I Made Janur Yasa Membarter Sampah dengan Beras
I Made Janur Yasa menginisiasi gerakan Plastic Exchange, yakni menukarkan sampah dengan beras, sejak Mei 2020.
Persoalan sampah tidak akan pernah tuntas apabila perilaku manusia tidak berubah. Bagi I Made Janur Yasa (55), inisiator dan pendiri gerakan Plastic Exchange di Bali, kebiasaan membuang sampah harus diubah agar sampah tidak lagi menjadi masalah.
Dengan gerakan Plastic Exchange yang diawali Janur Yasa di Banjar Jangkahan, Desa Batuaji, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali, Mei 2020, masyarakat di banjar dan di desa setempat diberikan pilihan, menukarkan sampah dengan beras.
Semula, saat aksi tukar sampah dengan beras itu dimulai, setiap 1 kilogram sampah, khususnya sampah plastik, dibarter dengan 1 kilogram sampah. Dalam perkembangannya, setiap 4 kilogram sampah plastik saat ini dibarter dengan 1 kilogram beras, atau barang kebutuhan lain.
”Dalam waktu kurang satu minggu awal kegiatan, sekitar lima hari, saya mengeluarkan uang sekitar Rp 5 juta,” kata Janur Yasa ketika ditemui di kediamannya, di kawasan Sayan, Ubud, Kabupaten Gianyar, Senin (15/11/2021). ”Jumlah itu setara 500 kilogram beras,” ujar pria kelahiran Tabanan, 1966.
Kondisi tersebut diakui Janur Yasa sebagai dilema. Di satu sisi, Janur Yasa merasa senang karena inisiatifnya diterima dan ditanggapi masyarakat yang berbondong-bondong menukarkan sampah untuk mendapatkan beras. Namun, saat yang bersamaan, Janur Yasa juga merasa sedih. ”Di desa saya yang kecil, dengan sekitar 70 kepala keluarga, kami mengumpulkan begitu banyak sampah plastik,” tutur alumnus Universitas Udayana, Bali, itu.
Janur Yasa melanjutkan kegiatan barter sampah dengan beras itu di Desa Sayan, Ubud. Selain karena dia tinggal dan juga berbisnis di wilayah Desa Sayan, Janur Yasa berpandangan gerakan barter sampah dengan beras itu harus lebih meluas. Ubud, menurut Janur Yasa yang juga salah satu pendiri Moksa Restaurant di Sayan, adalah tempat yang tepat sebagai corong agar gerakan Plastic Exchange semakin luas dikenal.
Inisiatif Janur Yasa melalui gerakan nonprofit bernama Plastic Exchange itu ternyata mendapat tanggapan positif dari masyarakat di Ubud. Pada Juli 2020, gerakan barter sampah dengan beras sudah berjalan di 20 banjar di Desa Sayan dan sekitarnya. Jumlah itu berlipat dua kali menjadi 40 banjar di kawasan Ubud dan sekitarnya pada Agustus 2020. Hingga saat ini, lebih dari 200 desa di Bali sudah mengenal dan menjalankan kegiatan menukar sampah dengan beras.
Meskipun sudah semakin banyak orang ataupun desa yang menjalankan gerakan barter sampah dengan beras, Janur Yasa mengaku tidak memiliki gudang beras ataupun tempat pengumpulan sampah plastik. ”Banyak yang menanyakan, di mana gudang berasnya? Atau, di mana sampahnya dikumpulkan?” ujar Janur Yasa. ”Saya hanya menjawab, kami tidak punya gudang beras atau tempat penampungan sampah,” kata suami dari Hillary Ellen Kane itu.
Beras yang didistribusikan kepada warga melalui gerakan menukar sampah dengan beras dibeli dari warung yang ada di desa atau banjar setempat, atau dari koperasi di desa. Sementara sampah yang diperoleh dan dikumpulkan dari masyarakat, menurut Janur Yasa, sudah langsung dibeli pengepul plastik bekas. Seluruh kegiatan barter sampah dengan beras itu dijalankan para sukarelawan Plastic Exchange yang ada di desa atau banjar itu.
