Musim Hujan Tiba, Penyintas Bencana Badai Seroja Resah Menunggu Pembangunan Rumah
Memasuki musim hujan, ribuan penyintas bencana badai Seroja di Nusa Tenggara Timur yang kehilangan tempat tinggal kian diliputi kekhawatiran. Beban ganda dirasakan penyintas, jika bencana kembali terjadi.
Maleakhi Natonis (34), warga Kelurahan Oebufu, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, diliputi kekhawatiran. Musim hujan tahun ini sudah tiba, sementara rumahnya yang rusak berat akibat badai Seroja, 3-5 April 2021, belum juga dibangun pemerintah.
Hal serupa dialami 6.336 keluarga di NTT. Dengan kondisi kehilangan rumah atau terpaksa tetap mendiami rumah yang rusak berat akibat badai Seroja, mereka makin tak berdaya saat menghadapi musim hujan kali ini.
Sebagian tembok rumah Maleakhi di bagian belakang masih roboh. Rumah berukuran 6 meter x 7 meter persegi itu tersisa dinding bagian depan yang masih kelihatan utuh. Rumah itu dibangun pada 2017, hasil jerih payahnya sebagai tukang ojek.
Kondisi kerusakan rumah seperti itu banyak ditemui di sepanjang bantaran Sungai Liliba, Kota Kupang. Sebagian tanah di kawasan itu retak, mulai dari wilayah RT 010 hingga RT 017 Kampung Amanuban, Kelurahan Oebufu Oebobo. Sejumlah 350 rumah warga terdampak, 172 unit di antaranya rusak berat, 73 rusak sedang, dan 105 rusak ringan.
Rumah Maleakhi berada di RT 014 RW 007. Di RT ini ada sekitar 32 rumah rusak berat dan tidak bisa ditempati lagi.
”Kami semua mengungsi ke rumah tetangga sejak 4 April 2021 sampai hari ini. Seusai kejadian, pemerintah datang ke lokasi dan berjanji segera membangun rumah di lokasi yang aman. Kami pun siap direlokasi, asal tetap di dalam wilayah Kota Kupang. Tetapi, sampai musim hujan ini, rumah tidak dibangun,” kata Maleakhi, Senin (8/11/2021).
Tinggal bergabung dengan tetangga sangat tidak nyaman. Apalagi masing-masing keluarga memiliki istri dan anak. Tempat tidur terbatas. Kamar mandi hanya satu. Soal belanja makan minum pun sering menimbulkan perasaan yang kurang enak satu sama lain. Apalagi anak-anak sering ribut soal mainan dan telepon seluler.
Baca juga: Proses Verifikasi Administrasi Data Rumah Rusak akibat Badai Seroja Belum Berjalan Ideal
Christian Nakmofa (46), Sekretaris RT 014 RW 007, Kelurahan Oebufu, juga sedang gelisah. Rumah yang ditempati saat ini sudah retak di tiga titik. Keretakan dengan celah 3-5 milimeter itu dimulai dari rekahan lantai sampai bagian sambungan kuda-kuda atap.
”Ini masuk kategori rusak sedang. Janji pemerintah yang datang pascabencana, rumah kategori ini pun akan direhabilitasi setelah selesai pembangunan kembali rumah yang rusak berat,” kata Nakmofa.
Nakmofa dan enam anggota keluarganya masih menempati rumah dengan sebagian dinding dicat hijau itu. Beruntung, wilayah Kupang jarang terjadi gempa bumi sehingga keretakan itu tidak melebar. Pasca-kerusakan, setiap pejabat yang datang selalu mampir dan mengambil gambar.
Kini, keresahan putra Timor itu makin memuncak. Setiap terjadi hujan deras disertai petir dan angin badai mereka selalu siap-siap di depan pintu untuk mengungsi. ”Kami khawatir kalau terjadi longsor dan patahan tanah seperti dulu lagi,” kata ayah empat anak ini.
