Menyulap Abu Batubara PLTU Amurang Menjadi Rumah dan Jalan
Adalah kemubaziran besar jika ”fly ash” sisa pembakaran batubara di PLTU, yang nilai kemanfaatannya sangat tinggi di bidang konstruksi, hanya teronggok begitu saja. Namun, kita tak boleh terus bergantung pada batubara.

Hajikh Syeklik (55) berdiri di depan rumahnya yang disusun dari batako berbahan dasar abu terbang (”fly ash”) di Desa Tawaang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021). ”Fly ash” adalah sisa pembakaran batubara di PLTU Amurang.
Semringah dan bangga tebersit di wajah Hajikh Syeklik (55) ketika mengamati rumahnya sendiri dari luar. Tak pernah ia sangka gubuk berdinding tripleks dan berlantai tanah yang bertahun-tahun menaunginya dan enam anggota keluarganya bisa disulap menjadi rumah beton kokoh.
”Dulu rumah saya terasa kecil dan sempit. Bahan bangunan yang dipakai juga seadanya saja. Kurang enak rasanya buat ditinggali, tetapi sekarang sangat nyaman,” kata Hajikh, Rabu (27/10/2021), ketika ditemui di rumahnya yang bertembok putih dan beratap seng biru, di pesisir Desa Tawaang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Rumah keluarga Hajikh pun kini pantas disebut layak huni. Ruang tamunya yang belum terisi perabotan terasa lega dan sejuk, seolah terhalau dari sengitnya terik matahari yang meliputi desa. Lantainya yang dilapisi tegel keramik menjadi tempat bermain yang nyaman bagi cucu Hajikh yang masih bayi.
Uniknya, ratusan balok batako yang menyusun tembok rumah Hajikh terbuat dari 5,94 ton limbah abu terbang (fly ash) batubara dari Pemangkit Listrik Tenaga Uap Sulut 2 alias PLTU Amurang. Rumah itu pun dipastikan menjadi salah satu bangunan pertama di Sulut yang didirikan dengan material fly ash dari pembangkit tersebut.

Suasana ruang tamu rumah Hajikh Syeklik (55) yang terbentuk dari batako berbahan dasar abu terbang (”fly ash”) di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Renovasi rumah seluas 5x6 meter persegi dengan dua kamar tidur, sebuah kamar mandi, dan dapur itu adalah suatu anugerah baginya. Tanpa ia pernah meminta, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berinisiatif membedah rumah Hajikh sebagai bagian dari realisasi program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) jelang Hari Listrik Nasional ke-76.
”Agustus 2021 lalu, PLN datang kasih tawaran (renovasi). Saya langsung bilang iya. Pembangunannya cepat, tidak sampai satu bulan. Semua bahannya pun dari PLTU,” kata pria yang sehari-hari bertani jagung, ratusan meter dari PLTU Amurang.
Baca Juga: Abu Batubara PLTU Amurang Mulai Dijadikan Bahan Bangunan
Sekitar 41 kilometer dari PLTU Amurang, masyarakat Desa Wiau Lapi, Tareran, Minahasa Selatan, juga bersukacita karena kehadiran limbah abu batubara. Sebanyak 395,8 ton fly ash dipakai untuk membuat jalan umum serta jalan setapak sepanjang 750 meter dari desa menuju Air Terjun Kulung-Kulung, destinasi wisata yang sedang dirintis masyarakat desa.
Material yang mereka dapat secara gratis itu diolah menjadi cor mortar dengan komposisi pasir dan semen yang jauh lebih sedikit. Tak seperti beton pada umumnya yang berwarna abu-abu, cor mortar dari fly ash ini tampak coklat seperti tanah lempung, tetapi sangat keras.

