Bus dan Kereta Jembatani Surabaya-Malang
Bus dan kereta api menjadi dua moda transportasi utama yang menjembatani warga Kota Surabaya dan Malang dalam bermobilitas, selain kendaraan pribadi.

Seorang calon penumpang berjalan di area dalam Terminal Bus Arjosari di Kota Malang, Jawa Timur, yang masih sepi oleh penumpang, Selasa (2/11/2021). Pihak terminal menyatakan, jumlah penumpang naik 30-40 persen dari kondisi sewaktu pembatasan pemberlakukan kegiatan masyarakat, tetapi belum bisa menyamai kondisi normal sebelum pandemi.
Jarum jam baru menunjuk pukul 05.00, Selasa (2/11/2021), tetapi beberapa orang telah bersiap di emper pertokoan, di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mata mereka menerobos keremangan pagi—mencermati kendaraan yang melaju dari arah selatan—menanti bus yang akan membawa ke Surabaya.
PO Restu tiba dan berhenti sejenak. Tak lama kemudian disusul PO Tentrem di belakangnya. Penumpang pun bergegas naik, mencari kursi yang masih kosong. Sejurus kemudian, bus telah melaju membawa mereka pergi ke tempat tujuan.
Pemandangan seperti ini terlihat hampir setiap hari. Aktivitas masyarakat menunggu transportasi di tempat itu telah berlangsung sejak lama. Sebagian dari mereka adalah pekerja dan warga yang punya keperluan lain.
”Ada Elf (angkutan antarkota), tetapi lebih enak bus, lebih besar dan cepat. Kereta juga menunggu jadwal,” ujar Dani (37), salah satu calon penumpang yang bekerja di sektor swasta di Surabaya. Dengan tarif Rp 15.000, dia biasa menjadi penglaju setiap hari.

Suasana Terminal Arjosari Malang, Jawa Timur, tampak lengang, beberapa waktu lalu.
Bus telah lama menjadi salah satu moda transportasi masyarakat, khususnya pekerja dari Malang ke Surabaya dan kota lain di sekitarnya. Begitu pula sebaliknya, tidak sedikit warga Surabaya yang bekerja atau menuntut ilmu di Malang. Mereka memilih bus sebagai alat transportasi.
Bedanya, dua tahun terakhir, hanya bus ekonomi yang melintas dari Terminal Arjosari di Kota Malang, melalui Singosari, berlanjut ke Purwosari dan Pandaan di Kabupaten Pasuruan, lalu masuk ke Pintu Tol Kejapanan dan keluar di Waru, serta berakhir di Terminal Purabaya. Dari Malang sampai Terminal Purabaya sepanjang 88,5 kilometer biasa ditempuh 150 menit.
Sementara bus cepat atau patas tidak lagi melalui jalur Arjosari-Pandaan. Setelah keluar dari Arjosari, bus langsung masuk Tol Pandaan-Malang melalui Karanglo. Jalur Tol Pandaan-Malang sepanjang 38,4 km diresmikan penggunaanya oleh Presiden Joko Widodo pertengahan Mei 2019.
Baca juga : Embus Hidup Suroboyo Bus

Kendaraan dari arah Surabaya menuju Malang tengah melintas di Tol Pandaan-Malang seksi 3 saat diamati dari atas jembatan di wilayah Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, 2 Oktober 2020.
Keputusan melalui tol bisa dimaklumi karena jarak tempuh lebih singkat dibanding jalan raya, hanya sekitar 80 menit. Lewat tol (sepanjang 84,4 km) juga terhindar dari kemacetan tak terduga, yang kerap terjadi akibat truk mogok atau terguling, yang menjadikan waktu tempuh molor. Untuk bisa mengakses bus patas, penumpang cukup mengeluarkan kocek Rp 35.000.
”Bus masih menjadi salah satu moda transportasi warga Malang ke Surabaya, juga ke kota lain, baik di dalam maupun luar Jawa Timur,” ujar Kepala Satuan Pelaksana Terminal Arjosari Hadi Supeno.
Karena sebagian besar penumpang bus ke Surabaya adalah pekerja, menurut Hadi, kondisi penumpang paling ramai terjadi pada akhir dan awal pekan. Sementara pada hari biasa tetap ada penumpang, tetapi tidak sebanyak akhir dan awal pekan.
Baca juga : Menikmati Nyaman Trotoar Kota Surabaya

