Goenawan Mohamad menggelar pameran bertajuk ”Potret” di OHD Museum, Magelang, selama empat bulan, hingga Februari 2022. Dalam pameran ini, Goenawan banyak melukis sosok yang dikenalnya sebagai bentuk penghormatan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Melukis potret adalah bentuk penghormatan terhadap manusia. Maka, Goenawan Mohamad (80) menunjukkan sikap hormatnya kepada sejumlah figur melalui berbagai goresan, coretan kuas, simbol-simbol, berikut narasi singkat sebagai penguat pesan.
Ragam sikap hormat tersebut ditampilkan Goenawan dalam 38 lukisan karyanya yang dipamerkan dalam pameran tunggal bertajuk ”Potret” di OHD Museum, Kota Magelang, Jawa Tengah, mulai 24 Oktober hingga 28 Februari 2022. Goenawan juga memamerkan satu karya instalasi dan puluhan sketsa kertas. Bersama karya-karya Goenawan itu, ditampilkan pula tujuh boneka kayu Don Quixote karya seorang perajin wayang dari Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Goenawan, yang dikenal sebagai jurnalis dan satrawan, menunjukkan penghormatan terdalam pada teman-teman dekat dan sejumlah tokoh yang dikaguminya dengan menggambar figur mereka dalam tampilan tak biasa. Terasa kedekatan emosional antara keduanya, karena ekspresi, dan gaya tubuh yang ditampilkan bukan gambaran foto-foto yang banyak dipublikasikan.
Semua figur dilukis tanpa senyuman sehingga justru memunculkan ekspresi lintas dimensi. Tatapan, pandangan mata dari hampir setiap figur seperti menyimpan masalah atau pemikiran tertentu.
Semua figur yang dilukis, baik teman dekat maupun tokoh yang dikagumi, adalah figur yang sudah dikenal luas. Goenawan juga menambahkan simbol-simbol khas yang melekat dari sosok dalam lukisannya itu.
Simbol payung, misalnya, ditambahkan di sebelah lukisan figur mendiang sastrawan dan penulis puisi Sapardi Djoko Damono. Hal ini untuk memperkuat identitas mendiang yang populer dengan puisinya ”Hujan di Bulan Juni”.
Lukisan Avianti Armand, seniman penulis puisi, digambarkannya dengan tambahan gambar-gambar geometris, untuk memperjelas persona sosok bersangkutan yang sehari-hari berprofesi sebagai arsitek.
Selain Avianti Armand dan Sapardi Djoko Damono, Goenawan juga melukis banyak figur lain seperti Slamet Rahardjo, maestro lukis Djoko Pekik, novelis Ayu Utami, serta mendiang dalang Slamet Gundono. Adapun figur tidak dikenal, tapi dikaguminya sehingga termasuk dalam koleksi lukisan Gonawan adalah pelukis asal Meksiko, Frida Kahlo.
Karena kedekatan emosional antara Goenawan dengan semua teman dan idolanya tersebut, beberapa sosok dilukisnya tidak hanya satu kali. ”Goenawan pernah melukis Slamet Gundono hingga tiga kali dan bahkan melukis sosok Frida Kahlo hingga lima kali,” ujar Wahyudi, kurator pameran.
Meski demikian, Goenawan mengungkapkan, wajah yang layak untuk dilukis bukan hanya wajah seseorang. Dia juga melukis ”wajah” masalah, salah satunya terkait pandemi Covid-19.
Wajah pandemi, antara lain, dilukiskan dalam bentuk gambaran sosok perempuan dengan pose erotis dengan tampilan penutup di bagian bawah, dan baju sobek-sobek. Figur ini menelungkup, sedikit menungging, dengan bagian kepala tertutup semacam topi. Diberi judul ”Lockdown”, lukisan ini seolah menggambarkan seseorang yang tidak lagi memedulikan penampilan dan merasa tidak bisa melakukan apa-apa saat situasi sekelilingnya menetapkan pembatasan atau menutup akses keluar masuk.
Gambaran pandemi di atas kanvas juga ditampilkan dalam lukisan yang diberi judul ”Di Masa Pandemi”. Lukisan tersebut menampilkan figur manusia memakai jas, tetapi seluruh wajahnya tertutup masker, penutup wajah, di mana pada bagian hidung terlihat menjulur seperti paruh burung. Goenawan mengatakan, gambaran ”masker” tersebut terinspirasi dari alat pelindung diri yang banyak dikenakan tenaga medis di Eropa.
