Tabu karena Otakmu Ngeres
Pameran instalasi ”Gak Boleh Begini, Gak Boleh Begitu Katanya (Sebuah Gradasi)” mempertanyakan mengapa perempuan tidak boleh menyentuh aspek vulgaritas atau ketabuan dalam berkesenian.
Tepos. Lo cantik tapi percuma rata. Ukuran BH Lo berapa? Cantik doang tapi gendut.
Sepatah dan atau untaian lema, berona merah seperti darah haid pada pembalut perempuan, menempel di sekujur maneken putih di sudut salah satu ruang di lantai tiga Unicorn Creative Space, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (17/11/2021).
Di dekat patung peraga itu, perupa Syska La Veggie membuka belasan kemasan pembalut, menempelkan ”perban” vagina itu ke sekujur tubuh dibantu ananda yang berusia 9 tahun. Pada bagian jidat, pembalut bertuliskan KUDETA. Pembalut yang menutupi mulut bertuliskan KETABUAN. Seusai berbagi kisah dan pertunjukan itu (performance lecture), seluruh pembalut dilepas dan ditaruh di maneken.
Itulah Syska ketika membuka Work In Progress bertajuk ”Gak Boleh Begini, Gak Boleh Begitu Katanya (Sebuah Gradasi)”, pameran tunggal pertamanya dalam kalender Biennale Jatim IX (19 November-19 Desember 2021). Pameran merupakan hasil presentasi dari Mini Residensi Ephemera #2 oleh Indonesian Virtual Art Achive (IVAA).
Ekshibisi yang berlangsung sampai Sabtu (20/11/2021) ini juga dibuat sebagai artikulasi hasil riset dan pengarsipan kalangan perempuan pekerja seni Jatim dengan pengalaman berkarya yang dianggap vulgar atau tabu sehingga mendapat represi dan atau pembatasan hak berekspresi.
Lihat juga : Keberagaman Ekspresi Seniman Perempuan Pantura di Pameran Wani(ta)
Di ruang lain, dipampang setidaknya sepuluh instalasi karya perupa yang bermukim di Sidoarjo itu. Lihatlah ”Perca Identitas” (2021), instalasi dari pakaian bekasnya sedasawarsa silam yang sudah tak muat lagi. Perca-perca itu digambari sosok-sosok dan direkatkan pada kaca cermin dengan isolasi dan berhias coretan kata dan ungkapan.
Di dinding yang berbeda, masih pada kaca cermin, terpampang ”Foklore Tubuh” (2021), instalasi dengan garis batas tubuh, ungkapan kasar, dan kutipan teks Nelly Richard tentang tubuh dari gincu merah darah. Di sinilah tertulis, misalnya, ”iki gak vulgar utekmu ae ngeres, silitmu apek, hilih kintil, mata keranjang, bekas kecup bibir yang tersebar …”.
Bisa dilihat juga ”Patience” (intervensi 1), instalasi cukil kayu 2018 yang diintervensi dengan sulam 2021 dan terpampang pada jemuran. Sosok itu jelas perempuan dengan kepala seperti kelopak bunga dengan salah satu pentil payudara berurai benang rajut seolah mengucurkan air susu yang deras.
Instalasi sulaman
Karya lainnya, ”Perempuan 5/2 Identitas” (2020), instalasi sulaman tangan di kain strimin, ingin bercerita tentang ibu yang melebihi batas identitas jender. Sosok ibu berambut pendek, bertangan delapan seperti laba-laba, dua tangan menggendong anak, salah satu tangan kiri menggendong dan kaki kiri bergambar rajah atau tato, dan tujuh sosok kepala berambut panjang.
Bentangan perbedaan sudut pandang atas tema ini begitu luas. (Syska La Veggie)
Pameran mungkin ingin memperlihatkan suatu dunia penuh aturan, terutama pagar atau tembok dalam memersepsikan tubuh dan stereotip perempuan. Dunia dibuat rapuh untuk bisa mencium bahaya dan memahami spektrum tubuh perempuan yang tidak tunggal.
Perempuan pekerja seni dikondisikan atau dijebak oleh dunia dalam estetika normatif. Seniwati dianggap gila, rusak, bahkan amoral ketika berkarya tentang ketabuan atau kevulgaran. Dunia, termasuk seni, adalah milik lelaki, budaya patriarki, bahkan Tuhan sekalipun dikerdilkan sebagai Dzat Jantan.