”Cara ini, yang menurut saya, merupakan pelaksanaan ekonomi sirkular secara nyata di desa,” kata Janur Yasa. ”Saya pun tidak perlu dipusingkan lagi dengan urusan gudang beras atau tempat penampungan sampah karena semuanya terjadi di banjar dan di desa, dan dampaknya langsung dirasakan masyarakat. Kami juga tidak memiliki anggota, selain volunteer, karena Plastic Exchange ini adalah gerakan kesadaran,” ujar sosok yang juga mengagumi Martin Luther King Jr itu.
Lingkungan
Kepedulian Janur Yasa terhadap lingkungan dan persoalan sampah sudah muncul sejak dia remaja. Meski diakui Janur Yasa, kepedulian itu belum dia sadari sebelumnya. ”Ketika masih kelas I SMP, saya sudah bertualang meskipun masih sebatas jalan-jalan menyusuri pantai di Tanah Lot,” kata anak kedua dari pasangan I Wayan Purna dan Ni Nyoman Subrati.
Mulai masuk sekolah menengah atas (SMA), Janur Yasa semakin menyenangi petualangan. Janur Yasa ikut mendaki Gunung Agung saat dia duduk di kelas I SMA Negeri Tabanan. Setahun kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (1985), Janur Yasa kemudian pindah ke Universitas Udayana dan kuliah di Program Studi Teknologi Pertanian, sekarang Fakultas Teknologi Pertanian, mulai 1986. Petualangan semakin mendalam pada diri Janur Yasa ketika dia kuliah.
Banyak yang menanyakan, di mana gudang berasnya? Atau, di mana sampahnya dikumpulkan? Saya hanya menjawab, kami tidak punya gudang beras ataupun tempat penampungan sampah.
Selang dua tahun kuliah, Janur Yasa lalu bergabung dengan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Wanaprastha Dharma Universitas Udayana mulai 1988 sampai menamatkan kuliahnya pada 1992. Lulus dari kampus, Janur Yasa bekerja sebagai pemandu wisata arung jeram (rafting) di Klungkung, Bali. Empat tahun kemudian, pada 1996, Janur Yasa memutuskan untuk merantau ke Amerika Serikat.
Berada di ”Negri Paman Sam”, Janur Yasa berkesempatan bergabung dengan Outward Bound. Janur Yasa juga pernah bekerja di perusahaan pakaian dan peralatan outdoor Patagonia di Amerika Serikat. Pengalaman kerjanya itu semakin menguatkan perhatian Janur Yasa terhadap lingkungan dan alam.
Setelah hampir 15 tahun tinggal di Amerika Serikat, pada 2010 Janur Yasa kembali ke Bali. Janur Yasa kemudian bekerja di sebuah resor di Mambal, Abiansemal, Badung. Di tempat kerjanya itu, Janur Yasa bertemu Made Runatha, seorang chef berpengalaman yang memiliki spesialisasi mengolah hidangan sehat berbasis tumbuh-tumbuhan. Mereka kemudian membangun usaha restoran dengan konsep plant-based dining di Sayan, yakni, Moksa Restaurant, mulai 2015.
Pandemi Covid-19 yang menerjang secara global juga berdampak terhadap bisnis Janur Yasa di Sayan. Ketika industri pariwisata di Bali mengalami masa surut dan menyepi, Janur Yasa berupaya mempertahankan bisnis mereka dengan melakukan penyesuaian agar tidak sampai memberhentikan karyawan. ”Ini masa-masa bertahan, survival mode. Kami berusaha tidak sampai mem-PHK karyawan, tetapi kami melakukan penyesuaian gaji,” kata Janur Yasa. ”Kami bersyukur dan beruntung para karyawan semuanya mengerti dan mau menerima kondisi ini,” ujarnya.
Janur Yasa menambahkan, situasi sulit selama pandemi Covid-19 memberinya kesempatan untuk lebih memberikan perhatian terhadap alam dan lingkungan, termasuk persoalan sampah, terutama sampah plastik. Janur Yasa menyatakan dirinya tidak alergi atau anti terhadap plastik karena menganggap plastik tetap diperlukan dalam kehidupan.
