Setan Petaka dalam Sebotol Cap Tikus
Cap Tikus, minuman keras khas Minahasa dengan kandungan alkohol di atas 40 persen, adalah sebuah produk budaya yang bebas dikonsumsi. Namun, minuman itu pula yang memicu kriminalitas di seantero Sulawesi Utara.
Malam masih sangat jauh dari larut ketika Daniel Laheking (23) berkumpul bersama tiga kawannya di depan Lorong Argentina, Kelurahan Kombos Barat, Manado, Sulawesi Utara. Di depan mereka berjajar beberapa botol 600 mililiter. Cairan di dalamnya tampak bening dan jernih seperti air, tetapi aromanya menyengat tajam saat diendus.
Sedikit demi sedikit cairan itu mereka tenggak di sela bincang dan canda, meninggalkan sensasi panas di leher dan dada. Aromanya yang menusuk hingga ke hidung bikin mereka sesekali menyeringai. Mililiter demi mililiter yang mengaliri kerongkongan pun membawa mereka semakin dekat ke alam kemabukan.
Entah bagaimana dan mengapa, mendadak tiga kawan Daniel, dengan kepala yang sudah terasa berat ke belakang, memasuki arena debat kusir yang sengit. Tidak jelas pula apa soal yang dibahas pada Minggu (31/10/2021) sekitar pukul 18.00 Wita itu, tetapi mereka memperkarakannya dengan nada tinggi dan makian.
Daniel mulanya hanya menjadi penonton, tetapi akhirnya membela seorang kawan yang berselisih pendapat dengan dua lainnya, yaitu YKR (17) dan TM (23). Suasana justru jadi makin panas, membakar emosi pemuda-pemuda yang sudah lupa daratan itu. Tiba-tiba, TM yang sudah naik pitam menarik kerah baju Daniel dan menghajarnya.
Sekelebat, YKR mengambil sebuah pisau, lalu menghunjamkannya ke tubuh Daniel hingga darahnya mengucur deras. Ketika sedang tak berdaya, ia justru terus dihujani pukulan dan tendangan bertubi-tubi dari kawan-kawannya sendiri. Warga sekitar berteriak histeris melihat kejadian itu, tetapi tak kuasa melerai.
Tragedi yang menimpa pemuda ber-KTP Likupang Barat, Minahasa Utara, itu terekam video dan viral di media sosial. Hanya dalam hitungan jam, YKR dan TM diringkus tim Polresta Manado setelah melarikan diri dalam keadaan masih mabuk gara-gara Cap Tikus, minuman yang tampaknya bening dan jernih, tetapi bukan air, itu.
Cap Tikus tersohor di seantero Nusantara karena kadar alkoholnya yang tinggi, rata-rata di atas 40 persen. Minuman yang diproduksi secara kerakyatan di Minahasa ini adalah hasil penyulingan getah tandan bunga pohon enau atau aren (Arenga Pinnata) alias seho dalam Melayu Manado. Minuman ini pun menjadi kebanggaan masyarakat Sulut, utamanya di kawasan Minahasa Raya.
Namun, ironisnya, Cap Tikus hampir selalu ada dalam berbagai kasus kriminal di Sulut, dari yang sepele sampai yang fatal. Minuman ini hadir ketika 9 Juli lalu, MM (43) alias Mas, dibekuk polisi di Bitung setelah menyerang Iwan Manolang (39) dengan parang. Penyebabnya? Saling olok saat berbantah soal Euro 2020 sambil mabuk.
Cap Tikus juga, menurut dugaan kepolisian, membuat A (28) kehilangan kontrol atas diri sendiri hingga ia menembak hingga tewas Yunus Rompis (60) dan Maikel Wongkar (47) dengan senjata laras panjang berkaliber 7,62 milimeter, 4 November lalu. Saat itu mereka sedang mabuk-mabukan di Desa Saibuah, Bolaang Mongondow Selatan. A kemudian bunuh diri di tempat.
Cap Tikus juga bikin RS (32), seorang pria di Langowan Barat, Minahasa, cepat marah dan tega memukuli NTM (20), istrinya sendiri, yang menegurnya karena pulang dalam keadaan mabuk, 28 September. Minuman itu juga yang diduga ”merasuki” MM (32), seorang pria di Bitung, hingga ia tega mencabuli anaknya sendiri yang masih berusia 17 tahun. Ia ditangkap pada 10 Februari 2021.
