Menjaga Kearifan ”Kincia” nan Kian Memudar
Tidak ada kincir, tidak bisa bersawah. Pernah dulu, tidak ada kincir, petani pakai mesin pompa air, tidak sanggup. Belum sampai padi masak, bensin sudah habis 30 liter.
Para petani sawah di aliran Batang Sinamar punya sistem irigasi ”kincia”, kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Sayangnya, perangkat irigasi ramah lingkungan ini kian memudar, bahkan terancam punah.
Sebuah kincir berdiameter 7 meter terpasang di pinggir sungai. Air mengalir deras ke arah perangkat itu karena terbendung deretan pagar bambu aur yang membentang di tengah sungai. Disertai bunyi deritan kayu, kincir berputar di sumbunya, sekitar semenit sekali putaran.
Sepuluh tabung bambu yang tersebar di bagian luar lingkaran kincir turut mengikuti alur putaran. Tabung sepanjang semeter itu masuk ke sungai, terangkat mengikuti putaran, lalu menumpahkan air ke tadah yang mengalir ke bandar. Air bandar itu mengalir setidaknya ke 10 petak sawah di areal tersebut.
Demikianlah sekilas gambaran kincia atau kincir air di tepian Batang Sinamar, Nagari Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh. Kincir air masih menjadi sistem irigasi sawah bagi segelintir petani di sepanjang tepian sungai di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, itu.
”Ini kecepatannya sudah diperlambat. Jumlah tabungnya juga, biasanya paling banyak 40 tabung. Sekarang air sedang banyak sehingga pasokan dari kincir dikurangi,” kata Ajis Mardi (66), petani sekaligus pemilik kincir air itu di Nagari Taeh Baruah, Minggu (31/10/2021).
Baca Juga: Hadapi La Nina, BMKG Ingatkan Petani Siapkan Irigasi
Siang itu, Ajis sedang memantau kondisi kincirnya. Malam sebelumnya, turun hujan di daerah hulu. Air sungai yang besar dan keruh menganyutkan sampah-sampah, plastik ataupun kayu. Beberapa sampah itu menyangkut di jari-jari kincir. Ia menghentikan sebentar putaran kincir, lalu menyingkirkan sampah-sampah itu.
Ajis salah satu dari tiga-empat petani di tepian Batang Sinamar di Taeh Baruah yang masih melestarikan kincir air untuk irigasi sawah. Ia mulai menggunakan kincir sejak mulai bertani tahun 1980. Ajis mewarisi keterampilan ayahnya, yang juga petani sawah pengguna kincir.
Kincir Ajis sekarang mengairi setidaknya 2 hektar sawah garapannya yang terbagi atas 10 piring/petak sawah. Tujuh petak sawah milik keluarga Ajis dan tiga petak lainnya sawah orang yang ia garap dengan sistem bagi hasil. Air juga mengalir ke sawah-sawah lain di sekitarnya.
Menurut ayah lima anak itu, kincir merupakan alat ideal untuk mengairi sawah di tepian Batang Sinamar. Sawah di kawasan ini umumnya tidak terjangkau oleh saluran irigasi, baik karena jauh ataupun posisinya yang lebih tinggi. Karakteristik tanahnya yang agak berpasir juga tidak bisa menampung air hujan dalam waktu lama.
Sementara itu, kincir bisa beroperasi selama 24 jam tanpa henti. Dengan demikian, pasokan air ke sawah tetap stabil. Dengan kincir, sawah mendapatkan air secara merata. Padi pun bisa tumbuh subur karena kebutuhan airnya tercukupi. ”Kalau mengharapkan air dari langit, sekali setahun belum tentu bisa bersawah,” ujar Ajis, yang setidaknya bisa memanen padi dua kali setahun.
