Memulas Benteng Mangrove ”Istambul” Demak
Tambakbulusan di Demak terkenal akan ekosistem mangrove pesisir. Selain menyerap karbon, mangrove menjadi benteng menghadapi tantangan perubahan iklim. Sejumlah mangrove meranggas pada akhir 2020. Restorasi diperlukan.
Mangrove tidak hanya punya peran ekologis sebagai penyangga kawasan pesisir, tetapi juga menyimpan potensi wisata edukasi. Hal ini dijumpai di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Warga mengembangkan wisata edukasi untuk mendukung perlindungan mangrove sebagai benteng iklim pesisir.
Sinar matahari menyelinap lewat sela-sela rimbunan mangrove di pesisir Desa Tambakbulusan, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Sabtu (6/11/2021) siang. Cahayanya menghampar susunan kayu dengan lebar 1,5 meter yang memanjang sekitar 300 meter menuju Pantai Glagah Wangi.
Sekitar 25 meter menjelang pantai, suasana teduh seketika terik. Di sisi timur trek kayu, sederet pohon mangrove luruh atau meranggas. Di atas lumpur basah, batang-batang mangrove itu tumbang, miring tak beraturan. Pemandangan serupa terlihat di sekitarnya. Batang-batang mangrove lunglai saling bertumpuk.
Di bibir pantai, sejumlah properti spot foto, seperti patung lumba-lumba yang dibangun di atas susunan beton, juga ambrol. Padahal, itu merupakan salah satu fasilitas andalan untuk menarik minat pengunjung di kawasan ”Istambul”, kependekan dari Istana Tambakbulusan.
”Itu akibat gelombang pasang akhir 2020. Sejumlah fasilitas rusak. Sementara mangrove, kami tak tahu berapa luasan persisnya yang meranggas. Namun, sebagian di antaranya memang sudah mati sebelum kena terjang,” ujar Fauzi Hariyanto dari BUMDes Istambulkarya, Desa Tambakbulusan.
Tumbangnya sejumlah mangrove disayangkan oleh pengunjung, salah satunya M Hanif (38), asal Demak. Menurut dia, teduhnya rerimbunan mangrove, di tengah teriknya pesisir pantura, membuat nyaman. Menyusuri trek hutan mangrove pun melengkapi wisata pantai sekaligus menaiki perahu.
”Salah satu wisata favorit di Demak, ya, di sini. Mudah-mudahan ke depan mangrovenya semakin lebat. Mungkin, di sepanjang trek bisa juga ditambah fasilitas-fasilitas lain, seperti spot foto atau info-info tentang mangrove. Supaya semakin menarik,” ujarnya.
Pengunjung lainnya, Yusti (21), juga asal Demak, mengatakan, meski berjarak sekitar 18 kilometer dari Demak kota, pemandangan suasana dan pemandangan yang didapat di Istambul sepadan. Sebelum memasuki puncak musim hujan, ia memang memburu foto dengan latar mangrove dan bentangan pantai dengan pasir putih.
Baca juga: Mulai dari Karbon Biru untuk Menyelamatkan Bumi
Pariwisata di Istambul, yang dikelola BUMDes Istambulkarya, berkonsep ekowisata. Tempat parkir destinasi wisata itu berjarak sekitar 10 kilometer dari jalur pantura. Setelah membayar tiket Rp 15.000 per orang di loket, sekitar tempat parkir, pengunjung menaiki perahu 3-5 menit menuju hutan mangrove. Turun dari perahu, pengunjung menyusuri trek kayu di bawah rimbunan mangrove yang tumbuh alami di sana.
Terdapat beragam jenis mangrove di hutan tersebut, termasuk marga Rhizophora dan Avicennia (api-api). Selain berwisata, pengunjung juga diajak mengetahui jenis-jenis mangrove serta fungsinya, antara lain sebagai penyerap karbon serta memperlambat arus dan ombak yang memicu abrasi.
Di ujung trek, terbentang laut dengan batas berupa pasir putih. Susunan papan kayu juga berlanjut hingga ke arah laut, hingga terdapat spot foto bertuliskan ”Pantai Glagah Wangi Istambul”.
Fauzi menuturkan, wisata Pantai Glagah mulanya hanya dilakukan pengunjung setiap tradisi Syawalan dan Kupatan. ”Namun, setelah itu semakin ramai, hingga akhirnya resmi dikelola BUMDes sejak September 2019. Total ada sekitar 110 orang yang tergabung dalam paguyuban pengojek perahu di sini,” katanya.
Kami juga akan membuat masterplan desa pelangi untuk Desa Tambakbulusan. Itu sebagai pengembangan desa wisata.
Dari tiket Rp 15.000 per orang, dialokasikan Rp 4.000 untuk BUMDes, Rp 10.000 untuk perahu, dan Rp 1.000 untuk jasa pengaturan jalur perahu di dermaga. Menurut Fauzi, setiap hari Minggu pengunjung mencapai 1.000 orang, bahkan sebelum pandemi Covid-19 bisa mencapai 3.000 orang.
Sejak lama, Tambakbulusan memang dikenal akan mangrove dengan luas total sekitar 200 hektar. ”Dulu sekali, memang ada beberapa warga yang menebang dan memanfaatkan kayunya, seperti untuk memasak (kayu bakar). Namun, setelah tahu manfaatnya bagi lingkungan, tak ada lagi yang seperti itu. Semua menjaga,” ucapnya.
