Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur, NTT, seolah tertinggal dalam banyak hal. Penyelesaian masalah dasar, seperti perbaikan jalan dan layanan air bersih, masih sebatas mimpi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Pada masa pemerintahan Raja Portugis, Henricus XVII, sebuah benteng dibangun di Pulau Solor. Portugis sepertinya belum puas dengan pengaruhnya di jalur niaga rempah Kepulauan Maluku. Kepincut harum cendana dan menganggap pulau itu relatif lebih aman untuk misi penyebaran agama, Portugis menjadikan Solor persinggahan berikutnya. Nostalgia kejayaan masa lalu itu tak jua mengubah wajah Solor kini.
Solor berada di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timu, dengan luas 226,3 kilometer persegi. Bagi utara berbatasan dengan Selat Solor, selatan dengan Laut Sawu, timur dengan Selat Lamakera, dan barat dengan Selat Lewotobi.
Menjelang akhir Oktober lalu, perjalanan menuju Solor dari Pulau Adonara di sisi utara menggunakan perahu motor yang biasa digunakan pedagang antarpulau. Perahu berukuran panjang sekitar 5 meter dan lebar sekitar 1 meter.
Perahu itu penuh sesak dengan barang dagangan, seperti pisang, ubi, dan aneka sayuran. Penumpang duduk di atas papan yang dipasang dari kedua sisi perahu. Sepanjang perjalanan sekitar 20 menit itu, penumpang yang duduk menghadap ke depan tak boleh banyak bergerak. Risikonya, perahu akan oleng dan bisa tenggelam.
”Dulu tahun 2003, ada perahu motor yang tenggelam di sini. Empat orang meninggal dan tiga orang masih hilang sampai sekarang,” kata Abu (45), pengemudi perahu itu. Abu mengisahkan hal itu saat perahu berada di tengah-tengah kedua Pulau Adonara dan Solor.
Hingga kini tak ada pelayaran rutin dari Adonara ke Solor yang jaraknya kurang dari 6 mil laut itu. Mereka yang bepergian dari Adonara ke Solor harus melalui Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Di sana ada kapal motor yang rutin beroperasi setiap hari, kecuali saat musim gelombang tinggi mulai Desember hingga Februari.
Tahun lalu hampir semua gagal panen karena hujan sedikit sekali. Selain itu ternak juga banyak yang mati.
Tak ada pelayaran reguler membuat warga terpaksa menggunakan perahu motor yang sangat tidak layak operasi. Semua perahu pun tidak memiliki alat keselamatan, seperti baju pelampung. ”Orang-orang pesisir bisa berenang jadi tidak perlu khawatir tenggelam,” kata Abu seakan tak punya beban saat mengemudi perahu itu.
Perahu motor kemudian sandar di pesisir Solor, tepatnya Desa Lohayong II. Tak ada tambatan perahu, penumpang turun kemudian jalan di dalam air menuju darat. Di desa itulah benteng dibangun pada abad 16. Saat itu, Raja Henricus XVII dari Portugis memerintahkan maka benteng kemudian disebut Port Henricus. Benteng berukuran 52 meter x 36 meter.
Pulau Solor kala itu sangat terkenal. Sejumlah literatur yang ditulis berikut peta menjadikan Solor sebagai penanda beberapa sebaran pulau terdekat. Pulau Solor, Adonara, Lembata, dan Alor disebut Kepulauan Solor. Penamaan itu tak lepas dari keistimewaan pulau penghasil cendana itu.
Dalam catatan Kompas, misi penyebaran agama Katolik di Flores juga berawal dari pulau itu. Pada 1561, tiga misionaris Dominikan, yakni Pastor Antonio da Cruz, Pastor Simao das Chagas, dan Bruder Fransisco Alexio, tiba di Pulau Solor dan menetap di sana.
Di Solor, hampir semua kepentingan Portugis dalam semangat Gold, Glory, Gospel, dapat terakomodasi. Ada cendana sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan dan jadi tempat yang aman untuk menyebarkan ajaran Katolik. Portugis meyakini dapat meraih kerjaayaan di Solor.
