Supiatno (56), warga Temanggung, Jawa Tengah, keliling Indonesia dengan mengendarai sepeda. Ia ingin melihat dari dekat keragaman suku dan budaya Nusantara.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Mengayuh sepeda menjelajahi wilayah Nusantara menjadi aktivitas untuk mengisi hari-hari Supiatno (56) dalam 15 bulan terakhir. Warga Temanggung, Jawa Tengah, itu terobsesi melihat dan mengenal dari dekat keanekaragaman suku-suku dari Sabang sampai Merauke.
Cuaca cukup cerah, Supiatno tampak menikmati setiap kayuhan saat melintasi Jalan El Tari, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (24/11/2021) pukul 08.00 Wita. Dengan sepedanya, ia bergerak menuju Motaain, perbatasan RI-Timor Leste.
Sejumlah perbekalan menemani Supiatno di sepedanya. Mulai dari pakaian, mantel hujan, topi, tas, botol air mineral, makanan ringan, obat-obatan, hingga karpet untuk tidur di jalan jika tidak memungkinkan menginap di rumah warga.
”Saya berangkat dari Temanggung, Jawa Tengah, 13 Agustus 2020, menuju Jakarta, lanjut ke Sumatera, tembus ke Sabang, Aceh. Menuju ke Riau, kemudian ke Kalimantan, Sulawesi, Maluku, sampai Sorong, Manokwari, Biak, Jayapura, dan Merauke. Saya lebih lama di Jayapura dan Merauke karena wilayah itu sedang bergejolak. Meski aksi kelompok kriminal bersenjata itu sporadis dan terbatas, cukup mengganggu kenyamanan warga,” tutur Supiatno.
Selama di Papua, pria bujangan ini memasang sejumlah aksesori dengan nama Papua, Merauke, dan Sorong. Ada pula slogan ”Harga mati untuk NKRI” di sepedanya. Hampir lima bulan berada di Papua, ia banyak bertemu warga setempat, baik yang berdiam di kota-kota maupun di permukiman wilayah pedalaman.
Selama perjalanan keliling Nusantara, Supiatno mengaku hanya membawa bekal uang tunai Rp 3 juta. Uang tersebut sebagian sudah dimanfaatkan untuk belanja aksesori selama di Papua serta biaya makan dan minum di perjalanan. Sebagian kebutuhan selama perjalanan dibantu warga, tempat ia melintas. Layanan transportasi kapal laut juga diberikan cuma-cuma setelah ia melaporkan diri di kantor pelabuhan dan petugas keamanan setempat.
Perjalanan di Papua dan Papua Barat cukup berkesan baginya. Ia menyaksikan penduduk lokal kebanyakan berdiam di pinggiran kota. Sejumlah pusat perbelanjaan, perhotelan, transportasi, dan pusat bisnis lain di Papua dan Papua Barat masih didominasi orang luar. Ada kesenjangan cukup jauh.
Puluhan mama Papua berjualan sayur dan hasil pangan lokal di pasar serta sisi jalan di Kota Jayapura, Merauke, Biak, Manokwari, dan Sorong. Namun, ia tidak menemukan satu pun warung makan yang dikelola penduduk lokal dan menyajikan pangan lokal Papua.
”Saya masuk sejumlah warung makan, cari makanan khas di sana, tidak ada orang asli yang jualan,” ucapnya.
Menurut dia, perlu ada kebijakan memproteksi orang asli Papua dalam usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah perlu memiliki skema pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.
Meski terasa berat, demi kemajuan masyarakat Papua, hal itu harus dijalankan. Kemudian, pengusaha-pengusaha di Papua wajib memberdayakan pengusaha lokal asli Papua dengan konsep ”bapak angkat”.
Di sisi lain, ia gembira melihat kondisi hutan dan alam Papua secara keseluruhan tampak masih asri. Kondisi ini perlu dijaga pemerintah dan masyarakat sehingga tidak dirusak atas nama pembangunan. Apalagi pengalihan fungsi lahan itu dilakukan pemodal besar dari luar.
Keramahan warga
Secara umum, Supiatno terkesan dengan keramahan warga di sejumlah daerah yang dilewati. Masyarakat Aceh, misalnya, sangat ramah dan familier. Mereka cukup sukses di bidang UMKM, perhotelan, transportasi, dan bisnis.
Pria yang mengaku sebagai salah satu petugas keagamaan di Temanggung ini menuturkan, pengalaman paling terkesan ia alami di sepanjang jalan di Pulau Sulawesi. Dari Manado sampai Makassar, kelompok ojek, motor gede, pemilik warung makan, dan kios di sepanjang jalan yang ia lalui menyambut Supiatno dengan penuh keramahan. Mereka mengajak mengobrol dan memperkenalkan tempat-tempat unik di wilayah mereka.
”Mereka sangat menghibur dan sangat terkesan. Hampir semua lokasi yang saya tempati, seperti Makassar, Toraja, Palopo, Poso, Gorontalo, Manado, dan kota-kota lain, sangat ramah dan bersahabat. Terima kasih kepada teman-teman di Sulawesi,” kata Supiatno.
Untuk menuju Motaain, pria kelahiran Temanggung, 12 Agustus 1965, ini diperkirakan butuh waktu empat hari lagi untuk sampai ke perbatasan. Jarak 300 kilometer itu jika ditempuh dengan kendaraan roda empat butuh waktu 6-8 jam dan dengan pesawat hanya butuh waktu 45 menit.
Sambil mengayuh sepeda, ia menikmati keindahan alam sepanjang jalan, terutama saat melalui jalan di bibir pantai. Sayang, ia tidak membawa telepon seluler pintar guna mengabadikan semua momen indah selama perjalanan itu. Hanya ada ponsel untuk telepon dan pesan singkat.
”Indonesia sangat luas dan beragam suku, agama, ras, budaya, dan pulau. Kekayaan seperti ini perlu dijaga dan dirawat semua warga negara. Jika semua memiliki pemahaman yang sama tanpa memikirkan kepentingan suku, agama, dan kelompok, Indonesia sudah lebih maju dari saat ini,” katanya.
Sesuai rencana, Supiatno akan bermalam di Motaain, perbatasan RI-Timor Leste, kemudian balik ke Kupang melalui pantai selatan Timor, yakni Atambua, Betun, Batu Putih, Takari, Oelamasi, Kupang. Ia melanjutkan perjalanan ke Lembata, Flores Timur, Sikka, sampai Labuan Bajo. Menuju Bima, Mataram, Denpasar, Banyuwangi, dan kembali ke Temanggung, Jawa Tengah, diprediksi Mei 2022.
Secara terpisah, Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Nusa Tenggara Timur Yohanes Oktavianus mengaku tidak sempat mengetahui kegiatan Supiatno di NTT saat mengelilingi Indonesia. Selama ini ada beberapa orang yang melakukan perjalanan keliling Indonesia seperti Supiatno, entah dengan sepeda atau sepeda motor. Walakin, ia tetap mengapresiasi apa yang dilakukan Supiatno dan mereka yang punya tekad kuat mengelilingi Indonesia.
”Orang-orang seperti ini ingin memberi rasa cinta terhadap Tanah Air dengan cara mereka, tetapi juga ingin melihat dari dekat setiap budaya dan kehidupan masyarakat di setiap provinsi,” kata Yohanes.