Relokasi
Pemerintah sedang membangun rumah relokasi di Kelurahan Manulai II, 30 kilometer dari Kampung Amanuban. Saat ini sekitar 80 rumah sudah rampung, dari total 171 rumah tahap pertama yang direncanakan. Namun, rumah-rumah itu belum diserahterimakan. Menurut rencana, selesai dibangun kemudian diserahkan ke Pemerintah Kota Kupang, dilanjutkan ke penerima manfaat.
”Sertifikat rumah yang saya tempati ini dan 170 unit rumah lain yang rusak berat sudah diambil pemkot. Nantinya pemerintah akan menyerahkan sertifikat baru untuk tanah dan rumah di Kelurahan Manulai II. Memang luas tanah di sana cuma 100 meter persegi dengan luas banguan di atasnya 36 meter persegi. Kalau rumah ini luas tanahnya 250 meter persegi, tetapi di sini tidak aman ke depannya,” katanya.
Baca juga: 17 Kabupaten/Kota di NTT Rampungkan Data Kerusakan Rumah Warga akibat Badai Seroja
Seperti halnya Malaekhi, mengungsi di rumah keluarga lain juga dialami Mariana Dosantos (41), warga Desa Atapupu, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Sejak rumahnya rusak berat akibat diterjang badai Seroja, ia bersama suami dan tiga anak berpindah tempat ke rumah saudara dari suami di Desa Kenebibi, sekitar 3 kilometer dari Desa Atapupu.
Saat tinggal menumpang di rumah keluarga lain, mereka sering salah paham soal hal-hal kecil, seperti persediaan air bersih di rumah habis, perebutan mainan anak-anak, dan sabun cuci habis. Bahkan, tak jarang muncul rasa kecemburuan antara suami dan istri di kedua pihak.
Pada Agustus 2021, Mariana bersama suaminya, Agusto Maia (48), memilih kembali ke Atapupu dan membangun pemondokan berukuran 4 meter x 5 meter. Mereka memanfaatkan puing-puing bekas bangunan yang rusak. Atap dari seng bekas, dinding diambil dari rangkaian pelepah lontar. Tidak ada kamar tidur di gubuk itu.
Dengan ketinggian gubuk hanya 2,5 meter, saat siang panas matahari terasa terik sekali. Jika sudah seperti itu, mereka lebih suka berada di luar rumah, berlindung di bawah pohon. Saat malam hari, mereka tidur di dalam rumah, membentangkan kasur bekas di lantai kasar.
”Kami masih menunggu rumah dari pemerintah. Suami sudah ke Kantor Dinas Sosial di Atambua, tetapi jawabannya sabar dulu karena tidak lama lagi akan dibangun dengan dana dari pusat,” kata Mariana.
Sudah beberapa kali terjadi hujan, atap rumah itu bocor di mana-mana. Agusto Maia sudah berusaha menambal kebocoran dengan lem seng, tetapi belum mengatasi masalah.
”Kasihan anak-anak. Kalau hujan malam hari mereka terpaksa tidak bisa tidur,” kata Mariana.
Baca juga: Debitor di NTT Bisa Mengajukan Pinjaman Relaksasi Terkait Dampak Badai Seroja
Di Kabupaten Alor, NTT, rumah yang rusak akibat badai Seroja dan belum dibangun kembali juga mencapai ratusan unit. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Alor Marthen Moubefa mengatakan, pembangunan rumah warga yang rusak di Kabupaten Alor masih dalam proses.
”Sekitar dua rumah dari total 703 unit sudah dibangun, tetapi belum ditempati, masih menunggu yang lain,” kata Moubefa.
Kabupaten Alor mengusulkan delapan desa harus direlokasi, tetapi yang disetujui hanya lima desa. Kelima desa itu meliputi Lalapang, Bungabali, Kaleb, Nule, dan Tamak. Kelimanya tersebar di dua kecamatan, yakni Alor Timur dan Kecamatan Alor Selatan.
