Ironi Banjir di ”Kabupaten Lestari”
Banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, diduga tidak hanya karena curah hujan tetapi juga potret degradasi lingkungan terutama daerah aliran sungai yang kritis. Perlu ada peninjauan ulang tata ruang Sintang.
Sudah lebih dari sepekan banjir menerjang Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Ini kali ketiga banjir melanda. Banjir di Kabupaten yang dikenal sebagai daerah lestari ini menjadi ironi karena ada unsur degradasi lingkungan sejak lama.
Kondisi banjir dijumpai tak jauh dari pusat kota Sintang, tepatnya di Kecamatan Sintang. Banjir melanda karena luapan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Ada sekitar 6.000 keluarga terdampak banjir di daerah itu. Ketinggian banjir berkisar 50 cm-2 meter.
Dari 29 kelurahan/desa di daerah itu, 26 kelurahan/desa di antaranya diterjang banjir sudah lebih dari sepekan. Salah satunya daerah yang masih dikepung banjir, Sabtu (30/10/2021), yaitu Kelurahan Kapuas Kiri Hilir.
Akses menuju daerah itu hanya bisa ditempuh dengan perahu atau perahu cepat. Dari kota Sintang menyeberangi Sungai Kapuas beberapa menit, kemudian masuk ke sudut-sudut kampung di tengah banjir.
Baca Juga: Hampir Sepekan Banjir di Kabupaten Sintang Belum Surut
Warga membangun panggung di dalam rumah untuk bertahan. Mautina (38), warga setempat, sudah delapan hari tidur di atas panggung bersama di dalam rumahnya bersama keluarga karena dikepung banjir. Banjir membuat ia tidak bisa bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan hidup menggunakan sisa uang yang ada.
”Itu pun harus berhemat. Kami tidak mengungsi karena kalau ketinggian air bertambah, khawatir barang-barang hanyut. Jadi kami menjaga rumah,” kata Mautina saat ditemui di rumahnya yang dikepung banjir 1 meter.
Tak jauh dari situ ada warga lainnya bernama Kuma (33). Ia tinggal bersama suami dan lima anaknya. Salah satu anaknya masih berusia satu minggu yang hari itu berbaring di ayunan. Ia sempat mengungsi ke salah satu lokasi saat air memasuki rumahnya. ”Khawatir karena anak-anak masih kecil,” ungkapnya.
Berbelanja juga susah. Ia berbelanja kebutuhan pokok menggunakan drum yang dimodifikasi sebagai kendaraan menerjang banjir. Ia mengayuh drum itu sekitar satu jam menuju toko terdekat.
Tahun ini banjir sudah beberapa kali menerjang Sintang. Intensitas banjir yang kian sering terjadi dirasakan oleh Juhen (34), warga Kelurahan Ladang yang bekerja sebagai buruh bangunan. Menurut Juhen, banjir semakin sering terjadi dan menghambat aktivitas.
Senada dengan itu, Paruji (55), warga lainnya, mengatakan, sudah tiga kali banjir tahun ini. Kali ini banjir lebih besar daripada tahun 2010. ”Perabotan rumah tangga kami sudah tiga kali pula dipindahkan ke lantai atas,” ungkap Paruji saat ditemui di atas perahunya.
Banjir juga menjadi tantangan tersendiri dalam vaksinasi Covid-19. Sebagaimana yang dikemukakan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang Harysinto Linoh, vaksinasi agak terkendala karena banjir, tetapi terus berjalan. Tenaga kesehatan menjangkau daerah banjir untuk vaksinasi menggunakan perahu.
Bantuan untuk warga terdampak banjir terus distribusikan. Pihak Kecamatan Sintang pada Sabtu (30/10) membagikan 1.985 makanan dari dua dapur umum untuk warga di 11 kelurahan/desa. Selain itu bantuan beras 24,16 ton untuk 4.832 keluarga di 26 kelurahan/desa.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sintang, banjir sepekan lalu menerjang 12 kecamatan. Hingga Minggu (31/10) menurut Pelaksana Tugas Sekretaris BPBD Sintang Sugianto, masih ada tiga kecamatan yang dilanda banjir.
