Lewat Sanggar Persing, Rendra Styawan berupaya mengajak anak muda untuk melirik lagi seni ukir jepara yang dulu jadi identitas Jepara.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Penurunan minat pemuda Jepara pada seni ukir ada pada titik kritis. Sejumlah faktor, termasuk beragamnya lapangan pekerjaan, menjadi pemicu. Namun, menurut Rendra Styawan (41), tantangan sesungguhnya ada di diri sendiri. Lewat Sanggar Persing, ia berikhtiar membawa pemuda kembali mencintai budayanya.
Tak mulusnya regenerasi pengukir di Jepara sebenarnya telah menjadi ancaman sejak lama. Jangankan pengukir, mencari tukang kayu dan pengampelas semakin sulit dalam sekitar lima tahun terakhir. Masuknya sejumlah investasi asing yang mendirikan pabrik seperti garmen, tekstil, dan sepatu menarik minat pemuda untuk bekerja di sektor tersebut.
”Sekarang, mencari tukang ampelas, tukang jahit di sektor konfeksi, hingga tukang cetak genting sudah sulit. Kalau kondisi seperti ini terus, 10-15 tahun ke depan, Jepara bisa jadi kota buruh,” kata Rendra Styawan atau biasa disapa Wawan, di rumahnya di Desa Langon, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Jumat (12/11/2021).
Kegelisahan Wawan mulanya tertuju pada sejumlah pemuda di lingkungannya yang tak terarah dalam berkegiatan dan cenderung pada hal-hal negatif. Misalnya balap motor liar. Pada 2013, ia mendirikan Sanggar Persing di rumahnya serta mengumpulkan para pemuda. Kegiatan diarahkan pada olahraga dan bakti sosial.
Dalam perkembangannya, Wawan melihat semakin banyak anak muda yang tidak bisa mengukir. Tertarik pun tidak. Itu ironi mengingat identitas Jepara sebagai kota ukir. Pada September 2019, ia pun mantap memutuskan bergerak juga dalam konservasi generasi ukir Jepara dengan tajuk ”Sanggar Persing Reborn”.
Sejak itu, Sanggar Persing membuka pelatihan mengukir gratis bagi para pemuda. Bagi anak-anak sekolah dasar (SD) di lingkungan terdekat, mereka juga menawari uang jajan Rp 5.000 per hari jika mau belajar. Namun, mencari anak-anak yang berminat bukan perkara mudah. Mereka pun terus mencarinya.
Akan tetapi, Wawan menekankan bahwa Sanggar Persing ada bukan untuk mencetak pengukir. ”Namun, kami ingin mengkristalkan pengukir. Yang jelas, bagaimana caranya mereka kembali mencintai Jepara dan mencintai budayanya. Kalau saya bilang ke teman-teman, kita ini sedang membuat peradaban baru,” jelasnya.
Wawan menilai, bermunculannya sejumlah industri di Jepara sejatinya hanya kambing hitam. ”Saya tak pernah memusuhi industri kapitalis, juga pemerintah. Namun, cuma satu, bagaimana kita membangun kecintaan lagi pada Jepara? Sebab, musuh utama ialah diri kita sendiri. Berani enggak membuka cakrawala untuk ngeuh terhadap budaya, sejarah, yang selama ini seolah-olah sudah ditinggalkan,” katanya.
Wawan menuturkan, perihal tersendatnya regenerasi pengukir tidak akan ada ujungnya jika mencari benar salah. Baginya yang penting saat ini ialah terus bergerak untuk menyebarkan pengaruh agar para anak muda kembali mencintai budaya Jepara, termasuk seni ukir.
Berubah
Tak dimungkiri, zaman pasti berubah dan akan selalu berubah. Sejak kelas II SD, Wawan sudah akrab dengan alat-alat ukir karena setiap hari, sepulang sekolah, diharuskan belajar mengukir oleh ayahnya, yang juga pengukir. Teman-teman sebayanya pun demikian. Pada 1980-an, kata Wawan, kejayaan ukir Jepara benar-benar terasa.
”Walau tak andal, generasi saya pasti bisa mengukir karena hampir setiap hari ada kumpulan untuk belajar. Istilahnya, bangun tidur pun sudah melihat bapak ngukir. Namun, memasuki tahun 2000-an, sekitar 2003, mengukir sudah tidak lagi menjadi primadona. Apalagi kini ada gadget dan lainnya,” kata Wawan.