Hasil pantauan Kompas antara Februari-November 2021, kepolisian di Sulut memublikasikan pengungkapan 12 tindak pidana yang melibatkan pelaku maupun korban yang sedang mabuk. Sembilan kasus tergolong penganiayaan, lima di antaranya berujung penikaman karena pelaku membawa senjata tajam.
Namun, 12 kasus yang melibatkan orang-orang mabuk tersebut hanyalah puncak gunung es. Pada Mei lalu, Direktur Reserse Narkoba Polda Sulut Komisaris Besar Indra Lutrianto Amstono (sekarang Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Timur) mengatakan, ada 362 kasus penganiayaan sepanjang Januari-April 2021. Sebanyak 190 di antaranya dipicu oleh minuman keras (miras).
Baca juga : Menyulap Cap Tikus Menjadi ”Hand Sanitizer”
Pola ini tak berubah di Sulut sejak 18 tahun lalu. Kompas mencatat pada 27 Februari 2003 bahwa lebih dari 50 persen tindak pidana kriminal di Sulut terjadi gara-gara pelakunya lebih dulu menenggak Cap Tikus.
Sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada Suprapto menyebut fenomena ini sebagai dampak wajar dari konsumsi miras yang diracik sendiri oleh masyarakat. Minuman sejenis cenderung tak terkontrol kandungan alkoholnya. Saat seseorang mabuk karenanya, produksi adrenalin meningkat sehingga orang tersebut berani marah hingga menyakiti.
Kendati begitu, tak dapat dimungkiri minuman ini adalah sumber penghidupan bagi tak kurang dari 8.557 keluarga petani yang bergantung pada 5.837,57 hektar hamparan pohon seho di seluruh Sulut per akhir 2018. Sejumlah daerah pun mengklaim diri sebagai penghasil Cap Tikus, dari Kauditan di Minahasa Utara hingga Motoling di Minahasa Selatan.
Kini, Cap Tikus masih mudah sekali didapatkan di warung-warung kecil. Ia paling banyak dijual dalam botol bekas air mineral berukuran 600 ml yang masih dilingkari label merek. Harganya berkisar Rp 20.000-Rp 25.000, tergantung tingkat kemurnian. Semakin murni, penampakannya semakin bening, tetapi semakin mahal pula.
N (32), salah satu pemilik warung di Kelurahan Kleak, Manado, mengatakan, Cap Tikus yang ia jual didatangkan dari wilayah Langowan, Minahasa. Namun, ia tak mau terlalu banyak bicara tentang pasokannya. ”Pokoknya orang Kleak pasti tahu, kalau mau beli Cap Tikus di sini,” katanya ketika ditemui akhir September lalu.
Masalahnya, Cap Tikus yang diproduksi petani seho dan dikemas dalam botol-botol bekas itu ilegal untuk diperjualbelikan. Karena pola produksi yang tradisional, para petani tidak terdaftar secara resmi sebagai produsen minuman beralkohol. Peredaran pun dilakukan di bawah tangan.
Akibatnya, negara tak dapat memungut cukai sebesar Rp 80.000 per liter sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2018 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol. Nilai cukai tersebut bahkan hampir tiga kali lebih tinggi dibandingkan harga pasaran Cap Tikus.
Namun, karena permintaan yang begitu besar akan Cap Tikus dari pulau-pulau terluar, bahkan dari Papua dan Papua Barat, para pedagang kerap main kucing-kucingan dengan kepolisian. Operasi penggagalan penyelundupan Cap Tikus pun kerap dilakukan, baik yang disebarkan via darat dengan truk maupun via laut dengan kapal.
Pada 15 Februari di Minahasa Tenggara, misalnya, Polda Sulut menghentikan sebuah truk dan mobil pikap yang masing-masing membawa 7.260 liter Cap Tikus dalam 363 jeriken dan 1.020 liter dalam 51 jeriken. Cap Tikus itu akan diselundupkan ke Manokwari, Papua Barat, di mana harga sebotol Cap Tikus ukuran 600 ml mencapai Rp 80.000.
