Banjir Kalbar, Teguran Kesekian atas Pengabaian Kerusakan Hulu
Hingga Kamis (11/11/2021), tujuh kabupaten di Kalimantan Barat masih dilanda banjir. Kini, momentum untuk meninjau tata ruang daerah karena penyebab banjir selain cuaca, juga diduga karena kerusakan alam.
Banjir melanda 7 dari 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Barat. Banjir ini disebut sebagai banjir terbesar dalam 40 tahun terakhir. Ini menjadi teguran bahwa sudah saatnya hulu diperhatikan.
Tujuh kabupaten yang dilanda banjir itu adalah Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau, Sanggau, Ketapang dan Bengkayang. Di Sintang, banjir sudah melanda sejak 22 hari lalu.
Hingga Kamis (11/11/2021), banjir masih saja merendam sejumlah daerah itu hingga kedalaman 3 meter. Jalan lintas Melawi di kota Sintang yang menghubungkan dengan Kabupaten Kapuas Hulu, misalnya, masih terendam banjir dan hanya bisa dilintasi kendaraan tertentu.
Jaka (31), sukarelawan penyalur bantuan bagi warga, menuturkan, permukiman warga masih dikepung banjir. Sebagian warga mengungsi ke kebun karet. Warga yang memiliki perahu sesekali keluar menggunakan perahu untuk mencari air bersih. ”Warga di daerah pesisir rata-rata memiliki perahu,” ujarnya.
Warga terdampak banjir masih memerlukan bantuan makanan karena tidak bisa bekerja. Randi Wira Aji (22), sukarelawan lain, menuturkan, sukarelawan masih terus memasok bantuan bagi warga terdampak banjir. Pemerintah Provinsi Kalbar juga telah membagikan beras, mendirikan dapur umum, hingga membentuk satgas untuk membantu warga.
Menurut Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sintang, Sintang sudah tiga kali dilanda banjir tahun ini. Pada Maret, sebanyak 3.682 keluarga terdampak di 2 kecamatan, pada 2 Oktober sebanyak 8.693 keluarga terdampak di 6 kecamatan, dan banjir ketiga 21 Oktober di 12 kecamatan hingga kini belum surut.
Baca juga : Banjir Melanda Tujuh Kabupaten di Kalbar
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir di Sintang di 12 kecamatan itu berdampak pada 140.468 jiwa, 35.117 rumah terendam, 5 unit jembatan rusak berat, dan beberapa sarana prasarana lainnya.
Terdapat 32 titik pengungsian, tetapi lebih banyak warga yang mengungsi ke tempat kerabat. Sebanyak 24 titik dapur umum sudah didirikan untuk memasok pangan bagi warga terdampak banjir.
Tinjau tata ruang
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, banjir yang terjadi di tujuh kabupaten di Kalbar, selain faktor cuaca, juga diduga disebabkan degradasi lingkungan. Untuk itu, selain penanganan jangka pendek, diperlukan juga upaya meninjau atau bahkan merevisi tata ruang Kalbar.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Ale menilai, konsep awal tata ruang adalah melakukan penataan, baik untuk pembangunan maupun ekonomi. Salah satu dirancangan tata ruang adalah mengantisipasi bencana di Kalbar dengan penyediaan 30 persen ruang hijau.
Tata ruang 14,7 juta hektar luas Kalbar terdiri atas kawasan produksi dan kawasan nonproduksi. Dari luasan itu, 6,4 juta hektar adalah kawasan produksi yang bisa digunakan untuk perkebunan, pertambangan, dan sebagainya. Sisanya, 8,3 juta hektar, adalah kawasan nonproduksi termasuk kawasan konservasi, hutan lindung, dan sebagainya yang seharusnya jadi kawasan strategis.
Baca juga: Selamatkan Sungai di Kalimantan Barat
Konsep tata ruang ini dianggap ideal dan jika diterapkan setidaknya mampu mengantisipasi bencana. Faktanya, konsep tata ruang ini tidak dijalankan baik. Kawasan produksi konsepnya 6,4 juta hektar, tetapi pelaksanaannya sudah dialihfungsikan jadi kawasan industri hampir menembus angka 13 juta hektar.
