Hujan Lebat Berpadu dengan Pasang Air Laut Rawan Picu Banjir di Kepri
Puncak musim hujan di Kepulauan Riau datang bersamaan dengan masa pasang air laut. Hal itu berpotensi memicu bencana hidrometeorologi di sejumlah titik.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS — Puncak musim hujan di Kepulauan Riau (Kepri) yang terjadi pada November hingga Desember rawan menyebabkan banjir di sejumlah titik. Kota Tanjung Pinang menjadi titik paling rawan karena di saat bersamaan juga harus menghadapi ancaman banjir rob akibat naiknya permukaan air laut pada musim angin utara.
Koordinator Bidang Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Batam Suratman, Rabu (3/11/2020), mengatakan, musim angin kencang atau yang dikenal warga Kepri sebagai musim angin utara akan mulai terjadi pada bulan ini hingga Januari. Ombak setinggi 2 meter mulai terjadi di Kepulauan Anambas dan Natuna. Warga diminta waspada dan mengurangi aktivitas di laut.
Menurut Suratman, musim angin utara juga menandai puncak musim hujan di Kepri. Hujan lebat ditambah pasang air laut karena angin kencang berpotensi memicu banjir dan tanah longsor di Kepri.
Daerah di Kepri yang paling rawan terdampak bencana hidrometeorologi adalah Tanjung Pinang. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menunjukkan, pada 2 Januari 2021 terjadi banjir serta longsor di 37 titik. Diperkirakan sedikitnya terdapat 375 keluarga yang terdampak bencana tersebut.
Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Kepri Hardin mengatakan, banjir sudah mulai terjadi di sejumlah titik di Kota Tanjung Pinang sejak akhir Oktober lalu. Hujan lebat dan angin kencang juga mengakibatkan pohon roboh dan kerusakan bangunan ringan di sejumlah titik.
”Sekarang, banjir belum begitu parah karena hanya disebabkan oleh hujan. Awal tahun 2021, banjir di Tanjung Pinang terbilang parah karena hujan lebat terjadi bersamaan dengan rob,” kata Hardin.
Awal tahun 2021, banjir di Tanjung Pinang terbilang parah karena hujan lebat terjadi bersamaan dengan rob.
Analisis oleh tim harian Kompas pada Agustus 2021 mengidentifikasi Tanjung Pinang sebagai salah satu kota yang lebih dari 2 persen wilayahnya akan terendam air laut pada 2050. Bahkan, Tanjung Pinang merupakan salah satu dari tujuh kota dengan kerentanan tinggi.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Kota Tanjung Pinang Surjadi mengatakan, pihaknya telah berupaya melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap potensi terjadinya bencana banjir. Adaptasi dilakukan dengan menjaga sempadan sungai serta menjaga tutupan hutan mangrove di pesisir.
”Masyarakat Tanjung Pinang punya kearifan lokal yang percaya bahwa mangrove dapat berfungsi membentengi permukiman dari air pasang ataupun ombak tinggi yang memicu abrasi,” ucap Surjadi saat dihubungi pada 17 Agustus lalu.
Adapun program mitigasi dilakukan Pemerintah Kota Tanjung Pinang dengan menggandeng Balai Wilayah Sungai IV Sumatera. Saat ini, mereka tengah membangun polder dan pintu air di kawasan permukiman rawan banjir. Selain itu, mereka juga membangun talud di pesisir untuk mencegah abrasi.