Bambang Eka Prasetya Menebar Kisah Kebajikan Borobudur
Bambang Eka Presetya adalah sosok pegiat seni membaca relief Candi Borobudur. Dia sudah mengajari leboh dari 1.000 orang dari dalam dan luar negeri. sejak sepuluh tahun silam.
Setiap guratan relief di Candi Borobudur menyimpan beragam cerita kebajikan yang luar biasa. Bambang Eka Prasetya (69) tergerak untuk mengajak siapa saja belajar membaca relief lebih seksama. Gerakan pembelajaran tentang cerita relief dinamakan Sebar atau Seni Membaca Relief.
“Di tengah ketidaktahuan perihal makna cerita relief, saya tidak ingin ada orang yang kemudian seenaknya memaknainya secara keliru,” ujar Bambang yang merupakan warga Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, saat ditemui Rabu (10/11/2021).
Candi Borobudur memiliki 2.672 panel relief yang terdiri dari 1.212 panel dekoratif dan 1.460 panel relief naratif. Dalam panel naratif itulah termuat begitu banyak cerita.
Gerakan Sebar intens dilakukan Bambang sejak tahun 2010, baik di dalam negeri luar negeri, kini sudah ada lebih dari seribu orang, termasuk umat Budha, yang belajar membaca relief candi bersama Bambang.
Kegiatan pembelajaran dilakukan melalui inisiatif Bambang mengumpulkan sejumlah orang, ataupun memenuhi undangan sebagai pembicara. Dalam perjalanannya, tak jarang orang meragukan keterangan dari Bambang. Meski demikian, reaksi apa pun tidak menghentikan aktivitas dia untuk terus bergerak, mengajak banyak orang dari berbagai kalangan belajar membaca kisah dari relief candi. “Saya tidak bekerja berdasarkan reaksi orang,” ujarnya.
Dia ingin terus mengajak lebih banyak orang, terutama anak-anak, generasi muda, untuk belajar mengenal lebih jauh Candi Borobudur dengan membaca setiap kisah di reliefnya.
Cerita keliru
Bambang pernah menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Widya Yuwana Madiun. Di sana, dia mendalami Kitab Kakawin Sutasoma, yang ketika itu diketahuinya bersumber dari kisah-kisah di relief Candi Borobudur.
Lulus tahun 1975, dia mengajar di tiga sekolah di Magelang. Sembari mengajar, dia sering diundang mengajarkan tentang Kakawin Sutasoma di berbagai tempat. Merasa sudah berada dekat dengan sumber asli Sutasoma, yaitu Candi Borobudur, maka dia berupaya memperkaya materi ajar dengan membaca buku, termasuk kitab Tripitaka.
Setiap kali datang ke kawasan Borobudur, Bambang berusaha menambah pengetahuannya dengan berdiskusi bersama orang lain yang memiliki ketertarikan yang sama. Namun, dia terkejut menemukan bahwa Kakawin Sutasoma, tidak murni bersumber dari Candi Borobudur.
“Dari sumber-sumber yang saya dapatkan muatan Hindu memang sengaja dimasukkan. Kakawin Sutasoma memang sengaja dibuat untuk mendamaikan umat Hindu dan Budha di masa itu,” ujarnya.
Kekeliruan pemahaman itulah, yang kemudian mendorongnya untuk semakin mendalami cerita dari relief Candi Borobudur. Keinginan kuat itu semakin terbentuk melihat banyak orang sengaja menyebarkan cerita atau mitos keliru tentang Candi Borobudur demi tujuan tertentu. Salah satu mitos keliru adalah jika seseorang berhasil menyentuh bagian tertentu dari tubuh arca Budha dalam stupa berongga, maka keinginannya terkabul. Menurut Bambang, mitos itu hanya cerita yang dibuat dengan tujuan untuk mendatangkan wisatawan.
