Setiap musim hujan, banjir dan longsor nyaris tak pernah absen menerjang Cekungan Bandung, Jawa Barat. Sejumlah petani di Bandung utara menanam pohon demi memulihkan daya dukung lingkungan kawasan penyangga air itu.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Banjir dan longsor kerap menerjang Cekungan Bandung, Jawa Barat, saat musim hujan seperti saat ini. Kawasan Bandung utara yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga air di hulu telah berubah menjadi ”hutan beton” dengan menjamurnya bangunan komersial. Bukit-bukit ”dikupas” menjadi kebun sayur minim pohon tegakan. Di antara muram kerusakan alam itu, sejumlah petani sayuran memantik harapan menanam pohon meredam bencana lebih besar di masa depan.
Kebun sayur di punggung perbukitan berwarna coklat terhampar di Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (8/11/2021). Sejumlah petani berjalan tanpa alas kaki mendaki bukit dengan kemiringan sekitar 45 derajat.
Di bawah gulungan awan gelap, Usep (44) mondar-mandir sambil memegang tongkat kayu di tangan kanannya. Tongkat itu dihunjamkan ke tanah untuk membuat lubang tanam bawang di kebunnya. Kebun seluas 300 tumbak atau sekitar 4.200 meter persegi itu tidak hanya ditanami bawang. Lebih dari 500 batang pohon jeruk lemon juga berdiri tegak di sana.
Usep menanam pohon lemon setahun lalu sebagai tegakan di kebunnya. ”Pohon sangat bagus untuk menahan air sehingga tidak gampang longsor. Selain itu, bisa mengurangi air yang mengalir ke bawah (kawasan hilir),” ujarnya.
Petani Cimenyan sering dikambinghitamkan saat banjir menerjang Cekungan Bandung. Sebab, alih fungsi lahan yang tidak terkendali membuat bukit-bukit menjadi gundul sehingga tidak optimal menyerap air.
Tak ingin tuduhan itu terus melekat, Usep mengubah pola tanam di kebunnya. Sejak tahun lalu, kebun sayur itu dikombinasikan dengan pohon lemon. Ia merogoh kocek sekitar Rp 3,5 juta untuk membeli bibitnya.
Pohon ditanam di pinggir kebun untuk menahan tanah tidak longsor. Selain itu, juga ditempatkan di jalur air agar dapat mengikat tanah sehingga mengurangi erosi.
Usep memilih menanam pohon buah agar memberikan manfaat ekonomi. Dengan begitu, modal awal untuk membeli bibit dan perawatannya bisa kembali dari hasil panen.
”Keinginan untuk menjaga lingkungan harus sejalan dengan kondisi ekonomi. Bisa saja menanam pohon kayu yang besar. Tetapi, kalau tidak menghasilkan, petani bisa tidak serius merawatnya,” ujarnya.
Agustus 2021, ia meraup Rp 1,2 juta dari hasil panen perdana dengan harga jual di pengepul Rp 6.000 per kilogram. Padahal, belum semua pohon berbuah karena masih berusia di bawah satu tahun.
Saat ini, hampir semua pohon lemon di kebunnya telah berbuah. Masa panen keduanya diprediksi pada awal tahun depan. ”Kalau pembuahannya merata, bisa panen seminggu sekali. Asal harga jualnya stabil, menanam lemon sangat menjanjikan,” katanya.
KBU seluas 41.315 hektar tersebar di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat yang dihuni sekitar 7,5 juta penduduk. Kerentanan bencana hidrometeorologi di kawasan itu dipengaruhi rendahnya resapan air di hulu sehingga rawan memicu banjir dan longsor.
Perubahan pola tanam di Cimenyan telah digeluti petani setidaknya dalam dua tahun terakhir. Menanam pohon buah dianggap jalan tengah untuk memulihkan lingkungan sekaligus mendatangkan keuntungan.
Supandi (47), petani lainnya, telah melakukannya sejak akhir 2019. Ia menanam 150 pohon lemon di kebun seluas 1.400 meter persegi.
Banjir yang menerjang Jatihandap, Kota Bandung, Maret 2018, turut menggerakkan langkahnya menghijaukan Cimenyen. Saat itu, tingginya debit air hujan dari hulu menyebabkan Sungai Cipamokolan meluap ke jalan dan permukiman warga. Ratusan rumah dan kendaraan rusak.