Filosofi Bali
Dalam gerakan Plastic Exchange itu, menurut Janur Yasa, jumlah beras yang diberikan sebagai pengganti sampah tergantung jenis dan berat sampah plastik yang dibawa dan ditukarkan masyarakat. Janur Yasa juga menyatakan, mereka tidak menggantikan beras dengan uang dalam program barter sampah karena pertimbangan rasa. ”Keluarga lebih merasakan ketika mereka mendapatkan beras 1 kilogram dibandingkan menerima uang, katakanlah, sebesar Rp 10.000,” kata Janur Yasa.
Adapun gerakan Plastic Exchange itu didasari filosofi dan nilai-nilai lokal Bali, salah satunya, Tri Hita Karana, yakni keseimbangan dan keselarasan hidup antara manusia dan Tuhan Yang Mahaesa, manusia dengan sesama manusia, dan antara manusia dan alam dengan tujuan kesejahteraan. Melalui gerakan Plastic Exchange tersebut, Janur Yasa mengimplementasikan Tri Hita Karana melalui pembangunan martabat dan jati diri dengan bekerja sama untuk bersama-sama meringankan kesulitan di masyarakat melalui pendekatan berwawasan lingkungan.
Janur Yasa mengakui ide menukarkan sampah dengan beras itu juga mendapat kritik, di antaranya, dinilai memanjakan masyarakat. Menurut Janur Yasa, konsep barter sampah dengan beras tidak berbeda dengan gerakan bank sampah. Namun, dalam gerakan Plastic Exchange itu, masyarakat langsung mendapatkan imbalan dari kegiatannya mengumpulkan dan memilah sampah.
”Barter atau bertukar barang ini juga kebiasaan sudah dikenal dan sudah lama ada di masyarakat,” kata Janur Yasa. Menurut dia, penukaran sampah dengan beras itu juga merangsang dan menumbuhkan rasa peduli, perhatian, dan keyakinan masyarakat, apabila menjaga lingkungan, kehidupan akan sejahtera.
Baca juga : Sa\'dudin Inovasi Mesin Pengolah dari Bahan Bekas
Janur Yasa mengungkapkan, gerakan Plastic Exchange juga mendukung kebijakan dan regulasi pemerintah, di antaranya Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Janur Yasa berharap dan merencanakan agar gerakan kepedulian lingkungan, seperti Plastic Exchange, mendapat perhatian lebih luas, terutama dari kalangan industri pariwisata di Bali, khususnya perhotelan.
Menurut Janur Yasa, mengubah kebiasaan dan perilaku membutuhkan proses dan pelatihan secara berkelanjutan. Janur Yasa mengakui, gerakan Plastic Exchange juga membutuhkan dukungan, termasuk bantuan pendanaan, sehingga edukasi lingkungan melalui aksi barter sampah dengan plastik itu juga dapat berkelanjutan.
Ketika disinggung tentang adanya apresiasi dari CNN melalui program CNN Heroes, Janur Yasa mengatakan, dirinya merasa bangga karena ide, konsep, dan gerakan Plastic Exchange diperhatikan dan diakui. Akan tetapi, menurut Janur Yasa, apresiasi tersebut sejatinya lebih membanggakan bagi masyarakat Bali karena masyarakat Bali memperhatikan, peduli, dan bergerak menangani persoalan sampah. ”Ini kebanggaan bagi kita semua,” kata Janur Yasa.
I Made Janur Yasa
Lahir : Tabanan, 12 Februari 1966
Orangtua : I Wayan Purna dan Ni Nyoman Subrati
Istri : Hillary Ellen Kane
Anak : 3
Pendidikan :
- SD Negeri 1 Gilimanuk, Jembrana (tamat 1979)
- SLUB 1 Saraswati, Tabanan (tamat 1982)
- SMA Negeri 1 Tabanan (tamat 1985)
- Program Studi Teknologi Pertanian Universitas Udayana (tamat 1992).
Kontak : yasa@plasticexchange.org