Lagi, Polresta Padang Tangkap Dua Pelaku Sodomi dan Pencabulan terhadap Anak
Sejak awal tahun 2021, sudah 85 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh Polresta Padang.
PADANG, KOMPAS — Kepolisian Resort Kota Padang kembali menangkap dua pelaku dugaan tindak pidana sodomi dan pelecehan seksual terhadap anak di dua tempat di Kota Padang, Sumatera Barat. Sejak awal tahun 2021, sudah ada 85 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh Polresta Padang.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Padang Komisaris Rico Fernanda di Padang, Sabtu (20/11/2021), mengatakan, tersangka pertama yang ditangkap polisi adalah MEM (59). Pensiunan pegawai BUMN itu diduga melakukan sodomi ataupun pencabulan terhadap belasan anak di mushala yang ia bangun dan kelola di Kecamatan Padang Timur.
”Pelaku kami tangkap Jumat (19/11/2021). Pelaku mengakui perbuatannya. Ada tiga korban yang melaporkan ke kami (usia 8, 9, 11 tahun). Dari keterangan warga, total ada 14 anak yang menjadi korban. Namun, keluarga korban lainnya belum bersedia melaporkan, mungkin malu atas kejadian tersebut,” kata Rico, Sabtu.
Baca juga: Perkosa dan Cabuli Dua Bocah di Padang, Kakek, Paman, dan Kakak Jadi Tersangka
Rico menjelaskan, kasus dugaan sodomi dan pencabulan ini terungkap dari laporan salah satu keluarga korban yang mengaku anaknya mengalami tindakan sodomi dan pencabulan. Korban kemudian diperiksa dan divisum, ditemukan kerusakan pada anusnya. Pelaku ditangkap dan mengakui perbuatannya.
Menurut Rico, pelaku sudah melakukan tindak kriminal itu sejak Oktober 2021. Modus pelaku yang juga mengalami kelainan seksual ini adalah membujuk anak-anak yang berada di lingkungan mushala itu dengan meminjamkan ponsel. Kemudian, korban diminta melepaskan pakaian serta dicabuli dan disodomi.
Selain itu, pada Jumat, polisi juga menangkap MST (59), seorang nelayan di Kecamatan Padang Selatan, yang diduga berkali-kali melakukan tindakan cabul terhadap dua bocah perempuan sejak Oktober 2021. Salah satu korban masih berusia 11 tahun. Setiap usai melakukan pelecehan, pelaku memberikan uang kepada korban, mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 100.000.
”Para tersangka dikenai Pasal 76, 81, 82 Undang-Undang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara,” ujar Rico.
Rico menambahkan, para korban dalam dua kasus kekerasan seksual yang diungkap polisi pada Jumat ini sekarang masih bersama keluarga masing-masing. Walakin, polisi akan melakukan pendampingan kepada korban dengan psikolog.
Baca juga : Kekerasan Seksual pada Anak di Padang Tanda Terjadinya Krisis Keluarga
Sebelumnya, Polresta Padang juga mengungkap kasus dugaan pemerkosaan dan pencabulan dua bocah perempuan usia 9 tahun dan 5 tahun di Kecamatan Padang Selatan. Pelakunya tujuh orang, mulai dari kakek, paman, kakak, sepupu, tetangga, hingga teman paman korban.
Lima dari tujuh pelaku sudah ditangkap sejak Rabu (17/11/2021), yaitu kakek DJ (70), paman AO (23), kakak AD (16), kakak RM (11), dan sepupu GA (9). DJ, AO, dan AD ditetapkan tersangka, sedangkan RM dan GA diversi karena berusia di bawah 12 tahun. Dua pelaku lainnya, yaitu tetangga dan teman paman, masih diburu polisi.
85 kasus
Rico melanjutkan, sejak awal 2021 hingga Sabtu ini, Polresta Padang sudah menangani 85 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Padang. Jumlah pelaku dan korban lebih dari jumlah kasus itu karena dalam beberapa kasus pelaku dan korban lebih dari satu orang.
”Rata-rata setiap bulan ada laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pelakunya ada yang ayah kandung, kakek kandung, tetangga, dan lain-lain. Kecenderungan dari 85 kasus itu pelakunya adalah anggota keluarga dan tetangga,” ujar Rico.
Jumlah itu, kata Rico, jauh meningkat dibandingkan tahun lalu, yaitu sebanyak 48 kasus. Menurut dia, peningkatan itu bukan pengaruh pandemi Covid-19 sebab ada ataupun tidak ada pandemi, kasus ini sebenarnya banyak terjadi di tengah masyarakat.
