Perhutani Segera Identifikasi Hutan di Arjuno yang Digarap Warga
Perhutani akan mengidentifikasi lahan di lereng Gunung Arjuno, Kota Batu, yang digarap oleh masyarakat untuk pertanian. Luas lahan yang akan menjadi fokus identifikasi sekitar 600 hektar.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
BATU, KOMPAS — Perum Kehutanan Negara Indonesia atau Perhutani akan mengidentifikasi berapa banyak lahan yang sudah digarap oleh masyarakat untuk pertanian di lereng Gunung Arjuno, Kota Batu, Jawa Timur. Luas lahan yang akan menjadi fokus identifikasi sekitar 600 hektar.
Diperkirakan di lokasi ini pula titik longsor kecil-kecil di sisi tebing yang tidak dilindungi oleh vegetasi yang terlalu rapat—hasil pemantauan udara oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana—berada. Longsor kecil-kecil itu kemudian membentuk bendung alam di alur sungai yang ada di hulu.
Material longsoran ini menutup aliran air sehingga saat terjadi hujan deras, bendungan tidak mampu menahan dan jebol. Akibatnya, material turun ke bawah sebagai air bah yang menerjang beberapa titik dan menewaskan tujuh orang di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Kamis (4/11/2021).
Administratur Kesatuan Pengelolaan Hutan Malang Perum Perhutani Candra Musi mengatakan, luas total lahan Perhutani di Kota Batu sekitar 6.000 hektar (ha). Dari luas tersebut, sebanyak 2.900 ha merupakan hutan lindung dan 3.000-an ha hutan produksi.
Adapun lahan yang akan diidentifikasi seluas 600 ha, tetapi Chandra tidak merinci lahan tersebut ada di kawasan lindung atau produksi. Dari luasan yang diidentifikasi, sekitar 100 ha sudah digarap, tetapi ada tegakan, bukan lahan kosong.
Menurut Chandra, dahulunya wilayah seluas 600 ha itu merupakan hutan. ”Dari 600 ha itu, saya sedang berproses untuk identifikasi berapa yang ada penggarapan lahan pertaniannya. Angkanya (pastinya) belum bisa saya sampaikan sekarang,” ujarnya.
Chandra mengatakan hal itu seusai mengikuti rapat koordinasi penanganan dan pengurangan risiko bencana di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas di Pendopo Kantor Kecamatan Bumiaji, Selasa (9/11/2021).
Dari 600 ha itu, saya sedang berproses untuk identifikasi berapa yang ada penggarapan lahan pertaniannya.
Hadir pada kesempatan ini, antara lain, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim dan BPBD se-Malang Raya, Komisi E DPRD Jatim, serta kepala desa se-Kota Batu, tokoh warga, pegiat lingkungan, dan unsur lain.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Hikmah Bafaqih menyebutkan, saat ini tidak hanya respons cepat tanggap darurat yang perlu dilakukan, tetapi juga perbaikan lingkungan di hulu. Terlepas bahwa istilahnya alih fungsi lahan atau penggarapan, jika dinilai membahayakan ekosistem, maka harus ditangani.
Adapun skema penanganan diserahkan ke Perhutani. Dalam hal ini fungsi kontrol dan edukasi ke masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Ketika warga memanfaatkan lahan hutan, ada tanggung jawab untuk terus menjaga hutan.
”Ini yang terabaikan adalah proses edukasinya, plus alih fungsi yang juga berlangsung,” katanya. Menurut Bafaqih, tidak hanya kawasan hulu dan DAS Brantas yang hendaknya menjadi perhatian, tetapi juga beberapa dusun—di Kota Batu yang terbiasa tergenang banjir setiap tahun—juga perlu ditelusuri ada penyebabnya.
Meski pemanfaatan hutan oleh masyarakat diperbolehkan, lanjutnya, tetap harus ada tegakan. ”Problemnya, yang ditanam tanaman semusim yang tidak memungkinkan tegakan ada di situ. Kalau menanam wortel, kentang, terhalang kanopi, masyarakat (biasanya) keberatan. Ini perlu terus disosialisasikan,” ucap Bafaqih.
Chandra mengakui, di Batu ada penggarapan lahan untuk sayuran. Perhutani dan pihak terkait memiliki pekerjaan rumah untuk mengajak warga agar mau beralih komoditas semusim menjadi tanaman tahunan guna mengurangi sedimentasi.
Alih komoditas ini menjadi program penanganan jangka panjang. ”Sebenarnya bisa saja kami langsung menanam banyak pohon. Namun, ada aspek yang harus diperhatikan, baik aspek sosial, ekologi, maupun ekonomi. Gabungan tiga aspek ini agak susah. Untuk menggabungkan hal ini, saya mesti duduk bersama kepala desa dan semua pemangku kepentingan,” tuturnya.
Sementara itu, menanggapi potensi La Nina yang masih akan berlangsung beberapa bulan ke depan, Kepala Pelaksana BPBD Jatim Budi Santosa mengatakan, selain apel siaga bencana, pemerintah daerah juga perlu menyiagakan posko khusus untuk menghadapi La Nina.
Di Batu, untuk jangka panjang, perlu ada gerakan penanaman pohon, normalisasi sungai, dan koordinasi lintas sektor (pentahelix) untuk menghadapi bencana. Menurut Budi langkah-langkah strategis menghadapi bencana, termasuk La Nina, tidak hanya dilakukan Batu, tetapi juga daerah lain di Jatim.
”Besok sore kami rapat bersama pentahelix seluruh Jatim, mulai dari unsur dunia usaha, masyarakat, perguruan tinggi, komunitas dan lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah, media, dan lainnya,” ucapnya.