Tingkat kepadatan dan daya tahan jalan itu terhadap tekanan telah diuji langsung oleh Wakil Bupati Minahasa Selatan Pendeta Petra Yani Rembang dengan mobil sport utility vehicle (SUV). Maka, dalam waktu dekat, warga tak perlu lagi melewati jalan setapak yang bergeronjal dan berlumpur kala hujan.
”Lokasi ini memang belum tersentuh pembangunan sama sekali, tetapi sejak PT PLN masuk bisa jadi bagus. Mudah-mudahan PLN masih mau membantu untuk menuntaskan sisa yang belum selesai tergarap,” kata Hukum Tua (Kepala Desa) Wiau Lapi, Christian Daniel Karamoy.
Christian mengatakan, masih ada jalan setapak menuju dua air terjun, Kulung-Kulung dan Tunan, sepanjang total 600 meter yang belum selesai dicor dengan bahan fly ash. Jalan akses dari wilayah permukiman desa juga masih kurang 400 meter. ”Kebutuhan kami seluruhnya kira-kira 1.600 meter,” ujarnya.
Adalah kemubaziran besar jika fly ash yang nilai kemanfaatannya sangat tinggi untuk bidang konstruksi hanya teronggok begitu saja.
Pejabat Lingkungan Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkit (UPDK) Minahasa PT PLN Edo Susanto, yang mengampu program CSR itu, memperkirakan 1.091,3 ton fly ash akan terpakai di Desa Wiau Lapi. Fly ash itu bukan hanya akan dipakai untuk membuat cor mortar, tetapi juga urukan di bawah badan jalan dan lapangan parkir.
Selain untuk rumah Hajikh dan jalan di Desa Wiau Lapi, fly ash dari PLTU Amurang juga digunakan untuk membangun gedung serba guna Komando Distrik Militer 1302 Minahasa serta Gereja Gerakan Pentakosta Bukit Zaitun di Tomohon. Total fly ash yang tersalurkan ke empat proyek itu diperkirakan sekitar 1.200 ton dalam bentuk batako, batu bata, semen mortar, dan cor beton.
Berlimpah
Namun, jumlah itu masih jauh dari kata banyak. Setiap hari PLTU Amurang menyisakan 50-70 metrik ton fly ash dari pembakaran 1.900 metrik ton batubara sebagai sumber energi pembangkit berkapasitas 110 megawatt (MW). Kini, tak kurang dari 50.000 metrik ton limbah abu tertimbun di lapangan penampungan, entah mau dipakai untuk apa.

Jalan cor mortar berbahan dasar abu terbang (”fly ash”) sisa pembakaran batubara PLTU Amurang dibuat di area wisata air terjun Desa Wiau Lapi, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021).
Menurut Edo, adalah kemubaziran besar jika fly ash yang nilai kemanfaatannya sangat tinggi untuk bidang konstruksi hanya teronggok begitu saja. Padahal, di negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan, limbah batubara berupa abu terbang dan abu padat (fly ash and bottom ash/FABA) telah digunakan secara luas sebagai material pendukung untuk konstruksi, stabilisasi jalan, hingga reklamasi lahan bekas tambang.
Penggunaan FABA di Indonesia memang belum lumrah. Sebab, baru pada Maret 2021 FABA hasil pembakaran PLTU dikeluarkan dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Baca Juga: Dunia Tinggalkan Batubara, Indonesia Pacu Hilirisasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun memastikan FABA sebagai limbah yang tidak berbahaya. Kajian pada 2020 menunjukkan, FABA dari PLTU yang disimpan dalam suhu 140 derajat fahrenheit (60 derajat celsius) tidak mudah menyala ataupun meledak. FABA dari PLTU juga tidak reaktif terhadap sianida ataupun sulfida.
Manajer UPDK Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu mengatakan, fly ash dari PLTU Amurang dipastikan tidak beracun. Kandungan karbon tak terbakar dan zat korosifnya rendah karena batubara dibakar dalam suhu 600 derajat celsius dengan sistem tungku circulating fluidized bed (CFB).