”Tindak kekerasan seksual terhadap anak ini seperti puncak gunung es. Banyak terjadi di bawah, tetapi tidak dilaporkan dan tidak diketahui. Mungkin korban merasa malu dan aib,” ujarnya. Rico menambahkan, dari 85 kasus kekerasan seksual terhadap anak ini cenderung terjadi di keluarga dengan latar belakang ekonomi rendah dan tingkat pendidikan rendah.
Rata-rata setiap bulan ada laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pelakunya ada yang ayah kandung, kakek kandung, tetangga, dan lain-lain.
Deteksi dini
Adapun sebelumnya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kota Padang Editiawarman, mengatakan, memang terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Padang. Namun, ia mengklaim, peningkatan itu tidak terlepas dari gencarnya sukarelawan dan kader dinas melakukan deteksi dini kasus, terutama dua bulan terakhir.
Kata Editiawarman, dinas menempatkan masing-masing satu sukarelawan di 104 kelurahan di Padang. Kader memantau, melihat, dan mendengar kondisi di lingkungan. Jika ditemukan kasus, mereka segera melaporkan ke dinas, kemudian ditindaklanjuti ke kepolisian dan pemangku kebijakan lainnya.
Baca juga : Sinyal Hijau Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Di samping sukarelawan di 104 kelurahan, lanjut Editiawarman, dinas juga punya kader pembantu pelaksana KB desa di seluruh RW dengan jumlah 909 orang. Kepada para kader ini, dinas menitipkan tugas untuk melakukan deteksi kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan masing-masing.
”Kegiatan tersebut baru kami gulirkan dua bulan ini sejak September 2021. Mulai menampakkan hasil, kasus yang selama ini tertutup, satu per satu ditemukan. Kami yakin banyak kasus tidak terungkap. Kami tidak mau sembunyi, lebih baik pahit-pahit mengejar dulu di awal. Agar semakin banyak orang sadar dan peduli,” ujarnya.
Selain deteksi dini, kata Editiawarman, dinas juga intensif melakukan sosialisasi tentang pencegahan kekerasan terhadap anak. Dua bulan ini, ada lebih kurang 3.000 orang mengikuti sosialisasi anak harus dilindungi dari tindak kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran, serta dijaga dan dirawat.
Secara terpisah, Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti mengatakan, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak memang meningkat beberapa bulan terakhir. Namun, menurut dia, sejak dulu peristiwa ini sudah banyak terjadi, tetapi korban cenderung tidak melapor. Sebab, ketika dilaporkan, mungkin korban merasa repot, tidak ditangani, atau justru korban dilaporkan balik oleh pelaku.
”Tapi akhir-akhir ini, pemerintah gencar memberikan pengetahuan kepada masyarakat sehingga kesadaran masyarakat mulai tumbuh. Pemerintah mau mendorong dan mendampingi masyarakat untuk laporkan kasus-kasus yang terjadi. Kasus banyak, namun selama ini ada ketakutan melapor,” kata Meri.
Selain sudah mulai sadar untuk melapor, kata Meri, peningkatan intensitas kasus akhir-akhir ini dimungkinkan pula oleh situasi pandemi Covid-19. Intensitas pelaku melakukan kekerasan seksual semakin tinggi karena pada masa pandemi ini anak-anak sering berada di rumah.
Pemulihan
Meri melanjutkan, idealnya anak-anak korban kekerasan seksual mendapatkan pemulihan secara komprehensif. Korban ditempatkan di rumah aman agar bebas dari ancaman, tekanan, dan ketakutan seusai mengalami kekerasan seksual. Walakin, sejauh ini jumlah rumah aman yang layak masih terbatas.
”Pemulihan korban mesti betul-betul komprehensif. Korban mesti bisa mengenali tubuhnya, tahu cara melindungi diri, dan sebagainya. Harus sampai ke sana. Pemulihan ini panjang, tidak bisa sekali dua kali pertemuan dengan psikolog. Namun, sekarang negara atau pemerintah belum bisa menyediakan itu,” ujar Meri.
Menurut Meri, jika pemulihan tidak dilakukan secara komprehensif, korban berpotensi kembali menjadi korban atau justru menjadi pelaku tindak kekerasan seksual. Jika demikian, mata rantai kekerasan seksual tidak akan terputus. ”Kalau dipulihkan sampai benar-benar pulih, berarti kita memutus mata rantainya,” ujarnya.
Ditambahkan Meri, untuk mengantisipasi kejadian serupa, upaya edukasi harus menyasar langsung anak-anak. Langkah tersebut bisa dilakukan melalui sekolah dan dicantumkan di dalam kurikulum. Selain itu, para pelaku kejahatan seksual ini harus dihukum jera. ”Pelaku juga mesti dipulihkan, agar seusai menjalani hukuman, tidak kembali melakukan perbuatan itu,” kata Meri.