Sensasi Mencicipi Kuliner Langka ala Raja Mataram Kuno
Indonesian Gastronomy Community bersama sejumlah pakar merekonstruksi makanan raja era Kerajaan Mataram Kuno. Berdasarkan relief candi dan prasasti, makanan para raja abad ke-8 hingga ke-10 Masehi itu diracik ulang.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
Jejak kuliner berabad-abad memperkaya peradaban Nusantara. Salah satunya sajian raja pada era Kerajaan Mataram Kuno atau mahamangsa. Mengacu relief candi dan prasasti, deretan makanan itu diracik ulang oleh para ahli kuliner. Mencicipi sajian istimewa itu menghadirkan sensasi yang sulit dilupakan.
Meja besar di tengah ruangan itu menyajikan aneka jenis makanan yang jarang ditemui. Ada makanan berbahan dasar daging rusa, daging kerbau, dan ikan beong. Selain itu, ada juga kambing muda bakar yang disajikan utuh dengan tulang-tulangnya.
Salah satu makanan yang terhidang itu diberi nama Rumbah Hadangan Prana atau glinding daging kerbau. Sesuai namanya, makanan tersebut terbuat dari daging kerbau yang dicacah, lalu dibuat menjadi bulatan-bulatan dengan ukuran sedang.
Setelah berbentuk bulatan, daging kerbau itu lalu dimasak dengan aneka jenis bumbu, misalnya bawang merah, ketumbar, jinten, kencur, santan kelapa, daun salam, sereh, garam, dan belimbing sayur. Saat disantap, glinding daging kerbau yang disajikan dengan sedikit kuah itu terasa sangat lembut. Ada sensasi rasa sedikit pedas dan manis bercampur dengan rasa santan yang gurih.
Rumbah Hadangan Prana merupakan salah satu menu dalam gala dinner atau jamuan makan malam yang menjadi puncak acara Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara, Sabtu (30/10/2021) malam. Acara tersebut digelar di Manohara Resto yang berada di kompleks Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara merupakan rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Indonesian Gastronomy Community bekerja sama dengan sejumlah pihak. Rangkaian kegiatan itu bertujuan merekonstruksi makanan-makanan para raja Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa pada abad ke-8 hingga abad ke-10 Masehi.
Kegiatan ini selaras dengan visi dan misi IGC untuk melestarikan makanan Indonesia beserta narasi budayanya agar dapat memajukan dan berdaya guna bagi bangsa Indonesia.
Upaya rekonstruksi makanan raja Mataram Kuno itu melibatkan sejumlah pakar, baik di bidang arkeologi maupun gastronomi. Salah satu pakar yang terlibat aktif adalah pemerhati gastronomi kuliner tradisional, Sumartoyo.
Menurut Sumartoyo, rekonstruksi makanan itu dilakukan berdasarkan relief sejumlah candi dan prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Relief yang menjadi acuan adalah relief di Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Petirtaan Cabean Kunti di Kabupaten Boyolali, Jateng.
”Dari relief-relief itu, kami hanya mendapatkan gambar makanan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam, kami mencari ke berbagai macam prasasti yang ada. Di prasasti, kami menemukan informasi mengenai bagaimana cara memasak makanan-makanan itu, bahannya apa, dan sebagainya,” kata Sumartoyo.
Prasasti yang menjadi acuan, antara lain, Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 Masehi, Prasasti Paradah (943 M), Prasasti Panggumulan (902 M), Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Watukara (902 M), Prasasti Sangguran (928 M), Prasasti Alasantan (939 M), Prasasti Lintakan (919 M), dan Prasasti Taji (910 M).
Sumartoyo menuturkan, dari prasasti-prasasti tersebut, ditemukan 104 jenis hidangan, baik berupa makanan utama, kudapan, maupun minuman. Dari 104 hidangan itu, Sumartoyo dan timnya berhasil merekonstruksi sekitar 10 jenis makanan dan minuman. Makanan dan minuman hasil rekonstruksi itulah yang ditampilkan dalam jamuan makan malam Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara.
Hewan kaki empat
Dalam jamuan makan malam itu, olahan daging hewan berkaki empat terlihat hadir secara dominan. Selain Rumbah Hadangan Prana yang berasal dari daging kerbau, ada dua sajian yang menggunakan daging rusa sebagai bahan dasar. Pada masa Kerajaan Mataram Kuno, rusa memang masih banyak berkeliaran di hutan sehingga hewan ini sering diburu untuk dijadikan makanan.
