Babak Baru Suksesi di Pura Mangkunegaran
Pihak keluarga inti Pura Mangkunegara mulai berembuk untuk menentukan sosok penerus yang akan memimpin kerajaan, menggantikan Mangkunegara IX yang wafat 100 hari lalu.
Pembahasan soal suksesi takhta Pura Mangkunegaran memasuki babak baru. Pihak keluarga inti mulai berembuk untuk menentukan sosok penerus yang akan memimpin kerajaan tersebut. Adanya garis keturunan laki-laki atau patrilineal disebut menjadi salah satu hal pertimbangan utama.
Ratusan orang berkumpul di Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (19/11/2021) malam. Ada yang mengenakan pakaian adat Jawa, seperti beskap dan kebaya, ada pula yang mengenakan batik. Namun, warna pakaian yang dikenakan dalam kesempatan itu sebagian besar bernuansa gelap. Hari itu, keluarga besar Pura Mangkunegaran hendak mengikuti peringatan 100 hari berpulangnya Mangkunegara IX.
Sorot mata hadirin, salah satunya, tertuju pada sosok Gusti Pangeran Haryo (GPH) Paundrakarna Jiwa Suryanegara. Ia merupakan putra Mangkunegara IX dari hasil pernikahan dengan Sukmawati Soekarnoputri, yang tak lain adalah putri Presiden Soekarno. Namun, mereka bercerai setelah lebih kurang 10 tahun menikah.
Baca juga : Penerus Takhta Pura Mangkunegaran Menunggu Peringatan 100 Hari Mangkunegara IX
Paundrakarna mencuri perhatian hadirin dengan kemeja batik berwarna hijau yang dikenakannya. Terdapat motif menyerupai naga pada kemeja batik tersebut. Tampak pula ada tulisan berupa huruf ”P” pada bagian dada. Dengan tampilan itu, ia tampak mencolok dibandingkan hadirin lain yang berpakaian dengan nuansa hitam-hitam.
Adik kandung Paundrakarna, yaitu Gusti Raden Ayu (GRAy) Putri Agung Suniwati, yang akrab disapa Menur, juga menghadiri acara tersebut. Menur mengenakan kebaya hitam lengkap dengan jarik batik. Sanggul juga dikenakannya dalam acara itu. Ia duduk persis di belakang Paundrakarna sepanjang acara.
Terlihat beberapa kali Paundra menyapa sejumlah tamu yang hadir, baik itu kerabat keluarga maupun tamu undangan lain. Adapun tamu undangan yang hadir antara lain Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta periode 2012-2021 FX Hadi Rudyatmo, Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, serta KGPH Dipokusumo dari Keraton Kasunanan Surakarta .
Sekitar 10-15 menit sebelum acara dimulai, GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo muncul dari Dalem Ageng Pura Mangkunegaran, mendampingi ibunya yang sekaligus permaisuri Mangkunegara IX, Gusti Kanjeng Putri Prisca Marina. Bhre mengenakan beskap hitam lengkap dengan belangkon dan jariknya, sedangkan Prisca berkebaya hitam. Mereka juga menyempatkan berkeliling menghampiri sejumlah tamu yang hadir.
Sampai tiba kesempatan Bhre berpapasan dengan Paundrakarna. Keduanya tak sekadar saling sapa, tetapi juga berpelukan. Hubungan mereka tampak akur. Isu suksesi yang tengah ramai diperbincangkan publik seolah tak berpengaruh.
Memang, selepas kepergian Mangkunegara IX, publik bertanya-tanya soal sosok calon penerus takhta. Sebab, Mangkunegara IX mempunyai dua putra laki-laki dari dua kali pernikahannya. Kedua putra itu tak lain lagi adalah Bhre dan Paundrakarna.
Rembuk keluarga
Kepala Lembaga Wedhana Satriyo Pura Mangkunegaran Kanjeng Raden Mas Tumenggung Lilik Priarso menyampaikan, isu suksesi tak etis apabila langsung dibahas selepas wafatnya Mangkunegara IX. Pergantian takhta baru bisa dibicarakan setelah peringatan 100 hari kepergian almarhum. Pembahasan mengenai hal itu pun hanya dilakukan oleh keluarga inti.