Sejumlah penumpang memilih naik bus di luar pintu Terminal Arjosari, Malang, Jawa Timur, Selasa (5/6/2018). Jelang H-7 Lebaran, peningkatan penumpang datang (mudik) sudah mulai terlihat di terminal ini meski masih sedikit.
Setiap hari ada ratusan penumpang yang turun dan naik bus di terminal terbesar di Kota Malang ini. Data sebelum pandemi, misalnya Januari 2020, jumlah penumpang datang dari Surabaya 26.033 orang dengan jumlah bus 858 rit. Adapun penumpang berangkat 37.824 dengan jumlah bus 2.164 rit.
Namun, memasuki pandemi, jumlah penumpang turun hingga 90 persen. Data Juni 2020, misalnya, jumlah penumpang bus dari Surabaya yang turun di Malang hanya 652 orang, dengan jumlah bus 558. Sementara penumpang berangkat 1.503 dengan jumlah bus 495 rit. Padahal, pada Mei 2020 terdapat Idul Fitri 1441 H yang biasanya mengalami lonjakan penumpang.
”Kini sudah mulai membaik, ada peningkatan 30-40 persen dari masa PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat,” kata Hadi. Pada Oktober 2021, jumlah penumpang dari Surabaya mencapai 5.615 dari 2.262 rit bus. Sementara penumpang berangkat 8.659 orang dari 2.261 rit bus.
Menurut Hadi, jumlah perusahaan otobus yang melayani Malang-Surabaya sejauh ini relatif tetap, itu-itu saja. Jumlah ini dinilai sudah mencukupi karena masyarakat Malang, sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur, juga memanfaatkan moda transportasi lain, kereta api, travel, dan kendaraan pribadi.

Beberapa bus antarkota dalam provinsi berhenti menunggu penumpang di area luar Terminal Bus Arjosari di Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (2/11/2021).
Sebagai moda transportasi masal, PT Kereta Api Daerah Operasional (KAI Daop) 8 Surabaya mengoperasikan Kereta Api (KA) Penataran dan KA Tumapel untuk melayani rute Surabaya-Malang. Penataran beroperasi sampai Blitar. Di Blitar, Penataran berubah nama menjadi KA Rapi Dhoho dengan perjalanan memutar melalui Tulungagung, Kediri, Kertosono, Jombang, Mojokerto, dan kembali ke Surabaya.
Dalam kondisi normal di luar pandemi, KA Penataran empat kali perjalanan (delapan kali pulang pergi). Kereta pertama berangkat dari Stasiun Surabaya Kota pukul 04.10, 07.15, 11.10, dan 17.35. Sementara dari Malang ke Surabaya pukul 06.23, 12.50, 17.32, dan 20.22. Adapun KA Tumapel hanya satu kali perjalanan (dua kali pulang pergi), dari Malang pukul 04.15, sedangkan dari Surabaya pukul 20.45.
Selain Penataran dan Tumapel, sebenarnya ada KA Arjuno Ekspress yang juga dioperasikan sejak Maret (kereta fakultatif, dioperasikan pada hari tertentu dan saat ini masih berhenti operasi akibat pandemi). Di luar ini, masih ada kereta jarak jauh dari Malang tujuan kota lain yang melalui Surabaya.
Baca juga : Jalan Berliku Reaktivasi Trem Surabaya Malang