Kami sosialisasi kepada masyarakat lewat berbagai imbauan, juga bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Dalam rentang Februari-September 2021, kepolisian di Sulut 11 kali memublikasikan operasi penggagalan peredaran Cap Tikus secara spesifik. Total barang bukti yang dikumpulkan tak kurang dari 16.162,5 liter. Polda Sulut, Polres Minahasa, dan Polres Minahasa Selatan juga memublikasikan pemusnahan 27.251 liter Cap Tikus yang telah terbukti secara hukum diedarkan secara ilegal.
Dihubungi pada Kamis (4/11/2021), Kepala Bidang Humas Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, operasi penggagalan penyelundupan dan pemusnahan Cap Tikus, selain untuk mencegah peredaran miras ilegal, adalah upaya mencegah kejahatan lain yang dapat ditimbulkan. Pengawasan perbatasan antarkabupaten dan kota maupun antarprovinsi mendapat perhatian khusus.
Baca juga : Kisah Panjang Minuman Lokal Nusantara
Namun, menurut Jules, peredaran Cap Tikus dapat ditekan jika masyarakat mampu mengurangi konsumsinya. Polda Sulut pun terus berupaya menggaungkan slogan Brenti Jo Bagate (Berhentilah Mabuk-mabukan) yang dicetuskan mantan Kapolda Sulut Inspektur Jenderal (Purn) Dicky Atotoy pada 2012.
”Kami sosialisasi kepada masyarakat lewat berbagai imbauan, juga bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat dan agama. Kami berharap kesadaran masyarakat timbul sehingga kriminalitas, seperti penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, dan lainnya yang muncul karena konsumsi miras berlebihan bisa ditekan,” kata Jules.
Pada awal 2002, Kompas mencatat, 3.000 petani produsen Cap Tikus berdemonstrasi dan nekat memanjat pagar kantor Polda Sulut di Manado. Mereka memprotes pembatasan peredaran Cap Tikus dan turunannya. Ini adalah bukti bahwa Cap Tikus adalah sumber penghidupan bagi banyak petani di Minahasa Raya.
Hal ini bisa dilihat di kalangan kelompok tani Cap Tikus di Desa Tokin Baru, Minahasa Selatan. Penelitian Juita Lendo yang dimuat di jurnal terbitan Universitas Sam Ratulangi, Acta Diurna Volume III No 4 Tahun 2014, menunjukkan masing-masing dari 22 anggota kelompok tani di Tokin Baru bisa mendapat penghasilan Rp 4,5 juta-Rp 6,75 juta per bulan berkat Cap Tikus.
Maka, Cap Tikus mulai dihadirkan dalam pariwisata, seperti wisata hutan aren Tuur Maasering di Tomohon. Di Desa Wiau Lapi, Minahasa Selatan, pemerintah desa tengah mempersiapkan area wisata Air Terjun Kulung-Kulung yang juga menjadi lokasi rumah penyulingan Cap Tikus milik warga.
Wakil Bupati Minahasa Selatan Petra Yani Rembang tak ragu memamerkan Cap Tikus buatan warga ketika meresmikan area wisata itu. Ia bahkan mencicipi satu seloki dan menawarkannya kepada Manajer Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu yang hadir saat itu.
Di gubuk produksi Cap Tikus itu, puluhan pria dan wanita, tua dan muda, berkumpul sambil bercengkerama sembari menunggu tetes-tetes pertama Cap Tikus dari pipa bambu penyulingan. Mereka kemudian membagikannya dari jeriken penampung kepada warga yang hadir. Tanpa disadari, Cap Tikus justru menjadi sarana pengikat kerukunan antarwarga.
Minuman itu pun menjadi perwujudan paradoks yang nyata, menjadi kearifan lokal Minahasa sekaligus pemicu berbagai masalah sosial. Untuk mengurangi dampak negatifnya, pada 2019, Pemkab Minahasa Selatan di bawah Bupati Christiany Paruntu menghubungkan PT Cawan Mas, perusahaan lokal produsen minuman keras, dengan petani Cap Tikus.
