Ini Rekomendasi Penanganan Pascabanjir Bandang Kota Batu
Untuk mencegah terulangnya banjir bandang di Kota Batu, dibutuhkan komitmen dan keberanian sejumlah pihak untuk mencegah bencana kembali terjadi, termasuk dalam hal konservasi lingkungan.
Oleh
dahlia irawati/defri werdiono
·6 menit baca
MALANG, KOMPAS — Akademisi dan praktisi konservasi merekomendasikan langkah lanjutan pascabanjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Inti rekomendasi itu adalah komitmen dan keberanian para pihak untuk mencegah bencana besar kembali terjadi, termasuk dalam hal konservasi lingkungan.
Diskusi dalam forum Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) Cabang Jawa Timur, Rabu (10/11/2021), merumuskan sejumlah hal untuk ditindaklanjuti para pemangku kebijakan terkait. Beberapa pemangku kebijakan tersebut misalnya Pemerintah Kota Batu dan pengelola kawasan hutan seperti Perhutani.
Dalam forum diskusi daring tersebut dicermati sejumlah hal seperti penyebab longsoran pada jalur menuju Gunung Arjuno, komitmen Perhutani melindungi hutan di kawasannya, keberanian Pemkot Batu membuat aturan hukum, serta pentingnya pelibatan masyarakat desa dalam upaya pelestarian hutan.
Diskusi dibuka dengan data foto citra satelit sentinel, di mana hulu kawasan Pusung Lading terkonfirmasi sebagai area kebakaran hutan pada Oktober 2019. Pusung Lading adalah titik yang disebut menjadi muasal banjir bandang Kota Batu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), melalui foto udara, mendapati banyak longsoran di sana. Longsor tersebut menyebabkan bendung alami, yang kemudian jebol dan menyebabkan banjir bandang hebat di Kota Batu.
”Tanda asap putih pada foto menunjukkan lokasi kebakaran hutan. Dan Pusung Lading ada di sekitar kawasan yang terbakar tersebut. Di kawasan Pusung Lading terdapat bekas-bekas longsor yang terjadi secara bersama-sama, bersumber dari foto udara. Yang perlu dicermati, mengapa di kawasan tersebut sampai terjadi kompleks longsoran, atau longsoran yang terjadi secara hampir bersamaan,” kata dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Dr Ir Sudarto, MS.
Menurut Sudarto, dengan foto tersebut, dugaan awal keterkaitan antara kebakaran hutan tahun 2019 dan banjir bandang di Kota Batu 2021 semakin terbukti. Bahwa antara satu kejadian bencana dan bencana lain sangat dimungkinkan saling berhubungan.
Dosen Bidang Biologi Tanah dan Ekologi Perakaran Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Prof Dr Kurniatun Hairiyah, mengatakan, longsor hampir bersamaan itu terjadi diduga karena matinya akar pohon sehingga tidak bisa mengikat tanah.
”Indikasi awal adalah akar sebagai jaring pengaman atau jaring hidup sudah tidak berfungsi. Hal ini bisa disebabkan karena pohonnya mati, yang diikuti dengan matinya akar. Akibatnya, jaring hidup atau pencengkeram tanah sudah tidak berfungsi. Lalu, saat hujan deras, pohon mati itu terdorong masuk ke lembah-lembah, menumpuk dan menyumbat, bersama-sama dengan tanah di sekitarnya menjadi bendung alami,” kata Kurniatun.
Salah satu penyebab matinya pohon, hasil penyusuran lapangan oleh sejumlah pencinta lingkungan di sisi timur area Pusung Lading, terbukti bahwa banyak bekas tegakan yang terbakar.
”Itu sebabnya pentingnya investigasi potensi bencana di jalur yang sama ataupun berbeda di area hulu. Khususnya area sekitar kebakaran hutan sejak dua tahun silam. Potensi-potensi longsoran, pembendungan alami, harus bisa diketahui lokasi dan jumlahnya dengan tepat, lalu dicarikan solusi untuk tindak lanjut penanganannya,” kata Bayu Pramadya KS, pengurus MKTI Jatim Pokja Manajemen Sumber Daya Alam.
Hal penting lain, menurut dosen Pertanian Universitas Brawijaya bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (watershed management), Prof Ir Didik Suprayogo, adalah dibutuhkan keberanian dari pengelola kawasan hutan, dalam hal ini Perhutani, untuk menetapkan hutan di sana menjadi hutan lindung, dari saat ini berstatus hutan produksi.
”Upaya penilaian ulang mesti dilakukan kembali oleh Perhutani untuk mendapatkan petak-petak mana yang seharusnya menjadi hutan lindung. Kawasan ini tidak boleh untuk tujuan komersial, tidak ditanami tanaman produksi, dan tidak boleh diolah menjadi lahan sayur. Tapi, ini butuh keberanian dan komitmen,” kata Didik.