”Di situlah pertambangan, perkebunan, dan industri-industri di sektor kehutanan. Artinya, konsep perencanaan yang sudah dibuat dilanggar,” ungkap Nikodemus.
Praktiknya, kawasan tersisa yang tidak dibebani izin hanya sekitar 1 juta hektar. Sementara itu, sekitar 13 juta hektar telah dikuasai kelompok-kelompok investasi pertambangan, perkebunan, dan industri lain di sektor kehutanan.
Bencana ekologis yang terjadi hari ini adalah dampak dari kesalahan implementasi tata ruang yang sudah dibuat. Saat ini merupakan momentum bagi daerah untuk merevisi tata ruang terutama di daerah yang dilanda bencana dan melakukan peninjauan kembali perizinan. Apalagi, kabupaten yang berjargon ”kabupaten konservasi” dan ”kabupaten lestari” ini pun kini tidak luput dari banjir.
”Apabila tata ruang dan perizinan tidak segera dilakukan revisi, Kalbar akan mengalami bencana ekologis lebih parah daripada sekarang,” papar Nikodemus.
Luas tutupan hutan Kalbar juga terus berkurang. Berdasar data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar, luas tutupan hutan Kalbar tahun 1990 seluas 7,5 juta hektar. Tahun 2012 menjadi 6,9 juta hektar dan tahun 2018 menjadi 5,5 juta hektar. Penyebab deforestasi karena lemahnya tata kelola.
Kondisi itu ditambah daerah aliran sungai (DAS) yang kritis. Data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta hektar luas DAS di Kalbar, 1,01 juta hektar di antaranya dalam kondisi kritis, salah satunya DAS Kapuas. Sejumlah daerah yang dilanda banjir saat ini ada di kanan-kiri Sungai Kapuas.
Namun, analisis Walhi Kalbar, tingkat kekritisan DAS Kalbar lebih dari itu disebabkan berbagai beban izin. Di bibir sungai pun ada perkebunan. Kawasan penyangga DAS juga tak luput dari beban izin.
Rencana evaluasi
Gubernur Kalbar Sutarmidji menuturkan, tata ruang akan dievaluasi pascabanjir. Selama ini, investasi di Kalbar datang silih berganti. Setelah selesai era hak penguasaan hutan (HPH) di Kalbar, muncul era perkebunan sawit.
Belum selesai era sawit, ada hutan tanaman industri (HTI). Belum selesai penataan HTI, sudah ada pertambangan. ”Ini semua harus dievaluasi,” kata Sutarmidji.
Belum lagi pertambangan emas tanpa izin. Dalam hal ini, tidak bisa juga sepenuhnya menyalahkan masyarakat di lokasi pertambangan emas tanpa izin. Pertambangan itu menggunakan ekskavator yang harus didatangkan dengan biaya besar dan melewati pos-pos aparat, yang berarti ada pemodal besar. ”Masyarakat tidak mungkin bisa membeli ekskavator,” ungkapnya.
Pertambangan emas tanpa izin dan penggundulan hutan jadi salah satu penyebab rusaknya DAS sehingga terjadi sedimentasi sungai, khususnya Kapuas. Dahulu air surut terendah di Kapuas masih lebih dari 7 meter.
Kini, begitu air surut, kedalamannya hanya 4,4-6 meter sehingga banjir lama bertahan di darat. Tahun 1963 banjir juga besar, tetapi air cepat surut karena fungsi sungai masih relatif bagus, berbeda dengan sekarang.
Banjir yang terjadi di hampir separuh kota dan kabupaten di Kalbar adalah teguran keseian kalinya dari alam. Sampai kapan semua itu diabaikan? Jangan pernah dianggap sepele.
Baca juga: La Nina Waspadai Banjir dan Banjir Bandang