Sintang sudah tiga kali dilanda banjir tahun ini. Banjir pertama di bulan Maret sebanyak 3.682 keluarga terdampak di dua kecamatan. Banjir kedua tanggal 2 Oktober sebanyak 8.693 keluarga terdampak di enam kecamatan dan banjir ketiga tanggal 19 Oktober yang hingga kini masih belum surut, sebanyak 21.874 keluarga terdampak di 12 kecamatan.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, hingga Minggu (31/10), selain Kabupaten Sintang, banjir setidaknya juga melanda Kabupaten Melawi, Sekadau dan Sanggau. Semua daerah itu dilintasi Sungai Kapuas.
Degradasi lingkungan
Banjir menjadi ironi di kabupaten Sintang yang terkenal sebagai ”Kabupaten Lestari”. Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kabupaten Sintang Mulyadi, menuturkan, Lestari disematkan pada Sintang karena memiliki alokasi kawasan hutan sebesar 59 persen dari luas wilayahnya atau sekitar 1,3 juta ha dari total luas Sintang 2 juta ha atau 21.635 km persegi.
Namun, kini banjir yang terjadi tidak semata karena curah hujan. Banjir diduga kuat juga akibat degradasi lingkungan khususnya kondisi daerah aliran sungai (DAS) yang kritis. Berdasarkan data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta ha luas DAS di Kalbar (termasuk Sintang), sekitar 1,01 juta ha di antaranya dalam kondisi kritis, di antaranya DAS Kapuas.
Yang perlu dilakukan adalah peninjauan ulang tata ruang. Perizinan yang ada hendaknya ditinjau ulang
Kerusakan DAS sudah terjadi sejak lama. Beberapa tahun lalu, Kompas, menyusuri Sungai Kapuas di Sintang menyaksikan penambangan emas hingga ke badan sungai di banyak titik. Pohon-pohon di tepian sungai banyak yang tumbang dan tepian sungai runtuh. Akhir pekan lalu suara-suara mesin penyedot emas juga masih terdengar di salah satu sungai.
Baca Juga: Kapuas, Eksotika yang Merana
Secara umum, di Kalbar, luas tutupan hutan juga terus berkurang. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar, pada 1990 luas tutupan hutan 7,5 juta ha. Pada 2012 luas tutupan hutan menjadi 6,9 juta ha dan pada tahun 2018 menjadi 5,5 juta ha. Penyebab deforestasi tersebut karena lemahnya tata kelola.
Aspek-aspek tersebut senada dengan penuturan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar Nikodemus Ale. Menurut Nikodemus, sebagian besar DAS kritis. Sebagian besar daerah penyangga DAS Kapuas mengalami deforestasi karena pembukaan tutupan hutan untuk aktivitas ekstraktif.
”Yang perlu dilakukan adalah peninjauan ulang tata ruang. Perizinan yang ada hendaknya ditinjau ulang,” ungkap Nikodemus.
Terkait perubahan tata guna lahan di Sintang juga dikemukakan Pengajar Hidrologi Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak Kiki Prio Utomo. Kiki, mengungkapkan, banjir di Sintang disebabkan perubahan tata guna lahan atau pemanfaatan lahan.
Pada dasarnya Sintang secara alamiah adalah daerah yang akan kebanjiran karena berada di tengah dari DAS Kapuas. Kemudian, ada beberapa anak sungai lainnya. “Artinya memang secara alamiah risiko banjirnya ada,” kata Kiki.
Namun, jika dilihat dari konteks sekarang, data menunjukkan tahun 2021 saja banjir besar sudah terjadi beberapa kali. Antara tahun 2017-2021, setiap tahun ada banjir. Hanya pada tahun 2019 tidak dilaporkan ada banjir. Meskipun di tahun 2018 tahun yang relatif kering, tetapi masih terjadi banjir.
Dari data tersebut bisa disimpulkan hujan yang terjadi di Sintang tidak lagi meresap ke tanah serta tidak dengan bebas mengalir melalui sungai ke laut, melainkan tertahan di suatu tempat dan menjadi banjir. Jika demikian, patut diduga penyebabnya karena perubahan pemanfaatan ruang.