Bersiaplah bila ”Seroja” Datang Lagi ke Pesisir Nusa Tenggara
Badai Seroja meninggalkan trauma mendalam bagi warga NTT. Banyak warga mulai melakukan gerakan mitigasi mandiri. Sayangnya, belum ada langkah nyata dari pemerintah untuk menghadapi kemungkinan bencana itu datang lagi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Badai Seroja yang menerjang Nusa Tenggara Timur pada April 2021 memberi pesan berharga bagi masyarakat di daerah itu. Kerugian material tak terkira dan korban nyawa tak mungkin tergantikan. Masyarakat diingatkan menjaga keselarasan alam agar ketika badai itu berlalu, tak ada lagi korban berjatuhan.
Medio Oktober 2021, puing-puing masih tersisa di Dusun Kewuko, Desa Oyangbarang, Pulau Adonara. Rumput-rumput liar tumbuh di atas pondasi belasan rumah yang tembok-tembok dan atapnya hanyut dibawa banjir bandang. Permukiman itu diterjang banjir yang meluap dari sebuah sungai sempit di sisi timur. Jaraknya dengan permukiman sekitar 100 meter.
Selain kerusakan bangunan, banjir bandang juga menghanyutkan tiga orang, dua di antaranya ditemukan meninggal, sedangkan satu lagi belum ditemukan hingga saat ini. Bencana itu meninggalkan bekas kedukaan dan ketakutan bagi masyarakat setempat. Pertama kali terjadi sejak kampung itu berdiri sekitar 40 tahun lalu.
”Masyarakat trauma sekali. Hujan lebat beberapa jam saja orang sudah ketakutan. Makanya, mereka tidak berani lagi bangun rumah di dekat lokasi bencana dan di pinggir-pinggir kali,” kata Kepala Desa Oyang Barang Laurensius Lega Ama.
Masyarakat juga menyadari, banjir bandang tidak lepas dari kerusakan hutan di hulu. Desa itu berada di pesisir pantai yang menjadi muara aliran material dari kawasan perbukitan. Selain lumpur, banjir juga menyeret batu dan batang kayu berukuran besar. Kini, mereka saling mengingatkan agar tidak boleh menebang kayu sembarangan.
Laurensius menegaskan itu lewat imbauan kepada warga. Kayu boleh diambil untuk membangun rumah, bukan dieksploitasi untuk dijual. Pengambilan kayu pun hanya pada lokasi tertentu. ”Nanti akan dibuat aturan secara tertulis. Para tokoh adat sudah menyetujui hal ini,” ujarnya.
Penanganan di hulu memang tidak mudah. Wilayah hulu tidak hanya milik Desa Oyang Barang, tetapi juga beberapa desa lainnya. Laurensius telah berkoordinasi dengan kepala desa tetangga agar ikut menjaga kondisi lingkungan di kawasan hulu. ”Semua punya komitmen untuk melindungi warga di pesisir,” ucapnya.
Sekitar 4 kilomoter arah timur, tepatnya di Desa Pandai, para petani sayur mulai beralih lokasi dari sebelumnya di perbukitan dan aliran sungai ke tempat yang lebih rata. Memang ada konsekuensi lanjutan, yakni semakin jauh dari sumber air. Mereka harus membeli lebih banyak lagi selang air untuk mengalirkan air ke kebun.
Mereka dengan kemauan sendiri memilih tempat lebih aman. Ada kekhawatiran suatu ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi seperti badai Seroja. Mereka masih trauma. Kala itu, seorang petani sayur dari Desa Pandai hanyut terbawa banjir, dan kemudian ditemukan tewas sekitar 4 kilometer dari kebunnya.
”Saat Seroja, puluhan petani sayur di desa ini rugi, tidak terhitung berapa banyaknya. Tidak ada juga bantuan untuk petani sayur setelah bencana itu. Banyak petani memilih lebih baik pindah lokasi. Yang paling penting adalah keselamatan nyawa yang tidak bisa diganti,” ucap Yonas Danibao (55), petani.