Menurut Fauzi, salah satu tantangan pengembangan wisata yakni pendanaan yang menggunakan dana BUMDes. Namun, dukungan dari Pemkab Demak serta pihak-pihak lain juga turut membantu.
Kepala Dinas Pariwisata Demak Agus Kriyanto mengatakan, segala aspek diperhatikan dalam pengembangan wisata di Tambakbulusan. Tidak hanya terkait sarana prasarana utama, tetapi juga pelatihan pengelolaan destinasi dan homestay, keselamatan dan keamanan destinasi, inovasi kuliner, serta mitigasi bencana.
”Kami juga akan membuat masterplan desa pelangi untuk Desa Tambakbulusan. Itu sebagai pengembangan desa wisata. Mengenai konsep ekowisata, kami juga akan mengembangkan di Desa Boyolali, Kecamatan Gajah,” ujar Agus.
Desa binaan
Sejak 2020, Universitas Diponegoro, Semarang, turut terlibat dalam pengembangan dengan menjadikan Desa Tambakbulusan sebagai binaan. Undip pun terlibat secara terpadu, melalui berbagai fakultas, dalam pengembangan destinasi wisata itu. Diharapkan, pariwisata berkelanjutan dan menjamin kelestarian alam.
Guru Besar Bidang Oseanografi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Undip Denny Nugroho Sugianto mengatakan, kematian massal mangrove di Istambul dalam beberapa tahun terakhir menjadi perhatian. Selain berdampak pada ekosistem, kondisi tersebut juga pada aspek daya tarik wisata.
Hanya dalam setahun, kata Denny, kerusakan pantai akibat abrasi, yang antara lain dipengaruhi perubahan iklim, terlihat. Garis pantai telah mundur hingga sekitar 20 meter. ”Ini cukup memprihatinkan,” ujarnya.
Upaya yang dilakukan, antara lain, dengan ecorestoration atau merestorasi ekosistem mangrove. Pihaknya menyiapkan delapan demonstration plot (demplot) yang masing-masing berukuran 2 meter x 20 meter. Pada setiap demplot tersebut ditanam bibit mangrove, yakni Rhizophora dan Avicennia.
Seperti yang dilakukan pada Sabtu (6/11/2021), saat tim dari Undip bersama BUMDes Istambulkarya menebar bibit Avicennia, berupa biji, di salah satu demplot. ”Demplot ini sebagai media, dengan memperhatikan juga pasang surut. Jadi, saat pasang tertinggi akan terendam, tetapi saat surut tidak terendam,” ujar Denny.
Kembalikan fungsi
Dalam waktu setahun, dari demplot tersebut diharapkan setidaknya tumbuh 0,5 meter-1 meter dan terus tumbuh pada tahun-tahun berikutnya. ”Teknologi sederhana ini diharapkan mengembalikan fungsi ekologis mangrove. Kami juga berharap bisa mengembangkan demplot-demplot ini di lokasi lain,” lanjut Denny, yang juga Kepala Kantor Pemeringkatan Undip.
Akan tetapi, ia menekankan, dalam merehabilitasi wilayah pesisir, perlu dilihat spesifikasi permasalahan yang dihadapi di setiap daerah. Satu teknologi tak serta-merta dapat diterapkan jika permasalahannya berbeda. Namun, modifikasi teknologi tetap dimungkinkan.
Wakil Rektor IV Undip Ambariyanto menambahkan, pola ilmiah pokok (PIP) Undip ialah ”Pengembangan Ekologis Wilayah Pesisir dan Tropis”. Oleh karena itu, penelitian dan pengabdian masyarakat terkait pesisir banyak dilakukan. Mangrove pun menjadi salah satu bidang kajian.
Baca juga: Pelestarian Hutan Mangrove Bagian Penguatan Ekonomi Lokal
Ia menambahkan, hingga pertengahan Oktober, total dana penelitian dan pengabdian masyarakat Undip, termasuk kerja sama, pada 2021, yakni sekitar Rp 92 miliar. Lebih dari 50 persen terkait dengan pesisir.
Menurut Ambariyanto, kerusakan pesisir ada yang alami dan akibat manusia. ”Untuk yang alami, bisa dengan prediksi dan bantu mengantisipasi. Namun, yang akibat manusia ini perlu mendapat perhatian lebih. Biasanya terjadi karena tuntutan ekonomi, seperti penebangan mangrove di beberapa tempat,” katanya.
Undip juga kini terus mengembangkan Marine Science Techno Park di Teluk Awur, Kabupaten Jepara. Ke depan, kawasan itu akan dikembangkan, tak hanya sebagai arena akademik, tetapi juga wisata edukasi. Pengunjung nantinya diharapkan dapat belajar, misalnya terkait udang, rumput laut, dan mangrove.
Tahun ini, Undip akan mengembangkan mangrove di Teluk Awur, sedangkan tahun depan rumput laut. ”Seluruhnya, termasuk berbagai fasilitas, mungkin akan selesai pada akhir 2022,” ujar Ambariyanto, yang juga Guru Besar FPIK Undip.
Sebagai benteng iklim pesisir, hutan mangrove mesti dijaga bersama-sama. Melalui wisata, kesadaran warga merawat teduh rerimbunan mangrove diharapkan terus lestari demi keberlangsungan ekosistem.