Konflik Berulang Antara Orang Rimba dan Korporasi di Jambi
Konflik itu berakar dari persoalan ketiadaan lahan kelola bagi komunitas adat Orang Rimba. Karena tak kunjung ada penyelesaian, konflik akhirnya terus berulang.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Akibat pengusiran oleh para pekerja PT Wana Perintis, pemegang konsesi hutan tanaman industri karet di Desa Jelutih, Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi, komunitas Orang Rimba terpaksa menyelamatkan diri. Hingga Jumat (14/10/2016), sekitar 600 warga masih mengungsi di pinggir Taman Nasional Bukit Duabelas. Tampak warga rimba mencari sisa barang, Kamis (13/10/2016), di antara tumpukan reruntuhan hunian mereka yang dirobohkan pekerja perusahaan.
JAMBI, KOMPAS — Konflik antara Orang Rimba dan korporasi kebun sawit di Jambi kembali berulang. Kali ini berdampak luka-luka tiga petugas keamanan perusahaan kebun sawit dan seorang warga rimba beserta sejumlah motor dibakar massa.
Hingga Selasa (2/11/2021), aparat polisi yang bermaksud menyalurkan bantuan pangan bagi warga komunitas Orang Rimba masih kesulitan menemui mereka. Mereka ketakutan dan masuk ke dalam hutan.
Konflik yang terjadi 1,5 bulan terakhir memuncak pada Jumat (29/10/2021). Tiga petugas keamanan PT Primatama Kreasi Mas, anak usaha grup Sinar Mas Agro Resources and Technology, mengalami luka setelah terkena tembakan. Ketiganya adalah Yasri, tertembak bagian tangannya; Thamrin di bagian pantat, dan Oktavianus di bagian kakinya.
Penembakan oleh warga rimba itu berbuntut penyerangan balik petugas dan pekerja perusahaan terhadap warga komunitas adat tersebut. Penyerangan balik itu juga menimbulkan korban luka dan gelombang pengungsian Orang Rimba ke hutan.
Terkait konflik tersebut, Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jambi Brigadir Jenderal (Pol) Yudawan mengatakan akan berupaya menangani konflik tersebut seadil-adilnya. Terlebih konflik yang terjadi melibatkan perusahaan dan komunitas pedalaman. ”Persoalan ini menjadi prioritas untuk ditangani sebaik-baiknya,” katanya.
Berdasarkan informasi di lapangan, Jumat lalu, sejumlah induk (perempun) rimba yang sedang memungut brondolan (remah buah sawit yang terbuang di tanah) didatangi petugas keamanan perusahaan itu. Petugas merampas buah sawit yang sudah dikumpulkan para induk.
Tindakan petugas membuat induk ketakutan sehingga berteriak-teriak histeris. Teriakan para induk membuat warga kelompok itu berdatangan. Setibanya di sana, warga yang bermaksud meindungi induk-induk mereka malah dipukuli petugas.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Sebagian warga komunitas Orang Rimba wilayah Serenggam mengungsi karena tak tahan oleh pencemaran udara dan air dari masifnya tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Sebagian warga yang masih bertahan di sana tengah menghadapi wabah penyakit kulit yang diduga akibat paparan abu batubara.
Dalam situasi gaduh itulah, ada warga yang menembakkan kecepek (senjata untuk berburu babi di hutan). Tembakannya mengenai tiga petugas satpam tadi.
Peristiwa itu tak lantas berhenti. Tak lama setelahnya, terjadi penyerangan ke permukiman Orang Rimba. Sudung (pondok) Orang Rimba yang berdiri di dalam perkebunan sawit itu dirusak penduduk di sekitar kebun perusahaan. Perusakan pondok membuat komunitas itu semakin ketakutan, apalagi mereka mengetahui sepeda motor-sepeda motor yang ada di lokasi turut dibakar.
Gelombang perusakan permukiman terus merembet hingga ke permukiman Madani yang dibangun TNI untuk Orang Rimba. Lokasinya di Desa Lubuk Jering, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Sepeda motor milik Orang Rimba yang ada di lokasi ini juga dibakar. Di kedua lokasi ini, total 5 sepeda motor yang dibakar.