Yul (38), petani pengguna kincir lainnya di Taeh Baruah, mengungkapkan hal senada. Selain pasokan air stabil, penggunaan kincir juga menghemat biaya dan ramah lingkungan karena tidak perlu bahan bakar. Apabila menggunakan mesin pompa air untuk mengairi sawah, biaya yang dibutuhkan sangat besar dan hasil panen padi belum tentu optimal karena airnya tidak stabil.
”Tidak ada kincir, tidak bisa bersawah. Pernah dulu, tidak ada kincir, saya pakai mesin pompa air, tidak sanggup. Belum sampai padi masak, bensin sudah habis 30 liter (pertamax seharga Rp 9.200 per liter). Di mana hasilnya untuk petani nanti? Hasilnya tidak ada, cuma untuk beli bensin,” kata Yul.
Yul mulai menggunakan kincir secara mandiri dalam 3,5 tahun terakhir. Empat tahun sebelumnya, ia membantu-bantu dan belajar membuat kincir dari petani lainnya. Kincir Yul saat ini bisa mengairi 20 petak sawah di sekitar aliran sungai tersebut. Enam sawah adalah garapan Yul, sisanya milik petani lain.
Pembuatan kincir
Proses membuat kincir relatif singkat dan murah. Menurut Ajis, jika dikerjakan dua orang, membuat kincir cuma butuh waktu sebulan. Pekerjaan itu mulai dari menyiapkan dan memotong bahan-bahan hingga memasang kincir di pinggir sungai. Satu kincir bisa bertahan tiga hingga empat kali periode tanam (satu periode empat bulan), tergantung perawatan.
Cuma proses pembuatan lantak atau bendungan yang butuh waktu relatif lama. Untuk membendung sungai selebar 30-an meter itu dengan pagar bambu aur, butuh waktu sekitar 3 bulan. Walakin, lantak bisa bertahan hingga bertahun-tahun jika dirawat dengan baik. Kalaupun rusak, proses pembuatan ulang tidak serumit pembuatan pertama kali.
Baca Juga: Berkah Ikan Menari dari Saluran Irigasi di Jantung Yogyakarta
Semua komponen kincir terbuat dari bambu ataupun kayu. Sumbu kincir (undang-undang) terbuat dari kayu juar yang dikenal tahan air. Jari-jari (ramo-ramo), bingkai roda, pasung kincir, dan tiang penopang sumbu menggunakan bambu betung. Sementara itu, kipas dan tabung air terbuat dari bambu pering.
”Cuma tali yang dibeli untuk pengikat, satu gulungan Rp 75.000. Selebihnya, kami punya, semua jenis bambu tersedia. Kincir juga tidak pakai paku, hanya menggunakan pasak. Semua proses tidak ada yang diupahkan,” kata Ajis, yang tamat SMP itu.
Kincir Ajis memiliki panjang sumbu 2,5 meter, jari-jari 3,5 meter, dan panjang pasung, kipas, serta tabung sekitar 1,1 meter. Adapun jumlah tabung berdiameter 12 sentimeter itu awalnya 40 buah, tetapi sekarang dikurangi menjadi 10 tabung.
Sementara itu, menurut Yul, apabila semua bahan dibeli dan pembuatannya diupahkan, biaya satu kincir bisa mencapai Rp 8 juta. Walakin, dengan semua bahan yang tersedia dan dikerjakan secara bergotong royong, biayanya menjadi sangat murah. Kincir juga ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar.
Sejarah
Ajis tak tahu persis sejak kapan para petani di sekitar aliran Batang Sinamar mulai menggunakan kincir sebagai sistem irigasi. Namun, sepengetahuannya, ia adalah generasi keempat di keluarga yang menggunakan kincir, mulai dari kakek ayah, kakek, ayah, hingga dirinya.
Seingatnya, pada 1970-an, hampir semua petani yang menggarap sawah di pinggir sungai ini menggunakan kincir sebagai sumber pengairan. Kincir tersebar dari arah hulu di Nagari Taeh Baruah hingga ke arah hilir di Nagari Koto Tuo, Kecamatan Harau. Kincir air juga digunakan para petani di aliran Batang Ombilin, yang melewati Kota Sawahlunto dan Kabupaten Tanah Datar (Kompas, 25/8/2000).