Suasana gedung baru di Stasiun Malang, Jawa Timur, masih terlihat lenggang oleh penumpang, Selasa (2/11/2021). Gedung yang memiliki kapasitas 2.500 orang penumpang ini dioperasikan secara resmi, Mei lalu.
Manajer Humas PT KAI Daop 8 Surabaya Luqman Arif, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, ratusan warga Malang dan Surabaya memanfaatkan kereta untuk mobilitas ke kedua wilayah. Selain aman, naik kereta juga nyaman. Apalagi, mereka hanya mengeluarkan tiket Rp 12.000 untuk Penataran dan Rp 10.000 untuk Tumapel.
Data September, misalnya, ada 3.578 penumpang atau 447 orang berangkat dari Malang ke Surabaya per hari (KA lokal beroperasi sejak 22 September setelah berhenti operasional akibat PPKM). Adapun Oktober ada 22.048 orang dari Stasiun Malang menuju Surabaya atau rata-rata 711 orang per hari.
”Untuk penumpang dari Surabaya ke Malang jumlahnya hampir sama karena mayoritas penumpang adalah penglaju. Tumapel dan Penataran memiliki panjang rangkaian enam kereta (gerbong) kelas ekonomi dengan kapasitas angkut 106 tempat duduk. Karena masih pandemi, okupansinya 70 persen dari total kapasitas,” katanya.

Suasana Stasiun Malang, Jawa Timur, terlihat dari atas viaduct di Jalan Patimura, Klojen, Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (2/11/2021).
Untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, PT KAI pun membangun gedung baru di sisi timur Stasiun Malang yang pengoperasiannya diresmikan 10 Mei lalu. Namun, gedung baru berkapasitas 2.500 penumpang ini masih untuk melayani perjalanan kereta jarak jauh.
Meski begitu, dampaknya bisa memberikan kenyamanan bagi semua penumpang, termasuk penumpang yang ke Surabaya. Sebab, sebelum ada gedung baru yang menghadap Jalan Panglima Sudirman, semua penumpang terkonsentrasi di gedung lama (sisi barat) yang menghadap ke Jalan Trunojoyo.
Hasil penelusuran Kompas, Surabaya-Malang menjadi trayek masa-masa awal (pionir) angkutan bus di Jawa Timur sebelum muncul trayek ke kota-kota lain. Hal ini terjadi karena Surabaya-Malang menjadi jalur perekonomian yang aktif kala itu (ayonaikbis.com). Tahun 1970-an sudah ada PO di Malang yang eksis sampai hari ini.
Baca juga : Geliat Surabaya Dukung UMKM dengan Puspita dan E Peken

Stasiun Malang Kotalama
Sementara kereta sebagai moda transportasi dari Surabaya ke Malang sudah ada sejak zaman kolonial. Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), M Dwi Cahyono, mengatakan, awalnya Belanda hanya membuka jalur kereta api Surabaya-Pasuruan melalui Bangil. Dalam perkembangannya, Belanda memperluas jalur hingga ke Malang (1860-an) dengan percabangan di Bangil. Di Malang ada dua stasiun, yakni Stasiun Malang Kota Batu dan Malang Kota Lama.
Malang Kota Baru diperuntukkan bagi stasiun penumpang karena saat itu posisi stasiun berdekatan dengan permukiman orang Belanda di kawasan Rampal dan sekitarnya. Baru setelah Thomas Karsten merancang perencanaan kota (Bouwplan II), Stasiun Kota Baru berubah menghadap ke barat (Jalan Trunojoyo).
Sementara Kota Lama diperuntukkan bagi stasiun barang. ”Karena itu, di sekitarnya terdapat banyak pergudangan. Ini dilakukan sebelum kawasan Blimbing menjadi pergudangan. Jadi, tahap awal perkembangan kereta lebih di tengah Kota Malang,” ujarnya.

Stasiun Malang pada 1879. Foto diambil dari websita KAI
Dalam perjalanannya berkembang perkebunan di Malang Raya. Perkebunan muncul di wilayah Kabupaten Malang, sedangkan kawasan Kota Malang hanya berfungsi sebagai pengepul dan menjual produk pertanian. Dari sini kemudian muncul sinergi antara kota dan kabupaten dalam hal perekonomian.
Melihat perkembangan yang terjadi, Belanda akhirnya berpikir untuk membuat jaringan transportasi yang bisa mengangkut barang dari sentra produksi di kabupaten ke Kota Malang. Dari situlah, menurut Dwi Cahyono, muncul jalur lori dan trem ke sejumlah jalur di Malang Raya.
Baca juga : Menutup Kisah Kejayaan Trem Uap Malang