Ribuan STM tumbuh di Kota Medan dan sekitarnya, menjadi perekat sosial di tengah masyarakatnya yang majemuk, makin urban, dan modern. Jiwa masyarakat Kota Medan tetap didominasi solidaritas sosial yang kuat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Resiliensi warga Kota Medan tidak bisa dilepaskan dari kekuatan paguyuban warga yang disebut serikat tolong-menolong atau STM. Ribuan STM tumbuh di Kota Medan dan sekitarnya, menjadi perekat sosial di tengah masyarakatnya yang majemuk, makin urban, dan modern.
Sejumlah anggota Serikat Tolong-Menolong Marsiurupan sibuk memasang tenda dan menyusun kursi di sebuah rumah di Jalan Durung, Medan, Sumatera Utara, Senin (8/11/2021). Mereka membantu keluarga anggota serikat yang meninggal dunia, Oppung Frans Sagala.
”Kalau ada kejadian kemalangan, serikat tolong menolong harus hadir lebih awal untuk mengurus segala sesuatu keperluan,” kata Rasman Pasaribu (63), penasihat STM Marsiurupan.
Pengurus STM Marsiurupan juga langsung berkeliling ke ruman-rumah anggota yang berjumlah sekitar 70 keluarga untuk memberitahukan ada anggota STM yang meninggal. Mereka sekaligus mengutip iuran wajib yang disumbangkan untuk anggota yang mengalami kemalangan sebesar Rp 25.000 per keluarga.
Dari dana yang terkumpul, sebesar Rp 1,5 juta disumbangkan kepada anggotanya yang kemalangan. Jika uang yang dikumpulkan masih kurang, akan ditutupi dari uang kas STM.
”Uang itu untuk membantu membeli peti mati dan biaya penguburan. Ini sangat berarti bagi keluarga yang kemalangan, apalagi kalau keluarga itu kurang mampu,” kata Rasman. Di masa pandemi Covid-19, iuran bantuan tetap terus diberikan kepada anggota yang meninggal.
STM Marsiurupan berdiri sejak 1960-an. Marsiurupan diambil dari bahasa Batak yang berarti ’saling menolong’. STM itu merupakan satu di antara ribuan STM yang terus hidup di Kota Medan.
STM lahir dari masyarakat dan bukan merupakan bagian dari struktur pemerintahan. STM dibentuk berdasarkan kedekatan wilayah tempat tinggal meski tidak terpatok pada batas-batas administrasi wilayah.
Selain membantu anggota yang kemalangan, STM juga melakukan banyak kegiatan. STM Marsiurupan, misalnya, memberikan bantuan untuk anggota yang menikah dan mengadakan partangiangan (doa bersama) setiap bulan.
”Kami juga bergabung bersama STM lain yang berdekatan untuk merayakan Natal dan Tahun Baru serta hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia,” kata Rasman.
Sumber dana utama mereka pun berasal dari anggota. Mereka mengutip iuran wajib Rp 5.000 per keluarga per bulan. Saat ada pertemuan, uang persembahan dari doa bersama juga masuk ke kas STM. Namun, selama pandemi Covid-19, kegiatan doa bersama ditiadakan.
Hal serupa dilakukan STM Istiqomah di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun. ”Kegiatan utama kami adalah menolong anggota yang mengalami kemalangan. Serikat ini sangat membantu kami,” kata Sekretaris STM Istiqomah Hendra.
STM Istiqomah mengutip iuran bulanan Rp 10.000 per keluarga dan iuran untuk anggota yang kemalangan Rp 5.000 per keluarga. Mereka memberikan santunan Rp 2,3 juta untuk anggota yang mengalami kemalangan. Uang itu diharapkan bisa menutupi biaya mengurus jenazah hingga pemakaman.
”Kami juga mendirikan tenda dan menyediakan kursi di rumah anggota yang kemalangan secara gratis. Tenda dan kursi itu merupakan aset STM Istiqomah,” kata Hendra.