Sebelum berpameran, di sela-sela kesibukan mempersiapkan Biennale, Syska membuat pemetaan atas delapan seniwati di Jatim, seorang seniman, dan seorang seniwati non-Jawa melalui pertemuan dalam ruang-ruang virtual. Riset itu untuk memperlihatkan persepsi, konteks, dan nalar penciptaan. ”Bentangan perbedaan sudut pandang atas tema ini begitu luas,” ujar Direktur Program Biennale Jatim IX ini.
Tubuh dilihat sebagai pengetahuan, identitas yang tak henti digali, terapi atas pengalaman traumatik, perlawanan atas pengungkungan terhadap perempuan, dan narsistis atau pengaguman berlebih terhadap tubuh sendiri. Pergeseran peran sosial perempuan menjadi ibu karena berkeluarga dan beranak membuat kaum ini berada dalam medan yang berbeda dibandingkan dengan lelaki.
Tak mudah bahkan bagi Syska untuk tetap berkarya di jalur seni dengan tema-tema vulgar karena sebagai mama tunggal mengurusi hal-hal domestik yang belum bisa disukainya. Sebagian besar otoritas terpaksa tersita untuk keluarga.
Dalam performance lecture, Syska berbagi cerita bagaimana perempuan masih kerap tertekan atau terpaksa mengikuti pakem budaya patriarki atau kelakian. Tabu bagi perempuan untuk dirajah, merokok, berbusana seksi. Perempuan harus beragama, kalau perlu berkerudung dan bercadar, mengurusi dapur, beranak, dan pasrah. Pantang membicarakan tema seksualitas, bahkan jangan bersuara ketika menjadi korban kejahatan seksual. Suatu pandangan usang, bobrok, dan gila.
Pengingat
Mengapa seniwati dianggap tabu ketika, misalnya, membuat instalasi tentang penis, vagina, atau sosok telanjang? Semerdeka-merdekanya manusia, dalam diri ibarat selalu ada pengingat agar berusaha menyesuaikan dengan nilai atau norma.
Misalnya, seniwati yang berkarya pada tema-tema sensualitas, erotisme, atau kevulgaran tentu berpikir panjang jika ingin memajang atau memamerkan produk seni di tempat ibadah. Bukan karena takut atau tertekan, melainkan masih menyala penghormatan terhadap kepatutan umum.
Baca juga : Biennale Jatim IX Menimbang Solidaritas Merayakan Kolektivitas
Pendamping program Ephemera#2 dari IVAA, Febrian Adinata Hasibuan, dalam keterangan tertulis mengatakan, seni visual vulgar membawa ambiguitas yang paling banter membuat vertigo. Ambiguitas berada pada mata luar (penonton) dan mata dalam (seniman/seniwati) karena selalu bersitegang.
”Namun, perlu dan harus keluar dari adu banteng, apalagi pencekalan. Vulgaritas tubuh bisa sebagai momen menemukan yang politik, dinamisasi ruang publik,” kata Febrian.
Vulgaritas acap ditangkap penonton atau publik sebagai obyek pameran ketabuan, pemuas hasrat seksual, dan ancaman moralitas merupakan pandangan wajar. Namun, jika setia pada konsepsi ambiguitas, vulgaritas cukup lentur mewadahi pengalaman seseorang atau kolektif, yakni traumatis seksual, identifikasi diri, genital, puber, relasi intim seksual, dan pernyataan personal sosial. Vulgaritas tidak akan pernah bisa ditolak, tetapi dikelola sebagai perluasan dialog dalam kehidupan masyarakat.
Namun, perlu dan harus keluar dari adu banteng, apalagi pencekalan. Vulgaritas tubuh bisa sebagai momen menemukan yang politik, dinamisasi ruang publik. (Febrian Adinata Hasibuan)
Di hari akhir pameran atau Sabtu, Syska menutup acara dengan Curhat Colongan. Dalam ruang virtual melalui aplikasi Zoom, Syska mengundang para perempuan perupa untuk bercerita tentang pengalaman represi selama berkesenian.
Tema vulgaritas masih akan berlanjut di mana Syska menginisiasi pameran Gosyip-Gosyip Senja oleh Perempuan Pengkaji Seni pada 24-28 November 2021 di Unicorn. Pameran melibatkan 21 seniwati Jatim yang akan merespons tema vulgaritas melalui karya instalasi multimedia visual.