Menurut Didik, perlu penanaman ulang di lahan yang sudah telanjur dibuka. ”Lahan yang sudah terbuka harus segera ditanami kembali dengan tanaman kayu atau buah untuk mendapatkan tutupan lahan agar air tidak langsung jatuh ke tanah. Salah satu tanaman yang bisa dipilih karena bernilai ekonomis, tetapi juga bagus untuk konservasi adalah kesemek,” katanya.
Pohon kesemek dipilih karena cocok tumbuh di ketinggian lahan Kota Batu. ”Karena dalam memilih tanaman tidak boleh gagal, baik untuk tumbuh maupun hingga panen. Kesemek sangat cocok untuk ketinggian seperti Kota Batu. Kalau pohon yang akan ditanam asal memilih, dikhawatirkan masyarakat tidak semangat menanam dan merawat. Hal itu bisa menyebabkan program revegetasi gagal,” kata Didik.
Jika program revegetasi tidak bermanfaat, menurut dosen yang juga ketua MKTI Jatim itu, lahan yang telanjur terbuka akan kembali terbengkalai. Hal itu akan memicu penggarap lahan untuk sayur kembali masuk.
”Pilihan ini juga bisa berfungsi sebagai identitas Kota Batu. Dengan demikian, ke depan, Kota Batu selain dikenal sebagai ’Kota Apel’ juga bisa dikenal dengan ’Sentra Kesemek’,” kata Didik.
Selain itu, lanjut Didik, Kota Batu harus berani membuat Perda Konservasi Tanah dan Air. Perda ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air. ”Salah satu isinya adalah mengatur kewajiban perumahan untuk membuat sumur resapan di setiap rumah, karena tekstur tanah di Kota Batu masih memungkinkan untuk sumur resapan. Selain itu juga mengendalikan perumahan dan vila-vila baru yang bisa menghambat konservasi air dan tanah di sana,” katanya.
Pentingnya membuat sumur resapan adalah menjadi ”tabungan” sumber air bersih bagi warga Kota Batu. Sebab, jika air bersih di kota sudah mulai terbatas, orang akan mulai mengambil air dari mata-mata air di hutan. Padahal, air di hutan seharusnya untuk ekosistem hutan. Jika sumber air di hutan direbut oleh manusia untuk menopang kebutuhan hidupnya, ekosistem tidak akan seimbang.
Hal penting yang perlu dilakukan oleh Pemkot Batu, menurut para dosen dan praktisi tersebut, adalah mendata ulang kepemilikan lahan, khususnya untuk mengendalikan laju perpindahan hak kepemilikan lahan di Kota Batu. ”Transfer kepemilikan lahan ini apabila dibiarkan, secara sosial, tentu akan mengancam keberlangsungan warga asli Batu. Mereka akan terpinggirkan, misal secara ekonomi dan martabat mereka akan terdegradasi. Masyarakat asli akan menjadi ’buruh di tanahnya sendiri’,” kata Didik.
Dengan perasaan hanya ”menumpang hidup” di lahan orang lain, maka dinilai akan mengurangi rasa memiliki terhadap keberlanjutan lingkungan. Padahal, kunci keberhasilan konservasi alam adalah keterlibatan masyarakat.
”Oleh karena itu, mekanisme adat untuk kepentingan konservasi tanah dan air sebaiknya difungsikan kembali. Kepala desa, tokoh adat, dan sesepuh di Kota Batu diberi ruang. Mereka diajak berembuk, bermusyawarah, menentukan norma untuk mengatur pola konservasi di setiap kegiatan warga,” kata Bayu.
Sementara itu, Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko mengatakan tengah menyiapkan shelter di desa-desa, terutama yang berada di sepanjang aliran sungai. Pendirian shelter dilakukan sebagai salah satu upaya mitigasi guna menampung warga saat terjadi hujan ekstrem dan debit air sungai meningkat.
Selain itu, saat ini kegiatan kedaruratan masih terus dilakukan. Salah satunya pembersihan alur sungai dari material bekas banjir bandang, seperti yang terlihat di Jurang Susuh di perbatasan Kota Batu dan Kabupaten Malang.
Sebelumnya, Dewanti juga mengungkapkan, Pemkot Batu sudah mempersiapkan mitigasi bencana banjir, tetapi ternyata bencana terjadi di kawasan yang bukan langganan banjir. Ia mengakui banjir lumpur menandakan tutupan lahan yang kurang. Sejak beberapa tahun lalu, Pemkot Batu sudah membuat program satu nama satu pohon untuk mengatasi perbukitan yang gundul.