Pulau Adonara menjadi daerah dengan korban jiwa terbanyak, sekitar 80 orang meninggal dan hilang. Belum seminggu terjadi bencana, Presiden Joko Widodo mengunjungi Adonara. Kunjungan ke lokasi bencana itu sekaligus kunjungan pertama orang nomor satu di negeri ini ke Adonara.
Presiden Joko Widodo meminta agar warga yang terdampak dan berada dalam zona merah bencana, direlokasi. Kini, permukiman bagi warga terdampak sedang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sementara untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan dan jembatan belum tampak.
Kala itu, Presiden juga mengingatkan pentingnya mitagasi bencana, baik secara mandiri oleh masyarakat maupun terkoordinasi dalam regulasi di tingkat daerah. Sayangnya, hingga kini tidak tampak ada program mitigasi dari pemerintah setempat. Setelah badai Seroja berlalu, semua konsep tentang kebencanaan pun menguap begitu saja.
Sebelumnya, Bupati Flores Timur Anton G Hadjon mengingatkan masyarakat bahwa bencana semacam itu berpotensi terulang. Masyarakat diminta selalu waspada. Sayangnya, ucapan Anton tidak diikuti regulasi konkret, semisal mendorong penggunaan dana desa untuk kegiatan mitigasi bencana.
Pulau Timor
Sementara itu, di Kota Kupang, Pulau Timor, Badai Seroja yang membawa angin kencang meluluhlantakkan daerah itu. Ribuan rumah rusak parah. Ada rumah yang rangka atapnya diterbangkan angin dan jatuh ke tempat lain. Kerusakan bangunan menjadi perhatian utama masyarakat setempat.
Rumah dimaksud kebanyakan menggunakan rangka atap yang terbuat dari baja ringan. ”Masyarakat Kupang punya mata sudah terbuka. Mereka tidak mau lagi pakai baja ringan, biar pakai kayu saja tidak apa-apa. Memang kayu lebih mahal ketimbang baja ringan,” kata Stefanus Mano (36), tukang bangunan di Kupang.
Seroja juga mengungkap buruknya kualitas infrastruktur di NTT. Banyak bangunan pemerintah, seperti Kantor Gubernur NTT dan Kantor DPRD Provinsi NTT, yang atapnya bocor. Ada sejumlah jembatan yang baru dibangun juga hanyut, padahal aliran air tidak terlalu deras.
Sama seperti kabupaten/kota, Pemerintah Provinsi NTT juga belum memiliki langkah konkret untuk menghadapi kondisi tersebut jika terulang lagi pada masa yang akan datang. Badai Seroja memang mengagetkan banyak kepala daerah. Kendati peringatan dini sudah diumumkan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), hampir semua daerah tidak siap.
Wakil Gubernur NTT Josef N Soi beberapa kali mengingatkan masyarakat akan ancaman tersebut. Ia meminta semua kepala daerah di tingkat kabupaten/kota agar peka terhadap peringatan BMKG. Koordinasi kepala daerah dengan jajaran di bawahnya harus intensif, terutama pada saat musim hujan.
Dalam catatan Kompas, badai Seroja menyebabkan 181 orang meninggal dan 49.512 jiwa lainnya terdampak. Selain itu, 47 orang masih dinyatakan hilang. Sebanyak 250 orang luka-luka. Rumah rusak berat mencapai 17.124 unit, rusak sedang 13.652 unit, dan rusak ringan 35.733 unit.
Direktur Circle of Imagine Society Timor Haris Oematan berpendapat, sudah saatnya pemerintah memperkuat mitigasi berbasis masyarakat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) harus diisi orang-orang yang kompeten. Selama ini terkesan bahwa organisasi perangkat daerah itu jadi tempat ”buangan”.
Kini, saatnya semua elemen di NTT memulai upaya mitigasi bencana secara bersama. Tak ada kata terlambat untuk memulai sebelum bencana seperti badai Seroja itu datang lagi.