Keluhan Petani Sengon Kalteng ”Ditangkap” Pelaku Industri Kayu Ringan
Kalimantan Tengah menjadi salah satu daerah dengan potensi kayu ringan yang besar di Indonesia. Hal itu membuat ratusan pengusaha kayu ringan mulai melirik petani kayu ringan Kalteng untuk bekerja sama.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Keresahan petani sengon asal Kalimantan Tengah mulai terpecahkan lewat penandatanganan kerja sama dengan Asosiasi Kayu Ringan Indonesia. Langkah itu diharapkan bisa meningkatkan rasa percaya diri petani untuk tetap berpenghasilan sembari ikut menekan kerusakan hutan dan menghindari pelepasan karbon.
Kayu ringan memiliki bobot ringan dan lunak. Selain sengon, jenis lainnya seperti jabon, ramin, jelutung, dan sebagian besar kayu khas lahan gambut.
Rusnie (47), petani sengon asal Tumbang Baringei, Kabupaten Gunung Mas, mengungkapkan telah menanam banyak pohon sengon di lahan seluas 1,5 hektar sejak 2014. Mengklaim sengonnya sudah siap panen, ia mengatakan masih kebingungan proses jual-belinya.
Menurut Rusnie, dia belum terlalu paham terkait mutu sengon yang dicari perusahaan. Saat pertama kali menanam, ia sekadar ikut program 1 juta pohon. Di sekitar tempat tinggalnya, ada 20 keluarga sudah menanam sengon. ”Saya sudah hampir mengganti sengon dengan karet karena tidak ada yang beli,” ujarnya.
Hal itu diungkapkan Rusnie dalam acara penandatanganan kerja sama antara petani dan asosiasi kayu ringan di Palangkaraya, Senin-Selasa (15-16/11/2021). Bertema ”Membangun Rantai Kayu Ringan Berkelanjutan di Kalimantan Tengah”, acara ini digelar Fairventures Worldwide (FVW), lembaga nirlaba yang fokus pada isu perubahan iklim dan sosial-ekonomi.
Hadir dalam kegiatan itu adalah perwakilan petani sengon asal Kabupaten Gunung Mas, Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Nasional Kemeterian Perdagangan Marolop Nainggolan, dan Ketua Umum Asosiasi Kayu Ringan Indonesia Setyo Wisnu Broto. Selain itu, ada juga Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Sri Suwanto dan Timber Value Chain Manager FVW Charles Tanaka.
Tanaka mengungkapkan, keresahan petani itu melatarbelakangi pertemuan kali ini. Pertemuan itu juga menjawab keluhan ratusan perusahaan kayu ringan di Indonesia yang mengatakan kekurangan bahan baku. Padahal, di Kalteng, terdapat sekitar 6.000 hektar lahan sengon.
Tanaka yakin, manfaat sengon bakal berlipat ganda. Petani bisa mendapatkan nilai ekonomi sambil menjaga karbon tidak dilepas sehingga tidak berujung pada perubahan iklim.
Menurut Tanaka, sengon dan kayu ringan lainnya bisa tumbuh cepat. Hal itu juga yang mendorong FVW menciptakan program 1 juta pohon dengan menanam kayu ringan. Sejak 2013, program itu dilakukan di Uganda dan di Kalteng.
Sejauh ini, sudah 1,4 juta bibit kayu ringan, seperti sengon, jabon, dan jenis kayu ringan lainnya disebar di seluruh dunia. Kini, mereka sedang memprakarsai program 100 juta pohon di skala yang lebih luas lagi.
Tanaka juga mengatakan, kayu ringan bisa menjadi pilihan tepat bagi Indonesia melawan deforestasi. Sudah saatnya bisnis kayu mempertimbangkan perubahan iklim sebagai alasan utama. Meski menebang kayu, bisnis ini diklaim tidak berujung deforestasi.
”Saat awal pertumbuhan, kayu ringan menahan karbon. Jadi, saat ditebang, kayu ini bisa maksimal menahan karbon. Di umur panen, pohon akan berhenti menangkap karbon,” ujar Tanaka.
Setyo Wisnu Broto mengatakan, pihaknya memiliki komitmen tinggi bekerja sama langsung dengan petani di Kalteng. Dia akan membuat koperasi untuk memotong jalur distribusi sehingga petani tidak bergantung kepada tengkulak.
”Namun, kalau bisa, ke depan jangan jual gelondongan, harus setengah jadi. Sebab, di sana, off taker-nya sudah ada. Kami juga akan bantu kirim saw mill ke sini,” kata Wisnu.
Sementara itu, Marolop Nainggolan menjelaskan, potensi kayu ringan di dunia meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup di Eropa, dari alat baja dan besi menjadi kayu ringan yang dinilai tidak merusak lingkungan. Hal itu harus ditangkap sebagai peluang baru.
”Kebutuhan material kayu ringan di pasar global meningkat terus. Kita semua mampu menjadi pemain utama untuk industri kayu ringan dunia,” kata Marolop. Pada tahun 2001, kebutuhan kayu dunia mencapai nilai 2,1 triliun dollar Amerika Serikat atau setara Rp 29,4 ribu triliun per tahun.
Kepala Dinas Kehutanan Sri Suwanto berharap kerja sama ini membuat petani tidak gigit jari lagi karena sulit menjual sengon. Namun, ia mengingatkan, masalah penjualan sengon tidak hanya soal rantai ekonomi, tetapi juga soal kawasan.
Sri menjelaskan, beberapa petani sudah mengeluh karena kebunnya masuk dalam kawasan hutan. Untuk itu, ia berharap kelompok-kelompok tani yang tanahnya masuk kawasan hutan bisa mendaftar dalam program Perhutanan Sosial.
”Ini solusi. Sebab, kami percaya hutan yang lestari itu dimulai dari masyarakat yang sejahtera,” kata Sri.