Banyak cara dilakukan warga Medan untuk menunjukkan cintanya pada kota. Mereka berkumpul, membentuk komunitas, dan berkegiatan. Semua demi Medan yang humanis.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Warga Kota Medan melakukan berbagai cara untuk mewujudkan kecintaannya pada kotanya. Mereka berkumpul, membentuk komunitas, berkegiatan untuk kebaikan kota, demi terciptanya kota yang humanis.
Sutrisno Pangaribuan (44) sibuk mengarahkan puluhan penyandang tunarungu untuk mengikuti vaksinasi Covid-19 di Kecamatan Medan Polonia, Medan, Sumatera Utara, Selasa (9/11/2021). Dia berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan sesekali menurunkan maskernya agar bahasa bibirnya bisa dimengerti para tunarungu.
”Para penyandang tunarungu harus mendapat pendampingan khusus saat hendak vaksinasi karena hampir semua tenaga kesehatan tidak mengerti bahasa isyarat,” kata Sutrisno Pangaribuan, salah satu perintis komunitas belajar bahasa isyarat di Medan.
Setelah menjalani vaksinasi, para penyandang tunarungu pun tampak gembira. Mereka berswafoto sambil membuat gerakan bahasa isyarat yang menyatakan mereka sudah divaksinasi.
Sutrisno yang merupakan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara itu mengatakan, para penyandang tunarungu di Kota Medan kerap sekali kesulitan melakukan berbagai aktivitas karena hampir semua orang yang bisa mendengar tidak tahu sama sekali bahasa isyarat. Penyandang tunarungu pun semakin kesulitan karena selama pandemi orang pakai masker sehingga gerak bibir, isyarat yang tersisa, pun tidak bisa dibaca.
”Penyandang tunarungu hidup dalam kesepian karena orang yang bisa mendengar tidak bisa bahasa isyarat. Dalam beberapa aktivitasnya, mereka pun akhirnya harus didampingi. Padahal, mereka sebenarnya bisa dan sudah mandiri,” kata Sutrisno.
Karena itu, Sutrisno pun menyelenggarakan kelas bahasa isyarat setiap Jumat pukul 16.00-18.30 di Literacy Coffee, Jalan Jati II. Para pengajarnya adalah tunarungu dan pesertanya adalah orang yang bisa mendengar.
Secara etika, pengajar bahasa isyarat harus berasal dari penyandang tunarungu agar mereka bisa menyampaikan hal yang harus diketahui oleh orang yang bisa mendengar. Puluhan peserta pun selalu hadir dalam setiap kelas itu.
Di Literacy Coffee itu, berbagai komunitas rutin melakukan kegiatan diskusi. Jhon Fawer Siahaan (34), pendiri Literacy Coffee, mengatakan, kafe tersebut memang dirancang sebagai tempat diskusi berbagai komunitas warga kota.
Jhon sendiri menyediakan ribuan judul buku untuk dibaca para pengunjungnya. Sekitar 500 di antaranya merupakan buku-buku bertema lokal Sumatera.
”Kami ingin membangun komunitas warga yang mencintai kotanya. Warga Medan jangan hanya sekadar tinggal di Medan, tetapi tidak mencintai dan menghidupi Medan sebagai sebuah kota,” kata Jhon.
Warga Medan jangan hanya sekadar tinggal di Medan, tetapi tidak mencintai dan menghidupi Medan sebagai sebuah kota. (Jhon Fawer Siahaan)
Sanggar anak
Kegiatan komunitas untuk kemajuan kota juga dilakukan Sanggar Pendidikan Silaturahmi. Rabu (10/11/2021), Hendra (40), pendiri sanggar, sibuk memanggil anak-anak yang sedang bermain di Kampung Badur, Kecamatan Medan Maimun. Anak-anak lalu duduk bersila di dalam gedung sanggar berukuran 3 meter x 5 meter di pinggir Sungai Deli.
”Anak-anak, kalian sudah selesai bermain hari ini, kan. Sekarang kita belajar dulu sebelum pulang ke rumah,” kata Hendra kepada anak-anak itu.
Hendra lalu mengenalkan huruf dan angka-angka kepada anak-anak berusia 5-6 tahun. Mereka adalah anak-anak warga permukiman padat penduduk di Kampung Badur di bantaran Sungai Deli.
Beberapa saat kemudian, empat mahasiswa dari Universitas Sumatera Utara menemui Hendra. Para mahasiswa itu ingin melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) dengan mengajar anak-anak.
”Hampir semua kampus di Medan sudah pernah mengajar anak-anak di sini. Pernah juga ada KKN dari mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang,” katanya.
Hendra mengatakan, sanggar itu dirintis dengan pendampingan beberapa organisasi, seperti Komunitas Peduli Anak dan Sungai Deli (Kopasude) dan Relawan Nusantara Medan. Saat ini, masyarakat di Kampung Badur sudah mandiri menjalankan kegiatan sanggar.
Kegiatan utama mereka adalah mengajar anak-anak. Mereka mengajarkan mata pelajaran sekolah, berkesenian, olahraga, dan bermain. Anak-anak juga diajarkan mencintai lingkungan, khususnya Sungai Deli yang merupakan tempat bermain mereka sehari-hari. Ada sekitar 70 anak-anak yang aktif ikut di sanggar itu.
Di tempat lain, Komunitas Gerakan Kampung Sendiri menunjukkan kecintaan pada kota dengan membuat mural di sejumlah titik kota. Mereka sudah membuat sejumlah mural dalam dua tahun belakangan ini, seperti mural Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya (PSMS), KRI Nanggala 402, Harmoni Ramadan, dan orangutan.
”Kami membuat mural untuk menyampaikan sejumlah pesan dan solidaritas kepada masyarakat,” kata Bobi.
Bobi mengatakan, komunitas menghimpun anggota dari seniman mural, pencinta lingkungan, dan pencinta kota. Mereka memilih mural agar bisa mengajak warga kota aktif berkesenian, berkegiatan di inti kota, selain mempercantik kota.
”Kegiatan-kegiatan komunitas yang mencintai kota tidak bisa lagi hanya di sekretariat, tetapi harus di ruang publik di inti kota. Ini untuk menghidupkan roh Medan sebagai sebuah kota,” kata Bobi.
Menurut Bobi, musuh utama dalam melaksanakan kegiatan komunitas di inti kota adalah banyaknya pungutan liar dari preman, bahkan aparat. Izinnya juga sangat rumit. Namun, saat ini hal itu sudah semakin berkurang karena banyak kejadian premanisme yang viral dan akhirnya ditindak.
Meskipun pemimpin kota silih berganti, warga tetap berkegiatan tak henti berpartisipasi membangun kota.