Pencarian Korban Perahu Terbalik di Bengawan Solo Kerahkan 17 Perahu
Pencarian korban kecelakaan perahu tambangan dari Desa Ngadirejo, Rengel, Tuban menuju Desa Semambung, Kanor, Bojonegoro, dilanjutkan. Operasi dipimpin Basarnas Surabaya dengan melibatkan 17 perahu.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pencarian korban kecelakaan perahu tambangan yang jadi angkutan penyeberangan sungai di Bengawan Solo, Jawa Timur, kembali dilanjutkan, Kamis (4/11/2021). Pencarian sedikitnya tujuh korban tersebut melibatkan lima tim dengan 17 perahu.
Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Jatim Budi Santoso mengatakan, operasi pencarian dan penyelamatan hari kedua ini dipimpin oleh Basarnas Jatim. Tim pencari akan dibagi menjadi lima kelompok atau regu, masing-masing terdiri dari tiga unit perahu. Total 17 perahu yang dilibatkan terdiri dari 15 perahu karet dan 2 perahu besi atau perahu penyelamat (safety).
”BPBD Provinsi Jatim mengerahkan tujuh personel beserta dua unit perahu karet yang dilengkapi dengan empat unit mesin motor tempel. Selain itu, tiga alat selam dan sebuah unit drone air atau pesawat tanpa awak,” ujar Budi Santoso.
Budi mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun BPBD Jatim, peristiwa kecelakaan perahu tambangan di Sungai Bengawan Solo, Rabu (3/11/2021) pagi, melibatkan sedikitnya 17 penumpang perahu. Dari jumlah tersebut, 10 orang berhasil diselamatkan. Kecelakaan terjadi pada perahu yang menyeberangkan warga dari Desa Ngadirejo, Rengel, Tuban menuju Desa Semambung, Kanor, Bojonegoro.
Sementara itu, sebanyak tujuh penumpang lainnya dinyatakan hilang atau belum ditemukan. Mereka adalah nakhoda perahu bernama Kasian (65), Erma Fitriani (27), dan Masdian Purnama (27). Ketiganya warga Kecamatan Kanor, Bojonegoro. Selain itu, Sutri (60) dan Basori (37), warga Rengel, Tuban.
Adapun dua korban lainnya ialah Dedi Setionugroho (30), warga Desa Ngandong, Kecamatan Grabagan dan Toro (41), warga Kecamatan Saleh, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Data korban tersebut kemungkinan bisa bertambah karena berdasarkan informasi dari pengelola perahu, terdapat penumpang yang tidak dikenal oleh warga.
Tanpa Izin
Perahu tambangan yang mengalami kecelakaan lalu lintas di Sungai Bengawan Solo merupakan angkutan penyebarangan yang menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat dari Tuban menuju Bojonegoro dan sebaliknya. Perahu itu diandalkan sebagai sarana penghubung karena belum ada jembatan penyeberangan yang melintasi sungai tersebut.
Meski diandalkan sebagai angkutan penyeberangan, keberadaan perahu tambangan ini tidak pernah diakui oleh pemerintah atau dengan kata lain dinyatakan ilegal. Dinas Perhubungan Jatim menyatakan tidak pernah mengeluarkan izin trayek atau operasional perahu tambangan sebagai angkutan penyeberangan sungai.
Kepala Dishub Jatim Nyono mengatakan, untuk mengantongi izin trayek atau operasional, ada syarat standar keselamatan yang harus dipenuhi terkait sarana dan prasarana. Dermaga atau tempat berlabuh perahu tambangan harus memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan menyangkut angkutan perairan.
Selain itu, perahu juga harus layak jalan dan nakhoda disyaratkan tersertifikasi. ”Kelaikan operasional perahu tambangan sebagai angkutan penyeberangan sungai ditentukan oleh Kementerian Perhubungan,” kata Nyono.
Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jatim Komisaris Besar Polisi Gatot Refli Handoko mengatakan, Polda Jatim telah mengerahkan tim gabungan ke lokasi kecelakaan. Hingga saat ini, mereka masih bekerja membantu pencarian korban dan menyelidiki penyebab kecelakaan.
”Pada saat kejadian, arus Sungai Bengawan Solo cukup deras. Kondisi arus sungai yang cukup deras yang (diduga) mengakibatkan perahu terbalik,” ujar Gatot di Surabaya.
Berdasarkan catatan Kompas, kecelakaan perahu tambangan pernah terjadi di Desa Bogempinggir, pada 13 April 2017. Insiden itu mengakibatkan tujuh penumpang meninggal dunia karena terseret arus sungai dan tenggelam. Seluruh penumpang tak memakai alat keselamatan seperti pelampung.