Anak Papua Rawan Jadi Korban Konflik Bersenjata dan Kekerasan Seksual
Peringatan Hari Anak Sedunia pada hari ini. Kondisi anak-anak di Papua masih rawan menjadi korban kekerasan seksual oleh kerabatnya. Selain itu, ratusan anak hidup di pengungsian akibat konflik bersenjata.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Di tengah perayaan Hari Anak Sedunia, Sabtu (20/11/2021) ini, anak-anak Papua masih termarjinalkan. Ratusan anak hidup di pengungsian karena konflik antara aparat keamanan dan kelompok kriminal bersenjata. Sebagian juga rawan menjadi korban kekerasan seksual.
Subkoordinator Bagian Pelayanan Pengaduan Komnas HAM Perwakilan Papua Melchior Weruin mengungkapkan, konflik antara kelompok kriminal bersenjata dan aparat keamanan mengancam nasib anak-anak.
Berdasarkan data Komnas HAM Perwakilan Papua, sekitar 700 anak yang mengungsi di sejumlah kabupaten karena konflik bersenjata. Daerah konflik itu, antara lain, daerah Kisor di Kabupaten Maybrat, Kiwirok di Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Puncak.
Jumlah ini kemungkinan bertambah karena hingga kini masih terdapat warga yang mengungsi bersama anak-anaknya, tetapi belum dapat didata Komnas HAM. Daerah itu adalah Intan Jaya dan Nduga.
Ketidakamanan menyebabnya nyawa anak terancam. Dalam kontak tembak antara kelompok kriminal bersenjata dan aparat keamanan di Intan Jaya pada 26 Oktober 2021, misalnnya, menyebabkan seorang anak bernama Nopelius Sondegau yang berusia 2 tahun meninggal dunia terkena tembakan.
Melchior mengungkapkan, konflik juga menyebabkan anak kehilangan hak untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan gizi yang baik. ”Pemerintah wajib menyiapkan upaya perlindungan anak-anak yang menjadi korban konflik. Seharusnya perempuan dan anak-anak tidak menjadi korban dari masalah yang berkepanjangan ini,” tuturnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay menambahkan, anak papua yang tinggal di beberapa daerah konflik bersenjata tidak merasakan hak atas rasa aman, hak atas pangan, hak atas tempat tinggal, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas beribadah.
Dari pantauan LBH Papua, ujar Emanuel, di Kabupaten Nduga dari tahun 2018 hingga 2021 sebagian anak-anak hidup dalam pengungsian, demikian pula di Kabupaten Intan Jaya dari tahun 2019-2021, Kabupaten Puncak Papua di awal tahun 2021, Kabupaten Maybrat, dan Kabupaten Pegunungan Bintang pada tahun 2021.
Pemerintah wajib menyiapkan upaya perlindungan anak-anak yang menjadi korban konflik.
Emanuel pun menegaskan, LBH Papua menuntut Presiden Joko Widodo segera menegakkan perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata di Papua. Hal ini sesuai Pasal 38 Ayat 4 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak Anak dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
”Kami juga meminta Pemprov Papua membentuk tim khusus perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata. Kami juga meminta Komnas HAM melakukan investigasi penembakan anak bernama Nopelius Sondegau (2) di Intan Jaya,” tutur Emanuel.
Di sisi lain, ada ancaman kekerasan seksual pada anak. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jayapura Nur Aida Duwila mengatakan, di bulan ini pihaknya menangani 14 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus itu tersebar di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Keerom. ”Sebenarnya jumlah ini bisa bertambah banyak, namun banyak korban yang tidak melaporkan,” ujarnya.
Adapun para korban kekerasan seksual berusia enam hingga 14 tahun. Diduga para pelaku berasal dari kerabat terdekat para korban ini. ungkap Nur.
Jumlah kasus yang mencapai 14 itu meningkat dua kali lipat jika dibandingkan tahun lalu yang tercatat ada enam kasus.
Ia berharap adanya upaya penegakan yang tegas terhadap kasus kekerasan anak seksual. Selain itu, lanjutnya, tidak boleh adanya intervensi untuk menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan.
Jaleswari Pramodhawardani selaku Deputi V Bidang Polhukhankamham Kantor Staf Presiden RI mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 serta Keputusan Presiden 20 Tahun 2020 sebagai ujung tombak kerja pemerintah pusat dalam membangun Tanah Papua. Kebijakan ini juga mengamanatkan pemenuhan hak-hak anak, salah satunya adalah cita-cita mewujudkan Papua layak anak.
”Kami akan menggunakan hasil kajian ini sebagai referensi ilmiah untuk mendukung kerja-kerja pemerintah. Kajian ini sudah merupakan bentuk nyata partisipasi serta kolaborasi masyarakat,” ujarnya.