Sejak duduk di bangku SMP, Wawan sendiri sempat lama tak mengukir, salah satunya karena mulai mengenal dunia luar. Ia juga tidak menyelesaikan SMA dan langsung ikut kakaknya, mengerjakan sejumlah proyek di luar kota, termasuk Yogyakarta.
Belasan tahun merantau, ia akhirnya pulang ke Jepara pada 2010 untuk berwirausaha di bidang furnitur gaya antik. Hingga kini, di tempat produksi usahanya, ia terbuka menerima siapa pun yang ingin belajar mengukir dengan menjadi anak didik. Ada yang dari Jepara. Namun, minat justru lebih banyak ditunjukkan pemuda luar kota.
Baru-baru ini, tiga anak didiknya dari Grobogan, Kudus, dan Pati pulang kampung setelah empat bulan belajar sekaligus membantu pekerjaan mengukir. ”Mereka pulang dan di sana mengukir juga. Justru memang yang lebih banyak minat itu dari luar,” kata Wawan.
Di tempat produksi usaha Wawan, yang berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya, tampak nyata tersendatnya regenerasi seniman ukir. Di ruangan setengah terbuka tersebut tampak para pengukir generasi tua, berusia lebih dari 55 tahun, dengan cekatan mengukir dengan tatah (alat ukir) di tangannya.
Meski demikian, ada juga dua pemuda yang mengukir. Namun, teman-teman seangkatan mereka lebih banyak mengerjakan pekerjaan kayu yang lebih sederhana, atau bahkan sama sekali tak tertarik dengan ukir.
Adapun urusan usaha ia pisahkan dengan Sanggar Persing, yang juga ia artikan persinggahan terasing. Di sanggar tersebut, ia menerapkan manajemen kultur. Tidak ada ketua sanggar dan semua anggota memiliki derajat yang sama. Semua kegiatan, termasuk terkait sosial kemasyarakatan, dilakukan secara independen.
Sanggar Persing juga memiliki agenda rutin, yakni Laku Sami dan Sambatan Roso. ”Kami berkumpul dan saling meng-influence. Poin utamanya, bagaimana agar kembali mencintai budaya. Apa pun temanya, larinya pasti tentang cinta pada Jepara,” ujar ayah dua anak tersebut.
Salah persepsi
Menurut Wawan, banyak yang salah persepsi terhadap Sanggar Persing, dengan mengartikannya bakal turut meningkatkan upah para tukang ukir. Muncul juga komentar-komentar bernada miring karena apa yang mereka lakukan tak berimpak bagi Jepara. Namun, ia tidak memedulikannya.
”Yang penting, kami bergerak. Saya tidak akan meninggalkan apa yang sudah saya kerangkakan,” ucapnya.
Wawan menyadari, mengajak para pemuda kembali mencintai budayanya bukan perkara mudah. Pada 2019, atau saat Sanggar Persing Reborn diluncurkan, puluhan anak muda tertarik belajar mengukir. Namun, tahun-tahun setelahnya, peminat ukir dari kalangan anak-anak semakin redup.
Sebenarnya, lanjut Wawan, kelas ajar natah atau belajar mengukir dilakukan setiap hari. ”Namun, masalahnya kini tidak ada peminat. Terakhir itu pertengahan 2020. Setelah itu tak ada. Kami justru mencari. Bahkan, kami tawari uang jajan Rp 5.000 untuk anak SD yang mau belajar ngukir, tetapi kenyataannya tak ada yang mau,” ujarnya.
Kendati demikian, kondisi itu tak menyurutkan semangat Sanggar Persing untuk memberi pengaruh kepada para anak muda. Penguatan pun akan terus dilakukan, dari lingkungan terdekat. Menurut Wawan, saat generasi tua sulit untuk diajak berubah, maka harapan ada pada anak-anak muda.
Kepada pemerintah, Wawan sendiri berharap ada jembatan bagi mereka yang bergerak di bidang kriya kayu, bukan mebel. Agar generasi pengukir berlanjut, menurut dia, perlu disiapkan sejumlah sanggar yang secara kelembagaan di bawah pemerintah. Juga perlu disiapkan lembaga sertifikasi ukir hingga menyediakan panggung bagi para seniman ukir.