Meskipun berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, pandemi Covid-19 tidak menghentikan kreativitas seniman. Masa pandemi memberikan waktu bagi seniman untuk menggali ide baru dan berkreasi.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Pembatasan sosial dan aktivitas dalam upaya menanggulangi penyebaran Covid-19 diakui berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi seniman di Bali, tetapi tidak menghentikan kreativitas seniman. Masa pandemi Covid-19 memberikan waktu luang bagi seniman untuk menggali ide baru dan menciptakan karya.
Perihal seniman berkreasi di masa pandemi Covid-19 diungkapkan komposer yang juga pendiri Gamelan Salukat, I Dewa Ketut Alit, bersama sejawatnya, komposer yang juga pendiri Komunitas Palawara, I Wayan Ary Wijaya. Mereka mengungkapkannya dalam acara timbang rasa (sarasehan) tentang kreasi musik Bali kini dalam rangkaian Festival Seni Bali Jani III, Rabu (3/11/2021).
Kedua musisi dan komposer itu, baik Dewa Alit maupun Ary Wijaya, memberikan pandangan mereka mengenai geliat seni Bali, khususnya gamelan Bali, dalam menghadapi perubahan zaman dan kemajuan teknologi.
Dewa Alit mengatakan, dalam kondisi serba dibatasi karena pandemi Covid-19, dirinya terinspirasi untuk berkreasi. Dewa Alit membuat garapan komposisi gamelan baru dan juga solo piano. Tetap berkreasi, menurut Dewa Alit, menjadi ciri seniman.
Senada Dewa Alit, musisi dan komposer Ary Wijaya mengungkapkan, pandemi Covid-19 berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, termasuk para seniman dan komunitas seniman di Bali. Akan tetapi, menurut Ary Wijaya, seniman sebagai kreator dituntut tetap berkreasi dan mencipta meski dalam situasi sulit.
”Yang sering terkendala adalah mengumpulkan teman-teman di komunitas,” kata Ary Wijaya.
Ary Wijaya menyatakan, dirinya lebih sering bekerja sendiri di studio, terlebih karena Ary Wijaya lebih banyak mengeksplorasi teknologi midi digital dan menggunakan perangkat lunak (software) di komputer dalam berkreasi.
Kreasi
Kedua musisi dan komposer, baik Dewa Alit maupun Ary Wijaya, dikenal sebagai seniman yang mengeksplorasi kebaruan dari gamelan Bali. Dewa Alit bersama kelompok Gamelan Salukat menggarap komposisi baru yang tidak lagi bergerak di ruang tradisi, tetapi mengekspresikan ide musik dalam konteks global.
Salukat berasal dari kata salu, yang bermakna ’rumah’ dan kat yang bermakna ’melebur atau lahir kembali’. Dengan demikian, Salukat dimaknai sebagai rumah tempat melebur gagasan dan ide kreatif untuk melahirkan karya baru yang inovatif.
Dewa Alit mengungkapkan, Gamelan Salukat sudah mengalami empat kali perubahan sistem pelarasan sejak konsep Gamelan Salukat dibuat awal 2005. Perubahan itu, disebutkan Dewa Alit, karena sejalan dengan perkembangan komposisi dalam memenuhi perkembangan ide-ide musik komposer.
Dewa Alit dan Gamelan Salukat sudah dikenal komunitas musik internasional. Sebuah karya dari Gamelan Salukat yang berjudul ”Genetic” (2011) dirilis label musik internasional yang berbasis di Jerman, Black Truffle Records. Dewa Alit bersama Gamelan Salukat pernah pentas di Bentara Budaya Bali, 2018.
Adapun Ary Wijaya merupakan komposer yang bereksperimen dengan teknologi musik digital untuk menggarap gamelan Bali. Alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar ini menggunakan komputer dan midi digital sebagai sarana berkreasi, mulai dari merekam sampai memainkannya.
Ary Wijaya mengatakan, komputer dan software musik digital menjadi alat untuk mencatat ide atau gagasan komposisi sampai terbentuk nada yang menghasilkan lagu yang bersuara. Komposisi gamelan yang dihasilkan dari penggarapannya itu kemudian dilatihkan Ary Wijaya bersama seniman di Komunitas Palawara.