Wajah masalah lainnya juga ditampilkan Goenawan Mohamad dalam lukisannya bertajuk ”Black Lives Matter”. Adapun, ”Black Lives Matter” adalah sebuah gerakan sekitar 2013 yang menentang kekerasan atau rasisme sistemik terhadap orang kulit hitam di Amerika. Lukisan ini menampilkan sosok mirip Yesus Kristus dengan posisi tergolek tanpa daya seperti saat disalibkan dan petikan Injil yang ditulis di atasnya. Gambaran yang ingin menegaskan derita warga kulit hitam Amerika sama seperti sengsara yang dialami Yesus.
Tantangan
Goenawan mulai aktif berkarya melukis sejak lima tahun silam. Bagi dia, melukis memberinya keasyikan yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya dan akhirnya sulit ditinggalkan. ”Saat menulis, saya bisa tiba-tiba menemui titik jenuh dan bosan. Namun, dalam melukis, saya tidak pernah bosan,” ujarnya.
Goenawan tidak paham benar apa yang menjadi inspirasinya dalam melukis. Sebagai bagian dari aktivitas yang disenanginya, dia mengaku hanya berlaku sesukanya, menggambar obyek apa saja yang terlintas, dan apa pun yang disukai atau diingatnya.
Meskipun banyak melukis selama pandemi, dia tidak kemudian menganggap situasi pandemi sebagai sumber inspirasinya. ”Kalau kemudian saya dianggap produktif melukis selama pandemi, ya semata-mata karena selama pandemi saya kurang kerjaan saja,” ujarnya sembari terkekeh.
Goenawan mengaku, menyukai melukis potret karena penggambarannya butuh keterampilan tersendiri. ”Perlu keterampilan khusus dan saya merasa tertantang,” ujarnya.
Tokoh ulama KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus yang hadir dalam pembukaan pameran, Sabtu (23/10/2021), mengatakan, bagi sebagian besar masyarakat yang lebih mengenal sosok Goenawan sebagai sastrawan dan budayawan, capaiannya di bidang seni rupa saat ini memang relatif mengagetkan.
”Hingga hari ini, dia pun ternyata berhasil membuktikan bahwa dia juga mampu menghasilkan karya-karya yang tidak kalah dengan pelukis kondang,” ujarnya.
Easting Medi, salah seorang seniman lukis dari Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, memuji bahwa sebagai sastarawan dan jurnalis, Goenawan mampu menghasilkan karya-karya lukisan yang lebih terkonsep. Pesan-pesan yang disampaikan juga semakin diperkuat tambahan narasi dalam lukisan.
Medi, yang sudah lebih dari 20 tahun melukis, mengatakan, secara umum, teknik pewarnaan lukisan yang dipakai Goenawan sudah cukup bagus. Karya-karya itu juga semakin mengagumkan karena berhasil dibuat Goenawan yang sudah berusia lanjut.
Selama lima tahun menjelajahi dunia seni rupa, Goenawan melahirkan 500-an karya di atas kertas, sekitar 100 lukisan di atas kanvas, dan 200-an karya kolaborasi dalam 10 kali pameran di 11 lokasi. Dari sekitar 800 karya tersebut, 99 persen adalah potret manusia, binatang, wayang, dan figur tak jelas. Setelah Magelang, November 2021, Goenawan akan melanjutkan pameran di Yogyakarta bersama sekitar 60 seniman dari Yogyakarta, Jakarta, dan Malang.
Wahyudin, kurator pameran, mengatakan, Goenawan, dalam Catatan Pinggir berjudul ”Buah” yang ditulisnya di majalah Tempo tahun 2005, pernah melontarkan dalil, ”Puisi yang baik adalah puisi yang tulus dan tahu diri”. Mengacu pada dalilnya tersebut, Goenawan, juga selalu memiliki sikap ”tahu diri” dalam berkarya.
Wahyudin mengatakan, sikap tersebut antara lain ditunjukannya dengan sikap terbuka untuk terus memperbaiki lukisan-lukisan lama untuk kemudian ditampilkan dalam pameran kali ini. Selain mengganti cat, dari cat akrilik menjadi cat minyak, upaya memperbaiki karya dilakukan dengan menghapus narasi atau puisi-puisi karyanya dalam lukisan sosok teman-temannya, dan menggantinya dengan puisi atau petikan kata-kata dari figur yang bersangkutan. Dengan cara itu, dia pun berupaya sedikit menghapus keakuannya dan lebih menonjolkan figur yang dilukisnya.