Abu terbang (”fly ash”) hasil pembakaran batubara menumpuk di lapangan abu PLTU Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021).
Di samping itu, uji prosedur pelindian karakteristik beracun (toxicity characteristic leaching procedure/TCLP) pada batako berbahan FABA membuktikan tak ada elemen berbahaya, seperti kromium, timbal, dan kadmium, yang melebihi ambang batas PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Penelitian lain, seperti uji toksikologi Lethal Dose-50 dan human health risk assessment (HHRA), juga memunculkan hasil serupa.
Karena itu, proyek-proyek fisik program CSR UPDK Minahasa PT PLN pun menjadi sarana sosialisasi pemanfaatan FABA. Kerja sama dengan pemerintah pun digencarkan sampai ke tingkat desa. ”Kalau pemerintah sudah menyadari kegunaan FABA, pasti pemanfaatannya lebih banyak di masa depan,” kata Andreas.
Baca Juga: Kajian Limbah Abu Batubara Libatkan Ahli
Fly ash dari PLTU Amurang terbukti sebagai material substitusi yang bagus untuk pasir, kerikil, dan semen. Andreas mencontohkan, penggunaan pasir sebanyak 75 persen dan semen sebanyak 25 persen kini bisa dihemat menjadi masing-masing 40 persen dan 15 persen saja berkat pemanfaatan fly ash. Kualitasnya pun tetap setara dengan batako mutu kelas II yang dapat menahan beban 100 kilogram per meter persegi.
“Karena itu, kami mengajak semua pemerintah daerah di Sulut untuk memanfaatkan fly ash dalam berbagai proyek infrastruktur fisik, seperti pembuatan jalan, rumah ibadah, dan objek wisata. Kalau pemerintah daerah yang meminta, tentu kami tidak akan tarik biaya. Mungkin hanya penggantian transportasi ke daerah yang jauh dari PLTU Amurang,” kata Andreas.

Pekerja menghaluskan kanstin yang terbuat dari abu terbang hasil pembakaran batubara PLTU Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021).
Christian Karamoy, Kepala Desa Wiau Lapi, menyambut ajakan ini dengan semangat. Ia yakin, jalan akses menuju air terjun akan meningkatkan kesejahteraan warga desa. Di luar itu, masih banyak proyek fisik lain yang bisa dikembangkan, mulai dari pembangunan kantor desa hingga pembuatan jalan di lorong-lorong permukiman.
Asisten 2 Pemkot Tomohon Enos Pontororing pun mengatakan, pihaknya akan menjajaki kerja sama dengan PT PLN untuk meningkatkan pemanfaatan fly ash. Adapun Wakil Bupati Minahasa Selatan Pendeta Petra Yani Rembang berharap fly ash nantinya tak hanya sebagai bahan bangunan, tetapi juga untuk menstabilkan pH tanah pertanian.
Tanggung jawab
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian dan Pencemaran Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menilai pemanfaatan abu batubara adalah salah satu cara paling efektif untuk menghindari pencemaran lingkungan. Cara itu lebih baik daripada penimbunan yang berisiko mencemari air tanah ataupun sungai.
Sudah saatnya kita berhenti memikirkan bagaimana cara mengelola timbulan limbah abu batubara.
Namun, pemanfaatan harus diiringi kehati-hatian jangka panjang. ”Misalnya, saat bangunan dari FABA itu harus dirobohkan, apakah kandungan abu di dalamnya sudah pasti tidak akan mencemari air tanah? Itu tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab penghasil abu (PT PLN),” kata Fajri.
Pemanfaatan FABA juga tidak bisa dijadikan alasan untuk terus memakai batubara sebagai sumber energi listrik. Sebaliknya, pemerintah dan PT PLN seharusnya terus berupaya memaksimalkan sumber energi baru terbarukan yang berkelanjutan.
Saat ini, bauran sumber energi baru terbarukan (EBT) dalam sistem kelistrikan di Sulut dan Gorontalo yang kemampuan dayanya mencapai 620 MW telah mencapai 33 persen. Panas bumi, surya, dan air termasuk di antaranya. Dalam skala nasional, bauran EBT baru mencapai 14,6 persen dari kapasitas terpasang 70.900 MW.

Suasana PLTU Amurang di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021).
Di PLTU Amurang, PT PLN juga telah berupaya memanfaatkan bahan lain sebagai substitusi batubara, seperti serbuk dan potongan kayu limbah industri rumah panggung serta eceng gondok. Namun, jumlahnya masih sangat kecil, yaitu 5 persen dari total batubara yang digunakan.
Pada 2015, Indonesia turut membulatkan tekad bersama negara-negara lain dalam Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu permukaan bumi maksimal 1,5 derajat celsius. Pemerintah telah menyatakan tidak akan membangun PLTU baru mulai 2030. Namun, saat ini Indonesia masih menjadi salah satu penyumbang 80 persen emisi global akibat batubara.
Karena itu, Fajri berharap pemanfaatan FABA tidak menjadi alasan untuk mempertahankan status quo dalam sektor kelistrikan kita. Sudah saatnya kita berhenti memikirkan bagaimana cara mengelola timbulan limbah abu batubara.
Baca Juga: PLTP Lahendong, Pembangkit Andalan yang Murah dan Bersih