Lahirlah Cap Tikus ”resmi” dengan merek Cap Tikus 1978. Sebotol 320 ml dijual dengan harga Rp 80.000, sudah termasuk cukai. Bahan bakunya pun diserap dari petani Cap Tikus di Minahasa Selatan dan sekitarnya. Harapannya, peredaran Cap Tikus lebih mudah diawasi dan konsumsinya bisa berkurang.
Kami berupaya membina masyarakat agar beralih memproduksi bahan lain yang juga sedang sangat dibutuhkan di masa pandemi Covid-19, yaitu hand sanitizer.
Di Desa Wanga, Minahasa Selatan, petani Cap Tikus juga telah resmi menjadi pemasok bahan baku bagi PT Hakato Artha Industri. Hukum Tua (kepala desa) Wanga, Franky Pondaag, mengatakan, petani di desanya tak lagi takut-takut menjual Cap Tikus. Ia pun berharap kesejahteraan petani bisa meningkat.
Namun, dua perusahaan tak cukup untuk menyerap seluruh Cap Tikus yang diproduksi di Minahasa Raya. Karena itu, Jules mengatakan, polres di daerah Minahasa sempat memfasilitasi pembuatan cairan penyanitasi tangan (hand sanitizer) dari Cap Tikus. Hal serupa juga diupayakan Pemprov Sulut dengan target produksi 3.000 liter.
”Ini upaya kita agar potensi produk lokal tidak mati. Kami berupaya membina masyarakat agar beralih memproduksi bahan lain yang juga sedang sangat dibutuhkan di masa pandemi Covid-19, yaitu hand sanitizer. Ini sudah dilakukan Polres Minahasa Utara, Tomohon, dan Minahasa Selatan,” ujar Jules.
Kendati begitu, upaya tersebut kini semakin sporadis. Produksi rutin penyanitasi tangan dari Cap Tikus tak terdengar lagi, sementara kriminalitas gara-gara pemabuk kembali bermunculan. Menurut Antropolog Universitas Sam Ratulangi Nasrun Sandiah, pemerintah perlu lebih serius membantu petani untuk menciptakan produk alternatif.
Apalagi, hal ini sudah diatur di Peraturan Daerah Provinsi Sulut Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Pemprov dan pemkab/pemkot juga wajib membantu petani menemukan investor atau mempertemukan mereka dengan pabrik yang siap menyerap hasil sadapan getah pohon seho.
Baca juga : Pencabutan Perpres Investasi Miras Didukung Masyarakat Papua
Di sisi lain, Cap Tikus adalah bagian dari produk budaya Minahasa. Ia dikonsumsi dalam berbagai acara syukuran atau duka, juga upacara adat. Menekan kandungan alkoholnya bisa jadi sama dengan menghilangkan ciri ke-Minahasa-annya.
Karena itu, menurut Suprapto, pemerintah bisa membuat peraturan yang lebih spesifik demi meredam kriminalitas yang mungkin timbul akibat konsumsi Cap Tikus. Misalnya, Cap Tikus bisa dikonsumsi dalam pesta atau acara adat, tetapi konsumennya harus diawasi oleh perangkat desa, kecamatan, atau kepolisian.
”Jadi, minuman itu bisa dikonsumsi di lingkungan internal sebagai bagian dari aktivitas budaya. Namun, dia harus dikonsumsi di satu tempat saja dan jangan sampai peminumnya keluar hingga kontak dengan masyarakat setempat hingga terjadi konflik. Aturan hukum harus berkembang sesuai perkembangan masyarakat,” kata Suprapto.
Cap Tikus tetap eksis, diproduksi, dijual, dan dikonsumsi hingga detik ini. Pemerintah dan aparat keamanan pun masih akan terus bergulat untuk mengamankannya. Di sisi lain, masyarakat bukannya tidak tahu ada petaka yang bisa dibawa Cap Tikus, seperti diungkapkan grup pop Manado, Nooiz, dalam lagu berjudul ”Cap Tikus”.
Minum satu gelas/ so nimbole tasalah (sudah tidak boleh menyinggung)/ Minum dua gelas/ sapa ngana sapa kita? (siapa kamu siapa saya?)/ Minum tiga gelas/ so bapoco-poco (sudah mulai bergoyang)/ Minum empat gelas/ de pe laste pukul papa mantu (akhirnya memukul bapak mertua).
Baca juga : Pro Kontra RUU Larangan Minuman Beralkohol