Universitas Airlangga Siap Bentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Universitas Airlangga mendukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan pembentukan satuan tugas yang melibatkan sivitas.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, mendukung penerapan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dukungan siap diwujudkan dengan membentuk Satuan Tugas PPKS.
Demikian diutarakan oleh Rektor Unair Mohammad Nasih di Surabaya, Selasa (16/11/2021). Satuan Tugas PPKS sesuai Permendikbudristek itu akan mengembangkan dan menegaskan peran Help Center yang sudah ada sejak tahun 2000. Help Center pada Direktorat Kemahasiswaan dibentuk oleh sukarelawan di Unair untuk membantu mahasiswa-mahasiswi menghadapi berbagai persoalan sebagai pendengar, pendamping, dan atau merujuk pada lembaga lainnya.
”Help Center bisa menjadi referensi bagi Unair untuk membentuk satgas sesuai dengan Permendikbudristek itu,” ujar Nasih. Dalam masa pandemi, pola konsultasi dan penanganan menjadi lebih mengutamakan privasi sehingga Help Center menjadi rujukan sivitas kampus untuk mencari solusi dari berbagai persoalan yang sedang dihadapi. Misalnya sesama dosen, mahasiswa, ataupun tenaga pendidikan dan dosen-mahasiswa, dosen-tenaga pendidikan, dan mahasiswa-tenaga pendidikan.
Nasih mengatakan, Unair juga siap bertindak tegas dan keras terhadap kekerasan seksual. Kasus ini memang pernah terjadi di Unair sehingga kampus memberhentikan dosen, tenaga pendidikan, dan atau mahasiswa. Satgas diperlukan untuk menumbuhkan keberanian korban mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual. Selain itu, memastikan perlindungan dan hak-hak korban. Satgas harus dapat memetakan kekerasan seksual, merekomendasikan, dan melaksanakan berbagai program pencegahan dan penanganan secara utuh atau dari hulu ke hilir.
”Komposisi satgas melibatkan seluruh sivitas,” kata Nasih. Misalnya, korban dari mahasiswa sungkan untuk mengungkapkan penderitaan kepada dosen atau tenaga pendidikan sehingga bisa mengadu ke satgas dari mahasiswa/mahasiswi karena mungkin merasa lebih nyaman dan percaya dengan teman.
Dalam masa pandemi, pola konsultasi dan penanganan menjadi lebih mengutamakan privasi.
Secara terpisah, dosen Fakultas Hukum Unair, Hadi Subhan, mengatakan, dukungan kampus terhadap Permendikbudristek merupakan sesuatu yang rasional dan benar. Semestinya regulasi itu mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Regulasi itu bertujuan mencegah dan memberantas kekerasan seksual di kampus yang dapat menjatuhkan martabat dan menodai Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Namun, penerbitan regulasi itu menuai pro dan kontra secara politik. Sejumlah lembaga menilai Menteri Dikbudristek Nadiem Anwar Makarim tidak berwenang menerbitkan regulasi tentang PPKS karena belum ada regulasi lebih tinggi, yakni perundang-undangan yang mengatur. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual masih dalam pembahasan di DPR.
Menurut Hadi, pandangan bahwa Mendikbudristek tidak berwenang sesungguhnya keliru. Mari melihat UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 8 Ayat 2 regulasi itu menyatakan, suatu lembaga bisa membuat peraturan atas dasar dua hal, yakni diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi atau karena menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya.
Kemendikbudristek merupakan penanggung jawab pendidikan tinggi. Dengan demikian, secara aspek formal, Nadiem berhak mengeluarkan peraturan meski RUU PKS belum diresmikan. Regulasi PPKS amat baik terutama bagi kalangan korban yang selama ini diam karena ketakutan.
Tuduhan bahwa permendikbudristek melegalkan perzinaan dalam klausul yang mengandung ‘tanpa persetujuan korban’, lanjut Hadi, juga keliru dalam penafsiran. Dalam konteks hukum, persetujuan itu bermakna tanpa hak. Tidak ada kolerasi antara PPKS dengan potensi perzinaan atau pergaulan seks bebas.
”Tidak bisa diartikan misalnya korban mau disentuh berarti boleh dan itu zina. Meskipun keduanya saling setuju, tetapi karena tidak memiliki hak secara norma hukum agama, etika, dan hukum, keduanya tidak tidak boleh melakukan atau melanggar hukum,” ujarnya.