Antropolog Orang Rimba dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang, mengatakan, konflik itu berakar dari persoalan ketiadaan lahan kelola bagi komunitas adat Orang Rimba. Karena tak kunjung ada penyelesaian, konflik akhirnya terus berulang.
Robert yang sempat berupaya menemui Orang Rimba di sekitar lokasi konflik mengalami kesulitan. Sebab, Orang Rimba telah lari mengungsi jauh ke dalam hutan.
Kompas/Irma Tambunan
Komunitas adat Orang Rimba hingga Minggu (26/6/2016) masih mengungsi setelah diusir dan dianiaya oleh para petugas keamanan dan pekerja PT Bahana Karya Semesta (BKS), anak usaha Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk, tiga pekan lalu, di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Orang Rimba berharap pemerintah melindungi hak hidup mereka yang telah turun-temurun menempati wilayah yang kini beralih fungsi menjadi kebun sawit korporasi besar. Tampak anak-anak rimba di sekitar lokasi pengungsian.
Konflik serupa terjadi beruntun pada bulan lalu. Orang Rimba yang tengah mengambil berondol sawit pada September lalu dihadang petugas satpam dan pekerja dari perusahaan yang sama. Mereka dipukuli hingga terluka. Enam motor yang dikendarai mereka dirampas dan dibuang ke dalam parit kebun sawit perusahaan itu.
Pada kesempatan berikutnya, tujuh warga dari rombong lainnya yang juga melintasi jalur tersebut mendapatkan perlakuan serupa. Mereka dipukuli dan motornya dirampas. Jika ditotal, ada 17 motor Orang Rimba yang dirampas dan dibuang ke dalam parit.
Menurut Robert, perkebunan sawit yang menjadi lokasi konflik itu merupakan wilayah jelajah suku pedalaman itu sejak lama, jauh sebelum masuknya usaha monokultur berskala besar.
Perkebunan sawit yang menjadi lokasi konflik itu merupakan wilayah jelajah suku pedalaman itu sejak lama, jauh sebelum masuknya usaha monokultur berskala besar.
Saat izin usaha kebun masuk, kehadiran Orang Rimba yang menjelajah di sana terabaikan. Karena lahan itu berganti menjadi kebun sawit, Orang Rimba kehilangan lagi tanaman pangan yang biasanya mereka manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Saat ini, terdapat lebih dari 414 keluarga Orang Rimba yang terpaksa hidup di tengah perkebunan sawit. Hamparan wilayah Air Hitam yang merupakan konsentrasi terbesar Orang Rimba di Kabupaten Sarolangun telah dikembangkan korporasi skala besar untuk usaha monokultur. Usaha serupa menyebar di Kecamatan Pamenang dan Tabir.
Anggota Tim Terpadu Penanganan Konflik Provinsi Jambi, Fiet Haryadi, mengatakan terus mengawal penyelesaian konflik tersebut. Senin (1/11/2021), para pimpinan adat atau tumenggung Orang Rimba direncanakan berkumpul di Air Hitam untuk berdialog dengan kepala daerah setempat dan pemangku kepentingan di sana. Pihaknya juga telah menemui masyarakat dan wakil perusahaan. Pihaknya mengimbau agar tiap-tiap pihak menahan diri. ”Jangan sampai ada tindakan anarkis,” katanya.
Sementara itu, dalam rilis tertulis, Wulan Suling, Head of Corporate Communications Sinar Mas Agribusiness and Food, menyebut perusahaan menyayangkan terjadinya insiden antara petugas dan warga. ”Saat ini, petugas keamanan kami sedang menjalani perawatan medis di rumah sakit terdekat,” kata Wulan.
Komunikasi dengan pemangku kepentingan terkait, lanjutnya, tengah berlangsung. Sebagai tindak lanjut, pelatihan reguler bagi aparat keamanan untuk menangani konflik sosial yang sempat terhenti akibat pandemi Covid-19 akan diaktifkan kembali untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Perusahaan mengakui bahwa isu sosial yang sedang berlangsung itu perlu diselesaikan hingga tuntas. Saat ini, tengah diupayakan solusi terbaik untuk jangka pendek dan jangka panjang. Harapannya, bisnis dan kehidupan masyarakat dapat tumbuh dan hidup berdampingan.