Kebunnya hijau di antara lahan gundul di Cimenyan. Dalam sepekan, ia panen 1-2 kuintal. Hasil dari kebun berkisar Rp 900.000-Rp 2 juta per pekan.
”Jadi, kebun di Cimenyan tidak hanya cocok untuk menanam sayur, tetapi juga pohon buah-buahan. Semoga semakin banyak yang tergerak menanam pohon,” ujarnya.
Penanaman pohon di Cimenyan juga dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Lewat program rehabilitasi kawasan Bandung utara (KBU) yang diluncurkan Desember 2019, lebih dari 17.000 pohon ditanam di sana.
Saat itu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil meminta pemanfaatan lahan di KBU tidak merusak lingkungan. Sebab, lahan yang minim pohon keras berpotensi menjadi sumber longsor.
KBU seluas 41.315 hektar tersebar di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat yang dihuni sekitar 7,5 juta penduduk. Kerentanan bencana hidrometeorologis di kawasan itu dipengaruhi rendahnya resapan air di hulu sehingga rawan memicu banjir dan longsor.
Program merahabilitasi KBU meluas dengan target menanam 50 juta pohon hingga akhir 2021 di lahan kritis seluruh Jabar yang mencapai 911.000 hektar, termasuk di Daerah Aliran Sungai Citarum. Sebagian besar berada di luar kawasan hutan.
Hingga Agustus 2021, lebih dari 37 juta pohon telah ditanam. Beragam jenis pohon yang ditanam di antaranya sengon, suren, pinus, albasia, kopi, dan buah-buahan.
Penanaman pohon ini menjadi satu dari 12 strategi revitalisasi DAS Citarum yang dipaparkan Emil, sapaan Ridwan Kamil, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-26 Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11/2021).
Beberapa strategi lainnya adalah penanganan limbah industri, domestik, dan pabrik serta pengendalian pemanfaatan ruang. ”Hasilnya, penanganan lebih efektif. Setelah tiga tahun, Citarum bukan lagi sungai terkotor,” ujar Emil.
Terus dijaga
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Meiki W Paendong mengatakan, gerakan kesadaran memulihkan lingkungan oleh petani harus dijaga dan dibuat lebih masif. Menurut dia, petani di KBU tidak boleh terus disudutkan atas banjir yang melanda Cekungan Bandung.
”Lahan pertanian bisa diubah lebih ramah lingkungan dengan rekayasa vegetasi. Memperbanyak pohon tegakan di kebun. Kalau petani terus dijadikan biang kerok, mereka bisa melepas (menjual) lahan ke pengembang sehingga pengendaliannya menjadi lebih susah,” ujarnya.
Meiki lebih menyoroti menjamurnya bangunan komersial, seperti perumahan, hotel, apartemen, tempat wisata, dan kafe di KBU. Hal ini dinilai menjadi faktor utama terus menurunnya daya dukung lingkungan di kawasan itu.
”Dari 41.315 hektar luas KBU, sejumlah 10.427 hektar merupakan kawasan terbangun. Jumlah ini bisa lebih besar karena pembangunan fisik masih berjalan,” ucapnya.
Meiki menuturkan, Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian KBU belum cukup ampuh membendung alih fungsi lahan. Oleh karena itu, diperlukan moratorium izin pembangunan sebagai bentuk komitmen melindungi dan memulihkan kawasan penyangga Cekungan Bandung tersebut.
”Pohon-pohon yang ditanam juga membutuhkan waktu untuk tumbuh dan berproses memperbaiki daya dukung lingkungan. Jangan sampai penghijauan dilakukan, tetapi rekomendasi izin pembangunan tetap diobral,” ujarnya.
Selama puluhan tahun, KBU terus dieksploitasi demi memenuhi hasrat mendulang rupiah dari berbagai pihak yang memanfaatkannya. Saatnya memberikan jeda dengan tidak menambah beban pembangunan sekaligus memasifkan gerakan menanam dan memelihara pohon untuk membantunya pulih menjadi penyangga kawasan di sekitarnya.