Sementara itu, berdasarkan koleksi digital Perpustakaan Universitas Leiden, keberadaan kincir air di Limapuluh Kota sudah terekam sejak 1913 dalam foto Moskee te Sarihlamak bij Pajakoemboeh met op de voorgrond een waterrad (Masjid di Sarihlamak dekat Pajakoemboeh dengan kincir air di latar depan).
Keberadaan kincir di Payakumbuh juga terekam dalam dua foto jepretan Christiaan Benjamin Nieuwenhuis. Foto-foto koleksi Tropen Museum di Amsterdam yang dimuat dalam laman Wikimedia.org itu diperkirakan dipotret dalam rentang waktu tahun 1892-1922.
Sejarawan Universitas Andalas, Gusti Asnan, mengatakan, memang tidak diketahui pasti sejak kapan kincir digunakan untuk sistem irigasi oleh masyarakat Minangkabau. Walakin, sumber tertua tentang penggunaan kincir air yang ditemukan Gusti adalah tahun 1881 dalam buku AL van Hasselt berjudul Ethnograpische Atlas van Midden Sumatra.
Dalam buku itu, Hasselt membahas tentang pertanian di Sumatera Tengah. Kincir air di Minangkabau menjadi salah satu aspek yang dibicarakan dalam subpembahasan sistem irigasi. Bentuk kincir air yang digambarkan dalam buku itu tidak jauh berbeda dengan kincir yang masih bertahan saat ini, begitu juga bahannya. Di dalam sumber lain, ukuran kincir terbesar ditemukan di Limapuluh Kota dengan diameter 15 meter.
”Kincir air banyak digunakan di Minangkabau bagian tengah dan timur, dari Luak Tanah Datar sampai Luhak Limapuluh Kota. Karena digunakan secara masif dan luas tahun 1881, kemungkinan kincir sudah digunakan sebelum itu,” kata Gusti. Zaman sekarang, Minangkabau tengah dan timur ini, antara lain Tanah Datar, Limapuluh Kota, Sijunjung, Agam, dan Pasaman.
Gusti melanjutkan, dari cerita Hasselt, kincir banyak ditemukan di Minangkabau bagian tengah dan timur karena karakteristik alamnya. Di wilayah itu, lahan persawahan berada di kawasan yang lebih tinggi dari aliran air. Oleh sebab itu, kincir dibutuhkan untuk menaikkan air dari sungai dan anak sungai ke sawah.
”Penggunaan kincir ini barangkali bentuk kecerdasan intelektual petani pada masa lampau. Bentuk kreativitas dan inovasi mereka dalam mengatasi tantangan alam untuk mengairi sawah. Berdasarkan kajian etnografi Nusantara dan Asia, kincir air juga digunakan di tempat lain meskipun bentuknya berbeda,” ujar Gusti.
Walaupun hemat biaya dan ramah lingkungan, jumlah kincir di Batang Sinamar kian menurun dari tahun ke tahun. Tahun 1970-an, kata Ajis, di Taeh Baruah saja, jumlah kincir ada sekitar 20-an unit. Sekarang, jumlahnya tinggal tiga hingga empat kincir.
Adapun Kompas (22/5/2019) melaporkan, jumlah kincir di Taeh Baruah dan Koto Tangah Simalanggang, dua nagari bertetangga di Kecamatan Payakumbuh, yang tersisa di tahun itu hanya delapan kincir. Jumlah tersebut jauh berkurang dari 17 kincir pada tahun-tahun sebelumnya.
Kian hilangnya kincir dari Batang Sinamar, kata Ajis, karena petani-petani lama sudah banyak yang pensiun. Sementara itu, pewarisnya semakin berkurang. Petani-petani baru tidak banyak yang bisa atau mau melanjutkan kebiasaan berkincir ini.