Total rumah yang harus direlokasi dari tiga desa itu sebanyak 368 unit. Desa-desa tersebut berada di bantaran sungai dan di bawah lereng bukit atau gunung sehingga dipindahkan ke lokasi aman.
”Relokasi belum berjalan karena masih menunggu pembangunan rumah. Juga masih ada lahan yang belum mendapat izin dari Kementerian Kehutanan karena masuk hutan lindung. Ini yang menghambat proses pembangunan. Kecepatan pembangunan rumah itu juga tergantung pembebasan lahan,” kata Moubefa.
Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana telah diimbau melalui camat, kepala desa, dan kelurahan agar waspada menghadapi musim hujan tahun ini.
”Kami minta warga swadaya pindah dari lokasi bencana, seperti Desa Nule. Masyarakat setempat tinggal di sepanjang bantaran Sungai Nule, bahkan ada yang berdiam di bagian delta sungai. Itu sangat membahayakan keselamatan. Saat badai Seroja, di wilayah itu ada tujuh warga hilang sampai hari ini, dan enam yang lain,” katanya.
Di Alor, badai itu menyebabkan 27 orang meninggal, 14 orang hilang, dan 25 orang luka-luka. Kerusakan rumah warga terdiri dari 703 unit rusak berat, 470 unit rusak sedang, dan 1.143 unit rusak ringan. Fasilitas umum berupa 68 titik akses jalan terputus, satu jembatan rusak berat, dan 11 fasilitas umum rusak berat.
Menunggu pemerintah pusat
Kepala BPBD NTT Ambros Kodo mengatakan, total rumah rusak akibat Seroja sebanyak 53.432 unit, terdiri dari rusak berat 6.336 unit, rusak sedang 6.445 unit, dan rusak ringan 40.651 unit. Rumah yang rusak berat dibangun dengan dana APBN, yang rusak sedang dibangun masyarakat dengan anggaran dari APBN senilai Rp 25 juta per unit, dan rumah rusak ringan dibantu Rp 10 juta per unit.
Ia mengatakan, sampai hari ini pemerintah pusat masih melakukan verifikasi atas data yang diusulkan dari 18 kabupaten/kota dari total 22 kabupaten/kota. Kabupaten terakhir yang masih dalam proses verifikasi adalah Manggarai Barat.
”Mungkin sudah selesai diverikasi. Jika semua sudah selesai, segera dieksekusi. Bahkan, ada beberapa kabupten sedang dalam proses pembangunan kecuali Kabupaten Flores Timur sudah selesai dibangun,” kata Kodo.
Baca juga: Air Danau Seroja di Kupang Menyusut
Anggota Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Alor, Johanis Atama, berharap pemerintah merealisasikan janji untuk memperbaiki rumah yang rusak berat akibat badai Seroja, 3-5 April 2021. Permukiman warga yang harus direlokasi juga harus segera diwujudkan. Sejumlah kerusakan itu semestinya ditangani saat masa tanggap darurat.
Keresahan masyarakat NTT memasuki musim hujan ini juga disuarakan anggota DPRD NTT, Viktor Mado. Ironisnya, kondisi ini dinilai tidak menjadi bagian dari keprihatinan pemerintah daerah di NTT. Hal ini terlihat dari tidak adanya persiapan pemda ketika memasuki musim hujan, termasuk mitigasi bencana bagi warga dan menyiapkan warga menghadapi musim hujan.
”Tidak ada kegiatan pemda menggerakkan semua kekuatan yang ada menyiapkan musim hujan ini. Padahal, BMKG telah mengingatkan bakal terjadi La Nina dengan curah hujan tinggi, yang berdampak pada longsor, banjir, dan angin badai,” kata Mado.
Dampak badai Seroja belum tuntas ditangani. Jika sampai muncul lagi bencana baru pada musim hujan ini, beban penyintas semakin berlipat, di tengah kemiskinan yang masih mendera NTT.
Baca jug: Bersiaplah bila Seroja Datang Lagi