Anak gajah dengan belalai diamputasi karena busuk terkena jerat itu ditemukan mati dalam masa perawatan. Selain gajah dewasa, anak gajah rentan menjadi korban konflik perebutan lahan dengan manusia.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY, VINA OKTAVIA
·6 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI MASRY
Gajah berusia satu tahun mati dalam perawatan di Pusat Latihan Gajah Saree, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Selasa (16/11/2021). Gajah itu ditemukan kritis karena belalainya terkena jerat.
Dua hari dirawat di Pusat Latihan Gajah Saree, Aceh Besar, anak gajah yang ditemukan terjerat belalainya di Aceh Jaya itu mati. Belalainya diamputasi karena membusuk. Selain gajah dewasa, anak gajah adalah korban paling rentan dalam konflik perebutan lahan dengan manusia.
Dokter hewan Rika Marwati tak bisa menyembunyikan kesedihan saat mendapat kabar anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang baru dia rawat dua hari itu mati, Selasa (16/11/2021) pagi. Padahal, baru Senin malam Rika memberinya makan. Ia tidak menyangka dalam sekejap, tanpa ada tanda-tanda, mamalia nyaris punah itu mati.
”Kemarin dia kuat, kandang pun diseruduk. Dia juga makan lahap, mungkin karena sudah lama tidak mendapat makanan,” kata Rika saat ditemui di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Selasa.
Gajah berusia satu tahun itu ditemukan di perkebunan sawit di Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, Minggu (14/11/2021). Belalainya nyaris putus terkena jerat babi yang dipasang warga. Masih ada tali jerat di belalai yang terluka dan membusuk. Diduga ia lama terkena jerat sebelum akhirnya ditinggalkan kelompoknya.
Saat ditemukan, berat badan sekitar 200 kilogram, tidak terbilang kurus untuk ukuran usia satu tahun. Demi memudahkan proses evakuasi, gajah kecil itu terlebih dahulu ditembak bius. Malam itu juga gajah dievakuasi ke PLG Saree, sekitar 260 kilometer dari lokasi penemuan.
Anak gajah sumatera usia 1 tahun saat diperiksa tim BKSDA Aceh, Minggu (14/11/2021) di Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh. Gajah itu luka di belalai terkena jerat babi.
Rika mengatakan, karena luka pada belalai telah membusuk, belalai itu terpaksa diamputasi. Pascaamputasi, gajah itu masih terlihat kuat. Lalu ditempatkan di kandang terbuka dari kayu tanpa dinding, berlantai papan.
Rika optimistis gajah ini akan bertahan lebih lama. Namun, ternyata keesokan harinya malah mati. ”Kami belum tahu apa penyebabnya. Anak gajah sangat rentan diserang virus herpes. Kalau sudah usia di atas 10 tahun, baru aman," kata dia. Elephant endorheliotropic herpes virus (EEHV) atau herpes gajah selama ini memang menjadi momok menakutkan bagi gajah anakan.
Kompas mencatat sejak 2014 sampai 2021 ada tujuh anak gajah mati dalam masa perawatan atau pemeliharaan di Aceh dan satu ekor mati dalam kubangan.
Bangkai gajah itu lalu diangkat ke lokasi penguburan, 15 meter dari kandang. Sebelum dikuburkan, tim dokter melakukan nekropsi dengan mengambil organ dalam seperti paru, jantung, hati, limpa, feses, dan lidah. Organ itu akan diperiksa di laboratorium forensik. Butuh waktu 2-4 pekan untuk menganalisis di laboratorium.
Kompas mencatat sejak 2014 sampai 2021 ada tujuh anak gajah mati dalam masa perawatan atau pemeliharaan di Aceh dan satu ekor mati dalam kubangan. Konflik, baik perebutan lahan dan perburuan tidak hanya membuat gajah dewasa menjadi korban, tetapi juga anak-anaknya.
Sejauh ini tidak ada satu pun anak gajah sumatera hasil evakuasi di Aceh yang berhasil dirawat hingga tumbuh dewasa. Semuanya berakhir kematian.
Kondisi lebih beruntung terjadi pada Erin, anak gajah berumur dua tahun yang terkena jerat di kawasan Susukan Baru, di Wilayah I Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung, sekitar 500 meter dari permukiman penduduk, Minggu (24 Juli 2016). Belalainya sudah terpotong saat ditemukan akibat terkena jerat.
Erin ditemukan pertama kali saat gajah mungil itu baru berumur dua tahun. Kurus, lemah, cacingan, diare, dan fesesnya pun sangat bau.
Ering kecil lantas dievakuasi tim TNWK dan dibawa ke Rumah Sakit Gajah Prof Dr Rubini Atmawidjaja di Pusat Konservasi Gajah TNWK. Dokter yang merawatnya memberi infus, obat-obatan, dan pangan bernutrisi mencukupi. Petugas juga harus menyuapi Erin setiap waktu karena anak gajah itu tidak dapat meraih makanannya sendiri.
