Kekerasan Terus Berulang, Pemerintah Didesak Menutup Sekolah Penerbangan Batam
Pemerintah didesak menutup Sekolah Penerbangan Dirgantara Batam, Kepulauan Riau. Pendidik di sekolah itu diduga melakukan tindak kekerasan terhadap siswa sejak 2017.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Suasana Sekolah Penerbangan Dirgantara, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (18/11/2021).
BATAM, KOMPAS — Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah Batam, Kepulauan Riau, mendesak pemerintah menutup Sekolah Penerbangan Dirgantara. Pendidik di sekolah tersebut diduga melakukan tindak kekerasan terhadap siswa sejak 2017.
Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Batam Abdillah Saman, Jumat (19/11/2021), mengatakan, kekerasan di Sekolah Penerbangan (SPN) Dirgantara telah terjadi sejak 2017. Oleh sebab itu, pemerintahan diminta mengambil langkah tegas untuk mengakhiri tindak kekerasan di sekolah itu.
”Pelanggaran seperti itu sudah terjadi dari tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak jera. Maka, sekolah itu (seharusnya) ditutup saja,” kata Abdillah.
Sebelumnya, 10 orangtua siswa melaporkan tindak kekerasan di SPN Dirgantara ke KPPAD Batam pada 25 Oktober lalu. Para orangtua juga melaporkan adanya seorang siswa yang rahangnya sampai bergeser karena dipukul pembina di SPN Dirgantara.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Ketua KPPAD Batam Abdillah Saman seusai menyerahkan laporan terkait dugaan kekerasan terhadap anak di Sekolah Penerbangan Dirgantara Batam kepada Unit Perlindungan Perempuan Polda Kepulauan Riau, Jumat (19/11/2021).
Dari laporan itu diketahui para siswa sering dikurung dan dirantai di ruangan yang menyerupai sel. Namun, menurut Abdillah, pihak sekolah sudah berupaya menyembunyikan bukti dengan mengubah ruangan itu menjadi tempat menjemur saat mereka melakukan investigasi pada Rabu (17/11/2021).
Ruangan yang dipakai untuk mengurung siswa itu terdapat di lantai 4 gedung SPN Dirgantar berukuran sekitar 3 x 2 meter. Kondisi ruangan gelap dan pengap. Hanya ada sebuah ventilasi berterali besi. Ruangan itu biasanya digunakan untuk mengurung 10 anak sekaligus.
Ia mengalami kekerasan fisik karena disuruh berjalan jongkok di aspal panas hingga lututnya melepuh.
Dalam ruangan yang serupa sel tahanan itu terdapat satu kamar mandi tanpa pintu. Menurut salah satu orangtua, pernah ada dua siswa yang diborgol dan dikurung di sana harus buang air secara bersamaan.
Yang lebih mengenaskan, ada satu siswa yang lehernya dirantai saat dikurung di ruangan tersebut. Selain itu, para orangtua yang melapor ke KPPAD Batam juga menunjukkan foto-foto siswa yang dipaksa memakai baju oranye seperti tahanan saat dikurung oleh pembina.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Kepala Sekolah Penerbangan Dirgantara Batam Ajun Komisaris Besar (Purn) Dunya Harun (kanan) saat menunjukkan ruangan yang disebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia sering digunakan untuk mengurung dan menyiksa siswa di sekolah yang berlokasi di Kepulauan Riau itu, Kamis (18/11/2021).
Hari ini Abdillah mendampingi lima perwakilan orangtua siswa menyerahkan laporan terkait dugaan kekerasan terhadap anak kepada Unit Perlindungan Perempuan Polda Kepri. Laporan tersebut diterima langsung oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kepri.
Berulang
Penelusuran lebih lanjut oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan fakta tindak kekerasan di sekolah itu terjadi sejak 2017 hingga 2021 secara kontinu. Pada 2018, KPAI dan KPPAD Provinsi Kepri pernah menindaklanjuti laporan siswa dengan inisial RS yang mengaku dipenjara di SPN Dirgantara Batam.
”RS yang hendak naik pesawat dari Batam ke Surabaya ditangkap pembina SPN Dirgantara Batam. Tangan RS diborgol lalu dimasukkan sel tahanan di sekolah. Ia mengalami kekerasan fisik karena disuruh berjalan jongkok di aspal panas hingga lututnya melepuh,” tutur Ketua Komisioner KPAI Retno Listyarti, Rabu (17/11/2021).
Menurut dia, pelaku kekerasan, ED, kemudian ditangkap polisi dan diproses secara hukum. Pengadilan Negeri Batam menjatuhkan hukuman pidana 1 tahun penjara kepada ED.
Kepala SPN Dirgantara Batam Ajun Komisaris Besar (Purn) Dunya Harun menyangkal kabar mengenai pembina di sekolah itu yang mengurung dan merantai sejumlah siswa. ”Kalaupun ada (peristiwa seperti itu), itu di luar pengetahuan kami,” ujarnya.
Menurut dia, foto-foto yang didapat KPAI mengenai siswa yang dirantai itu sebenarnya hanya siswa yang sedang bermain-main. ”Kalaupun ada pembinaan (dengan dikurung) di suatu tempat, itu semata-mata hanya untuk memisahkan siswa yang melanggar agar mereka jangan sampai menularkan (perbuatannya) kepada (siswa) yang lain,” ucapnya.
Dunya mengakui, siswa yang melanggar peraturan di sekolah itu biasanya dikurung di ruangan khusus. Namun, para siswa hanya dikurung selama jam istirahat. Siswa akan dikeluarkan dari ruangan khusus jika mereka mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah atau di asrama.