STM yang hidup di Kota Medan dibangun dari nilai kekeluargaan, empati, dan kepedulian.
Hendra menyebut, STM mereka sudah berdiri selama puluhan tahun dengan jumlah anggota saat ini sekitar 200 keluarga. Mereka juga melakukan kegiatan lain, seperti membantu biaya pendirian mushala dan perayaan hari ulang tahun kemerdekaan.
Selain dari iuran, uang kas STM juga kadang berasal dari calon anggota legislatif atau kepala daerah yang melakukan kampanye. ”STM itu sering menjadi sasaran kampanye. Namun, pilihan tetap di tangan anggota. Kami berprinsip, jangan sampai STM pecah karena pilihan politik,” kata Hendra.
Penggiat sosial-kemasyarakatan Soekirman mengatakan, STM merupakan organisasi yang benar-benar lahir dari tengah masyarakat. STM terpisah dari struktur pemerintahan serta terus bertumbuh dan berkembang di Kota Medan ataupun di Sumut. Bahkan, para perantau asal Sumut juga banyak yang mendirikan STM di beberapa kota lain.
Menurut Soekirman, salah satu akar dari STM adalah pantun (umpasa) yang menyebut Jonok dongan partubu, jonokan dongan parhundul. Pantun Batak itu menggambarkan bahwa setiap orang mempunyai dua kekerabatan, yakni kekerabatan saudara sedarah dan saudara sekampung (yang berdekatan tempat tinggalnya).
”Meskipun kita punya saudara seorang pejabat, yang pertama menolong kita saat terjadi kemalangan adalah orang-orang yang dekat dengan rumah kita, yaitu STM,” kata Soekirman.
Di beberapa wilayah di Medan, kata Soekirman, STM menyatukan berbagai latar belakang ekonomi dalam satu wadah. Di STM Osgoro (Organisasi Gotong Royong) di Jalan Air Bersih, Medan, tempat Soekirman berhimpun, anggotanya beraneka ragam profesi dari sopir becak, asisten rumah tangga, pejabat pemerintahan, hingga pengusaha.
”Kalau ada yang kemalangan, semua sama-sama mendapat uang santunan dalam jumlah yang sama dan iuran yang dikumpulkan dari anggota juga sama,” kata Soekirman yang merupakan mantan Bupati Serdang Bedagai itu.
Di awal terbentuknya STM mereka di Jalan Air Bersih sekitar tahun 1983, semua anggota baik yang Muslim maupun Kristiani berhimpun dalam satu STM karena wilayah itu masih sepi. Seiring dengan semakin banyaknya anggota, STM pun dipisah karena kegiatan sering berhubungan dengan acara keagamaan, seperti perwiridan (pengajian) atau partangiangan, tetapi warga tetap saling mengunjungi jika ada kemalangan atau acara lain.
Sosiolog Universitas Sumatera Utara, Hadriana Marhaeni Munthe, mengatakan, STM bisa tumbuh subur di Kota Medan karena solidaritas sosial masyarakatnya masih dominan mekanik dibanding organik. Sebagaimana dijelaskan dalam teori Emile Durkheim, solidaritas mekanik dibangun berdasarkan kesadaran kolektif yang masih memiliki kesamaan keyakinan, nilai, dan kepercayaan. Solidaritas ini berbeda dengan solidaritas organik yang muncul dari masyarakat kota yang saling membutuhkan.
”Kota Medan memang sebuah kota metropolitan, tetapi masyarakatnya masih memiliki ikatan sosial yang kuat, khususnya dengan latar belakang kesukuan dan agama. Solidaritas mekanik pun masih lebih dominan di Medan,” kata Marhaeni.
Marheni mengatakan, STM yang hidup di Kota Medan dibangun dari nilai kekeluargaan, empati, dan kepedulian. Karena itu, STM pun tetap hidup sebagai perekat sosial di tengah masyarakat kota.