Sekadar membandingkan, penguasaan Portugis atas Kepulauan Maluku memang tidak mudah. Banyak perlawanan masyarakat terhadap monopoli rempah yang didukung oleh pihak kerajaan. Kerajaan yang berkuasa di Kepulauan Maluku, seperti Kesultanan Ternate, itu bercorak Islam.
Infrastruktur
Kini, benteng di Solor itu sudah runtuh akibat gempa pada tahun 1982. Benteng itu kini tak terurus. Bongkahan beton tercecer begitu saja. Bahkan ada warga setempat yang membangun rumah di areal benteng. ”Tampaknya tidak ada lagi yang peduli dengan peninggalan ini,” ucap Ikram (60), warga Lohayong II.
Kondisi benteng yang tak terurus itu sama persis dengan jalan lingkar Pulau Solor yang melewati perkampungan itu. Kondisi aspal sudah terkelupas. Sejak pertama kali dibangun sekitar lebih dari 20 tahun silam, kualitas jalan itu memang buruk. Permukaan jalan menggunakan kerikil besar dengan aspal sangat tipis.
Kendaraan seperti dumptruk yang sering dipakai mengangkut material dan penumpang tak bisa melaju dengan cepat. Untuk menempuh jarak sekitar dua kilometer, butuh waktu hampir 15 menit. Di pulau itu tak ada mobil angkutan perdesaan. Warga yang bepergian tanpa membawa banyak barang lebih aman menggunakan ojek sepeda motor.
Selain jalan, layanan air bersih menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Sebagian besar desa menggunakan air sumur yang rasanya payau. Pada musim kemarau, banyak sumur kering. Sebelum gempa 1982, banyak desa, terutama di Solor bagian barat, menggunakan air leding. Gempa menyebabkan jaringan pipa putus. Mata air pun tertutup.
Sayangnya, hingga kini, pemerintah belum membangun satu pun bendungan atau paling tidak embung di pulau itu. Proyek sumur bor di beberapa titik juga gagal. ”Solor dari dulu tidak banyak yang berubah. Jalan rusak masih banyak, cari air juga masih sudah,” ujar Lambertus Hayon (80).
Minimnya ketersediaan air membuat sektor pertanian di daerah itu tidak bisa maju. Warga hanya mengandalkan pertanian tadah hujan sekali dalam satu tahun. ”Tahun lalu hampir semua gagal panen karena hujan sedikit sekali. Selain itu ternak juga banyak yang mati,” kata Lembertus lagi.
Potensi perikanan
Sektor potensial yang dapat dikembangkan di Pulau Solor adalah perikanan. Hampir semua perkampungan berada di pesisir sehingga banyak masyarakat menjadi nelayan. Sayangnya, mereka masih kesulitan membeli alat tangkap serta kesulitan menjual hasil tangkapan mereka.
”Setiap tahun pada musim ikan, harga ikan sangat murah, bahkan ada yang dibuang begitu saja. Sangat cocok untuk membangun tempat pendaratan dan industri perikanan di pulau itu. Masyarakat sangat mendambakan itu sayangnya belum ada investor yang masuk,” kata Yoseph Klodor, Camat Solor Selatan.
Potensi pariwisata di Solor juga tak kalah. Banyak penikmat pesona bawah laut menyelami dasar laut di sisi selatan Solor. Pada Juni 2019 lalu, Emir Qatar Syeikh Tamim bin Hamad al-Thani dan rombongan mengunjungi Pulau Solor dalam sebuah perjalanan wisata di NTT.
Bupati Flores Timur Antonius G Hadjon beberapa waktu lalu mengatakan, sektor perikanan menjadi kekuatan Kabupaten Flores Timur. Ia pun berjanji memberdayakan kampung-kampung nelayan di Flores Timur. Sayangnya, sejauh ini belum ada langkah nyata yang berarti.
Wilayah Kabupaten Flores Timur tersebar di tiga pulau, yakni bagian Timur Flores, serta keseluruhan Adonara dan Solor. Jika dibandingkan dengan dua pulau lainnya, pembangunan di Solor masih jauh tertinggal. Belum ada kata terlambat untuk memulai membangun Solor yang selama ini seakan tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh.