuk mencegah kasus serupa terus berulang dari tahun ke tahun.