Sajian daging rusa pertama bernama Knas Kyasan atau kicik daging rusa. Makanan yang muncul dalam relief Candi Borobudur, Prasasti Mantyasih, dan Prasasti Paradah itu menyajikan daging rusa yang dipotong kecil-kecil, lalu dimasak seperti cara memasak makanan kicik daging sapi.
Menu daging rusa lainnya adalah Harang-harang Kidang atau rusa bakar. Dalam sajian ini, daging rusa diiris-iris berbentuk dadu, lalu dibakar. Bumbu masakan ini pun sederhana, yakni bawang putih, kunyit, merica, bawang merah, ketumbar, gula merah, lengkuas, jahe, dan garam.
Selain hewan berkaki empat, olahan ikan juga disajikan sebagai hidangan untuk para raja Mataram Kuno. Salah satu menu olahan ikan dalam jamuan makan malam Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara adalah Klaka Wagalan atau ikan bumbu kuning yang menggunakan ikan beong sebagai bahan dasar.
Ikan beong adalah salah satu jenis ikan yang muncul dalam relief Candi Borobudur sehingga sajian makanan dari ikan itu diperkirakan sudah ada pada masa Mataram Kuno. Dalam sajian Klaka Wagalan, ikan beong dimasak dengan santan, mirip dengan masakan mangut. Daging ikan beong dalam hidangan ini terasa lembut, gurih, dan sama sekali tidak amis.
Menu olahan ikan lain adalah Harang-harang Kyasan atau sidat bakar manis. Sajian ini menggunakan ikan sidat yang dipanggang dengan bumbu rasa manis. Ikan sidat dipilih sebagai salah satu sajian karena merupakan jenis ikan yang mudah ditemui di sungai-sungai di sekitar Candi Borobudur.
Sementara itu, menu sayuran yang ditampilkan adalah Kwelan Haryyas atau sayur batang pisang. Menurut Sumartoyo, upaya merekonstruksi Kwelan Haryyas ini menjadi yang paling unik karena bahannya yang tidak biasa. ”Masakan ini bahannya di luar pikiran kita karena dibuat dari hati batang pisang muda,” katanya.
Hati batang pisang muda itu diiris tipis dan kecil, lalu dimasak dengan aneka jenis bumbu. Saat disantap, Kwelan Haryyas menyajikan sensasi rasa yang sangat unik. Ada rasa sedikit kecut yang menghadirkan nuansa kesegaran di mulut saat mencicip sayuran tersebut.
Selain makanan utama, jamuan makan malam itu juga menyajikan dodol durian sebagai makanan penutup. Untuk minuman, disajikan tiga jenis minuman, yakni tuak yang dibuat dari fermentasi nira kelapa, kinca yang terbuat dari fermentasi sari asam jawa, dan legen yang dibuat dari air nira kelapa.
Sumartoyo memaparkan, pada masa Kerajaan Mataram Kuno, makanan-makanan itu biasa disajikan dalam upacara penetapan sima. Sima adalah sebidang tanah yang diubah statusnya menjadi wilayah perdikan atau bebas pajak. Dalam upacara penetapan sima, seorang rakyat biasa bisa menikmati mahamangsa atau makanan para raja.
Ketua Umum Indonesian Gastronomy Community (IGC) Ria Musiawan mengatakan, upaya merekonstruksi makanan para raja Mataram Kuno itu bertujuan untuk mengangkat kembali makanan kuno yang pernah ada di Nusantara. Melalui upaya tersebut, kekayaan kuliner Nusantara di masa lalu diharapkan bisa dilestarikan.
”Kegiatan ini selaras dengan visi dan misi IGC untuk melestarikan makanan Indonesia beserta narasi budayanya agar dapat memajukan dan berdaya guna bagi bangsa Indonesia,” ujar Ria.
Ria menuturkan, aktivitas gastronomi seperti yang dilakukan IGC juga dapat berperan dalam misi diplomasi Indonesia di luar negeri. Selain itu, aktivitas gastronomi juga bisa ikut menggerakkan perekonomian Tanah Air.
Menurut Ria, setelah mengangkat makanan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, IGC akan mengangkat narasi gastronomi makanan dari wilayah lain di Indonesia, misalnya Riau, Palembang, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Bali.