”Beliau-beliau yang berwenang di sini, yaitu Gusti Kanjeng Putri (Prisca Marina) dan putra-putra dalem, atau saudara inti, baru mau membicarakan soal jumenengan (kenaikan takhta) atau yang nanti jumeneng (bertakhta). Ini beliau-beliau baru rembukan,” kata Lilik seusai acara peringatan 100 hari wafatnya Mangkunegaran IX.
Pembahasan suksesi dipimpin oleh GKP Prisca Marina sebagai permaisuri Mangkunegara IX. Keempat putra dan putri Mangkunegara IX juga dilibatkan. Mereka terdiri dari GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara, GRAy Putri Agung Suniwati atau Menur, GRAj Ancillasura Marina Sudjiwo, dan GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo.
Baca juga : Kesepakatan Keluarga Krusial dalam Suksesi Pura Mangkunegaran
Selain itu, kata Lilik, pembahasan juga dilakukan bersama dengan kerabat inti dari keluarga besar Pura Mangkunegaran. Para sesepuh juga dilibatkan untuk dimintai pendapat dan saran mengenai penentuan calon penerus. Itu semua agar keputusan yang nantinya dihasilkan benar-benar tepat.
”Keputusan itu sepenuhnya ada di keluarga inti, di bawah koordinasi Gusti Kanjeng Putri (Prisca). Ini karena beliau masih sugeng (sehat). Dan, beliau juga prameswarinya (permaisuri Mangkunegara IX),” kata Lilik.
Belum dipastikan berapa lama pembahasan oleh pihak keluarga Pura Mangkunageran. Namun, Lilik berjanji akan segera menyampaikan kepada publik jika nanti pihak keluarga sudah mempunyai keputusan bulat. Ia juga memastikan tidak terjadi kekosongan kepemimpinan
Kandidat yang bisa naik takhta akan merujuk pada paugeran atau peraturan adat yang berlaku di Pura Mangkunegaran. Menurut peraturan tersebut, penerus takhta harus anak laki-laki dari permaisuri raja sebelumnya. Itu merupakan tradisi Kerajaan Mataram. Ketentuan itu tertulis dalam Serat Paliatma, kumpulan ajaran mengenai berbagai hal dari Mangkunegara IV.
”Aturan bakunya begitu. Kita meneruskan tradisi Mataram yang patrilineal. Jad,i harus putra kakung (anak laki-laki). Syukur-syukur putra dari prameswari yang resmi,” kata Lilik.
Dilihat dari syarat tersebut, Bhre punya peluang paling besar menjadi penerus takhta. Sebab, ia dilahirkan sewaktu Mangkunegara IX sudah naik takhta. Lain halnya dengan Paundrakarna yang dilahirkan saat Mangkunegara IX masih berstatus sebagai pangeran dengan nama GPH Sujiwakusuma.
Dari segi usia, Bhre tergolong cukup muda. Saat ini, ia baru berusia 24 tahun. Meski demikian, ia sudah diberi tanggung jawab oleh Mangkunegara IX untuk mengurus renovasi Pura Mangkunegaran, yang dimulai sejak Mei lalu. Ia juga sempat beberapa kali muncul dalam acara ritual rutin kerajaan tersebut. Salah satunya adalah menjadi cucuk lampah atau orang di barisan paling depan saat kirab pusaka peringatan malam 1 Suro.
Akan tetapi, saat ditanya soal peluang suksesi, Bhre enggan berkomentar. Ia hanya mengatupkan kedua tangannya sambil tersenyum. ”Enggak, enggak dulu, ya,” ucapnya menanggapi pertanyaan wartawan.
Di sisi lain, Paundrakarna tampak punya lebih banyak pengalaman. Usianya tergolong sudah matang, yaitu 46 tahun. Ia pernah berkiprah dalam dunia politik dengan menjabat sebagai anggota DPRD Kota Surakarta periode 2009-2014 dari Fraksi PDI-P. Namun, pada 2011, ia mengundurkan diri.