Selain itu, lanjutnya, kondisi Batang Sinamar semakin tidak kondusif bagi keberlanjutan kincir, baik karena faktor alami maupun faktor penambangan pasir di kawasan hilir. Sungai pun semakin dalam, permukaan air semakin jauh dari tebing sehingga dibutuhkan kincir yang lebih besar agar air bisa dinaikkan ke sawah.
Aliran sungai tersebut juga semakin deras dari tahun ke tahun. Dampaknya, lantak cepat rusak karena pasirnya dan lumpur tempat bambu aur ditancapkan semakin gampang terkikis. ”Itulah makanya lantak harus dipelihara lebih intens. Dulu tidak perlu terlalu dirawat. Kini harus, kalau tidak, menantikan roboh saja besok pagi,” ujar Ajis.
Akhyar (57), petani yang meninggalkan kincir, mengatakan, ia pernah menggunakan kincir untuk menggarap sawah sejak 1988. Namun, pada 2015, ia berhenti. Penyebabnya, lantak gampang rusak karena Batang Sinamar yang semakin dalam akibat aktivitas penambangan pasir di hilir.
”Jadi, tiap sebentar saya memperbaiki lantak. Masalahnya ada di lantak, bukan kincirnya. Lantaknya kerap roboh karena dasarnya sudah terhisap akibat penambangan pasir di hilir. Karena lantak rusak, air tidak terbendung, kincir tidak bisa berputar,” kata Akhyar.
Sejak berhenti menggunakan kincir, Akhyar tak lagi menggarap sawah di tepian Batang Sinamar. Pengelolaan sawah diserahkan ke pemiliknya. Sebab, tanpa kincir, sangat sulit bertani secara produktif di areal tersebut. Sekarang Akhyar memilih menggarap ladang di tempat lain.
Para petani lain di tepian sungai itu, yang tidak menggunakan kincir, biasanya beralih menggunakan mesin pompa air untuk irigasi sawah. Ada pula yang mengubah lahannya dari sawah menjadi ladang. Namun, tak sedikit pula lahan sawah di tepian sungai yang terbengkalai begitu saja.
Menurut Gusti, gejala berkurangnya kincir mulai terjadi sejak awal abad ke-20. Pada masa itu, pemerintahan kolonial Belanda menggalakkan program intensifikasi pertanian dengan pembangunan bendungan irigasi. Kemudian, hal itu berlanjut dengan gerakan revolusi hijau tahun 1960-an. ”Itu turut punya andil terhadap lenyapnya kincir air,” kata Gusti.
Sekarang, dengan berbagai permasalahan di sungai, kata Gusti, keberadaan kincir semakin langka. Ia prihatin warisan budaya yang juga melambangkan kehebatan intelektual nenek moyang di masa lampau semakin hilang.
Gusti melanjutkan, baiknya warisan budaya, seperti kincir ini, tetap dipertahankan. Di banyak negara, misalnya Jepang, kincir-kincir air lama tetap dilestarikan dan dipergunakan untuk irigasi sawah di tengah modernya sistem pertanian di sana. Selain untuk pertanian, kincir itu juga menjadi obyek wisata budaya.
”Mungkin perlu juga pemikiran untuk mempertahankan kincir sebagai aset budaya kita, aset kehebatan nenek moyang kita dalam sistem teknologi dan ilmu pengetahuan, bisa juga aset wisata budaya dan sejarah,” kata Gusti.
Secara swadaya, Ajis tetap memelihara kincirnya di usianya yang semakin tua. Ia juga mulai menyiapkan keponakannya sebagai generasi penerus. Begitu pula dengan Yul, yang bersedia menyambut warisan kincir dari gurunya. Keberlanjutan kincir ada di tangan mereka dan petani lainnya yang masih punya semangat sama.