“Mitos itu banyak disebarkan demi kepentingan pemasaran, agar semakin banyak orang penasaran dan datang ke Candi Borobudur,” ujarnya. Mitos tersebut banyak disebarkan di era tahun 1980-an, pascapemugaran kedua Candi Borobudur.
Tahun 2004-2011, dia pindah ke Kalimantan, dan sempat beralih profesi dari semula menjadi guru, menjadi pebisnis properti. Namun, selama perjalanan waktu tersebut, Bambang terus memperdalam pembelajaran tentang Candi Borobudur, terutama tentang kisah-kisah yang terukir pada reliefnya.
Tahun 2010, ingatan akan Candi Borobudur menggerakkan Bambang pergi ke sejumlah negara antara lain Thailand dan Malaysia. Saat mengunjungi sejumlah kota, dia bertemu dengan teman-temannya dan mulai menyebarkan cerita yang terukir di relief candi.
Tahun 2012, setelah bisa menyerahkan usahanya ke salah satu putranya, dia pun mantap kembali pindah ke Magelang dan membentuk komunitas sastra Nittramaya. Selain menggerakkan teman-teman seniman dan pecinta sastra untuk menerbitkan buku bersama, Bambang mengajak banyak orang untuk belajar menekuni cerita-cerita relief candi berbasis sastra.
Di luar komunitas, dia juga mengajak banyak orang untuk memahami cerita relief candi. Foto-foto dan materi kegiatan dibaginya ke media sosial. Setiap unggahan di media sosial, akhirnya memicu reaksi, membuat banyak orang tertarik dan kemudian mengundang Bambang ke berbagai tempat.
Kini, Bambang telah melakukan pembelajaran membaca relief ke seluruh penjuru Nusantara, dan beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Sebagian kunjungan dibiayai pengundang dan sebagian lagi dibiayai sendiri. Dia sama sekali tidak pernah menetapkan batasan tarif untuk dirinya sendiri.
Seiring waktu, Bambang terus berupaya memperbaiki cara penyampaian materi cerita. Tidak sekedar memberikan materi secara monolog, dia juga menggunakan media wayang. Wayang yang dibentuk sesuai dengan figur tokoh yang ada di cerita relief. Bambang mendesain wayang itu lalu dibuat oleh perajin. Adapun, bahan wayang yang dipakai adalah mika dan karton. Terkadang, dia pun mendandani dirinya sendiri untuk menyampaikan cerita dengan berlaku seperti wayang orang.
Kini, Bambang telah mengajak, dan mengajari ribuan orang termasuk umat Budha, para pegawai PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Bambang mengajak mereka bersama-sama mempelajari kisah relief Candi Borobudur. Namun, dia tetap merasa apa yang sudah dilakukannya belum cukup.
Baca juga : Mendaras Pesan Kebajikan Relief Borobudur
Dia merasa masih harus mengajak dan menggugah kesadaran banyak orang, karena hingga saat ini masih tetap ada sejumlah individu yang tetap enggan dan menolak membaca kisah relief candi.
“Karena menganggap pembelajaran relief terlalu rumit, sejumlah orang yang saya ajak menolak, dan memilih untuk menikmati Candi Borobudur dari Punthuk Setumbu saja,” ujarnya sembari tersenyum getir. Punthuk Setumbu adalah obyek wisata berupa kawasan perbukitan dengan pemandangan berlatar belakang Candi Borobudur.
Minat banyak orang yang memilih untuk menikmati pemandangan Candi Borobudur secara fisik, dan semata memanfaatkannya untuk kebutuhan berfoto, dianggapnya sungguh memprihatinkan. Pasalnya, kekuatan cerita dari reliefnya memiliki nilai kebajikan, nilai luar biasa yang sepatutnya diresapi untuk bekal kehidupan semua orang dari berbagai kalangan usia.
Bambang Eka Prasetya
Lahir : Jombang, 5 Desember 1952
Pendidikan terakhir : Magister Manajemen
Profesi : Pegiat seni membaca relief candi
Istri : Nies Karmini (64)
Nama anak : 5