Ia juga diketahui aktif dalam beberapa kegiatan kesenian, khususnya seni tari. Akan tetapi, belakangan ia juga ikut mendesain batik.
Selain Bhre dan Paundra, ada sosok lain yang menurut publik juga masuk dalam peta calon penerus takhta. Sosok tersebut ialah Kanjeng Raden Mas Haryo Roy Rahajasa Yamin. Roy merupakan cucu Mangkunegara VIII, sekaligus cucu pahlawan nasional Mohammad Yamin. Namanya mencuat di publik setelah ada temuan pola suksesi dari kerajaan tersebut yang tidak saklek atau kaku. Pergantian takhta tak harus ke anak laki-laki, tetapi juga bisa ke cucu.
Takhta dari Raden Mas Said atau Mangkunegara I, misalnya, diwariskan kepada cucunya, yaitu Raden Mas Sulama, yang selanjutnya menjabat sebagai Mangkunegara II. Pola serupa terjadi pada suksesi dari Mangkunegara II ke Mangkunegara III. Raden Mas Sarengat atau Mangkunegaran III merupakan cucu Mangkunegara II dari anak perempuannya, yakni Bendoro Raden Ayu Sayati (Kompas, 22/10/2021).
”Ada beberapa pendapat (soal pewarisan takhta). Nanti tentu pilihan dari keluarga inti. Kita tunggu saja. Intinya, apa pun amanah dari keluarga, saya siap. Kita tunggu saja, ya,” kata Roy yang juga hadir dalam peringatan 100 hari wafatnya Mangkunegara IX.
GRAy Putri Agung Suniwati atau Menur mengatakan, pihaknya bersikap netral terhadap suksesi yang terjadi di Pura Mangkunegaran. Ia menginginkan agar nantinya siapa pun yang terpilih sebagai penerus takhta tetap bisa membuat kerajaan tersebut semakin berkembang. Terlebih lagi, jangan sampai adat istiadat yang ada justru hilang tergerus zaman.
”Saya tidak membedakan satu sama lain. Selalu support saja ke depan, siapa pun itu (penerus takhtanya),” kata adik Paundrakarna tersebut.
Akar sejarah
Sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), Susanto, mengungkapkan, kesepakatan keluarga besar menjadi hal penting dalam proses suksesi. Sosok penurus nantinya harus bisa bekerja sama dengan segenap keluarga besar, khususnya untuk membuat nama Pura Mangkunegaran kembali besar di tengah masyarakat.
”Saya mengharapkan keluarga ada kebijakan. Jadi, tidak ada yang mengganjal. Harus ada link antara yang memegang kekuasaan dan keluarga,” kata Susanto.
Lebih lanjut, ia menuturkan, penerus takhta nantinya juga harus benar-benar memahami akar sejarah dari kerajaan yang dipimpin. Dua kandidat yang ada, baik Paundrakarna maupun Bhre, lahir di Jakarta. Keduanya juga lebih banyak menghabiskan waktu tumbuh di Ibu Kota.
”Calon-calon ini tercerabut dari akarnya. Jauh sekali generasi yang baru ini. Mereka harus dilekatkan kembali pada sejarah leluhurnya,” kata Susanto.
Dihubungi terpisah, Tunjung W Sutirto, sejarawan UNS lainnya, berharap agar penerus takhta tak hanya berdiri sebagai simbol kerajaan. Hendaknya ada peran lain yang dapat dilakukan. Salah satunya menjadi teladan alternatif bagi masyarakat, khususnya dengan ajaran-ajaran luhur dari para pendahulu kerajaan. Ini penting untuk mengaktualisasikan lagi peran kerajaan di tengah masyarakat.
”Hendaknya kelak penerus takhta bisa menjadi jawaban bagi krisis keteladanan yang dialami bangsa ini. Ketika elite-elite politik tidak menampilkan suatu keteladanan di depan masyarakatnya, maka pemimpin dari ranah budaya menjadi alternatif panutan. Tentu berpedoman dengan ajaran leluhur,” kata Tunjung.
Tanggung jawab besar menanti siapa pun yang bakal dipilih menjadi penerus takhta Pura Mangkunegaran.