Dokter hewan yang menangani anak gajah itu, drh Diah Esti Anggraini, menuturkan, saat ini kondisi kesehatan Erin semakin membaik. Selain sudah bisa makan sendiri, Erin juga semakin aktif saat digembalakan di hutan TNWK.
Memasuki usia delapan tahun, tubuh Erin termasuk kurus karena berat badannya hanya 650 kilogram dibandingkan dengan gajah seusianya. Gajah-gajah lain seusia itu rata-rata beratnya lebih dari 800 kg. Erin juga belum menunjukkan perilaku reproduksi seperti gajah seusianya.
Erin, gajah sumatera dengan belalai putus karena jerat, dirawat dan dipelihara di Pusat Pelatihan Gajah Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Selasa (20/3/2018). Saat itu usianya 4 tahun.
”Memang ada perbedaan. Gajah yang ditemukan dalam kondisi ditinggal induknya pertumbuhannya tidak sepesat gajah-gajah yang hidup bersama induknya. Apalagi, Erin belalainya lebih pendek,” kata Esti.
Belum ada penelitian yang mengungkap secara detail mengapa pertumbuhan gajah tanpa indukan jadi lebih lambat tumbuh. Esti menduga salah satu faktornya karena anak gajah kekurangan air susu dari induknya. Anak gajah biasanya menyusu hingga usia empat tahun.
Pada kasus gajah Erin, kondisi belalai yang terpotong karena jerat juga diduga mempengaruhi proses memamah biak. Erin tak mampu makan dengan cepat seperti gajah dengan belalai normal. Terkadang, Erin menggunakan kakinya saat mengambil makanan atau menekuk kakinya lebih dulu. Untuk benda-benda kecil, biasanya menyedot benda itu.
Koordinator Pusat Konservasi Gajah TNWK Bambang Suwarto menuturkan, Erin akan tetap dipelihara di pusat konservasi gajah dan tidak akan dilepasliarkan ke habitatnya. Tidak ada yang tahu persis siapa induk gajah Erin. Petugas juga tidak tahu dari kelompok gajah liar mana Erin berasal. Dengan kondisi belalai terpotong, kemungkinan bertahap hidup di alam liar juga sangat terbatas.
Erin kini hidup bersama 35 ekor gajah jinak lainnya di PLG TNWK. Erin juga memiliki ayah angkat, yakni Ketua Komisi IV DPR Sudin yang memberikan bantuan biaya perawatan untuk gajah itu.
DOKUMENTASI TNWK/SUBAKIR
Bayi gajah jantan yang baru lahir sedang bersama dengan induknya, Kamis (28/3/2019), di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Lampung.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur mengatakan, kerusakan habitat karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan menjadi faktor terbesar konflik gajah. Tidak sedikit gajah ditemukan mati atau terkena jerat di lokasi perkebunan, baik milik warga maupun korporasi. ”Perluasan area perkebunan sawit telah mengusir gajah dari habitatnya,” kata Nur.
Kerusakan hutan karena pembalakan liar dan tambang ilegal juga memicu konflik. Saat konflik terjadi, para pemburu memanfaatkan untuk membunuh gajah.
Nur mengatakan, perlindungan satwa harus dilakukan secara menyeluruh mulai, dari hulu hingga hilir. Perbaikan habitat harus dilakukan karena kini 85 persen gajah sumatera berada di luar kawasan.
Pada Maret 2021, Kepala Balai Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera waktu itu, Eduward Hutapea menyebut populasi gajah tinggal 693 ekor sejak 2019. Berdasarkan catatan Kompas, populasinya masih 2.400 ekor pada 2007, lalu menyusut jadi 1.300 ekor pada 2014 (Kompas, 22 Maret 2016). Dengan data terbaru tinggal 693 ekor menandakan populasi gajah sumatera turun hampir 50 persen dalam rentang tujuh tahun (Kompas.id, 30/3/2021).
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arinato menuturkan, upaya-upaya perlindungan telah dilakukan. Namun, perburuan dan kerusakan hutan menjadi ancaman besar keberlangsungan hidup gajah sumatera. ”Kami memasang pagar kejut di Bener Meriah dan Pidie membuat barrier di Aceh Timur. Ini bagian dari mitigasi konflik,” kata Agus.
DOKUMEN BKSDA ACEH
Pemasangan pagar kejut di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, November 2021. Pagar kejut untuk membatasi pergerakan gajah liar ke kawasan budidaya warga
Keberadaan Conservation Respon Unit (CRU) sebagai pusat mitigasi di tujuh lokasi juga upaya pemerintah untuk menekan konflik gajah.
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Reza Ferazi mengatakan, perlu diterapkan pendekatan teknologi dalam mitigasi konflik satwa. ”Hutan kita terlalu luas dan satwa kita juga. Selain pendekatan komunitas warga, perlu juga penerapan teknologi sehingga kita mudah memantau pergerakan gajah,” katanya.
Reza juga mendorong semua pemangku kepentingan bersama-sama bergerak menyelamatkan gajah sumatera di Aceh. Ia mengingatkan agar jangan setelah hilang baru kita semua sadar untuk melindunginya.