Mitigasi Perubahan Iklim lewat Daur Ulang Sampah Rumah Tangga di Tegal
Memilah dan mendaur ulang sampah rumah tangga menjadi upaya terkecil yang bisa kita lakukan untuk menekan dampak perubahan iklim. Di Kota Tegal, Jateng, belasan orang tergerak mendaur ulang sampah demi tujuan tersebut.
Ikhtiar menekan dampak perubahan iklim melalui kegiatan daur ulang sampah terus dilakukan oleh sejumlah pihak. Di Kota Tegal, Jawa Tengah, sejumlah orang yang menekuni kegiatan itu mendapat faedah lain berupa tambahan pemasukan bagi keluarganya.
Sabtu (23/10/2021), Mufasiroh (52) duduk bersila di atas tikar yang ia gelar di salah satu sudut rumahnya. Tikar yang ia jadikan alas duduk bukan sembarang tikar. Tikar berukuran 2 meter x 1,5 meter itu ia buat menggunakan sekitar 3.000 lembar plastik pembungkus kopi.
Kedua bola mata warga Kelurahan Randugunting, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, itu aktif mengawasi plastik-plastik kemasan kopi yang sedang ia lipat dengan kedua tangannya. Lipatan plastik itu akan ia rangkai menjadi sebuah tas jinjing seharga Rp 200.000.
Baca juga : Daur Cantik Sampah Plastik ala Tegal
”Bahan bakunya saya beli dari bank sampah atau tetangga yang berjualan minuman kemasan. Dalam sekali beli, biasanya langsung satu karung atau seberat 13 kilogram sampah. Harga per kilonya Rp 2.500, jadi sekarung harganya sekitar Rp 32.500,” kata Mufasiroh.
Menurut Mufasiroh, plastik pembungkus kopi seberat 13 kilogram itu bisa ia buat menjadi barang-barang seperti dompet, tas, dan tikar. Harga dompet mencapai Rp 10.000 per buah, harga tas mencapai Rp 200.000 per buah, dan harga tikar mencapai Rp 400.000.
Dari hasil mendaur ulang sampah, Mufasiroh mampu meraup pendapatan hingga Rp 3 juta per bulan. Tak hanya bekerja sendiri, ia juga bisa memberdayakan dua ibu rumah tangga lain melalui kegiatan itu.
Mufasiroh mengaku tidak menyangka jika kegiatan yang ia lakukan mampu mendatangkan pundi-pundi rupiah untuk tambahan pemasukan keluarganya. Ide mendaur ulang sampah itu pertama kali terlintas di benak Mufasiroh sekitar empat tahun lalu saat ia melihat tumpukan sampah plastik di pinggir-pinggir jalan.
”Saya prihatin melihat sampah-sampah plastik yang sulit terurai, terus kepikiran bagaimana caranya mendaur ulang. Setelah itu, saya mencoba mengikuti pelatihan-pelatihan daur ulang sampah dan mengembangkan ilmu-ilmunya sendiri,” tuturnya.
Minat untuk mendaur ulang sampah juga dirasakan oleh Ridwan, warga Kelurahan Kejambon, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Awalnya, Ridwan merasa terganggu dengan tumpukan kardus di rumahnya. Ia kemudian berupaya untuk membuat kardus yang tidak terpakai itu menjadi suatu barang yang berdaya guna.
Barang pertama yang dibuat Ridwan kala itu adalah figura foto. Merasa takjub dengan hasil karyanya, Ridwan mencoba mengunggah karyanya itu ke media sosial Facebook. Baru beberapa menit diunggah, sejumlah komentar menghujani unggahannya.
”Banyak yang bertanya, dijual berapa. Terus ada yang minat membeli Rp 10.000. Setelah itu saya berpikir, ternyata kegiatan iseng-iseng saya bisa menghasilkan uang. Sejak saat itu, saya bersemangat menghasilkan barang-barang lain dari mendaur ulang kardus,” ucapnya.
Setelah beberapa bulan mendaur ulang kardus, Ridwan mencoba mengembangkan kemampuannya. Ia kemudian bereksperimen membuat benda-benda menggunakan koran bekas. Lembaran-lembaran koran dibagi menjadi tiga bagian, kemudian dilinting dan dibaluri lem kayu. Lintingan-lintingan koran itu dibentuk menjadi berbagai macam benda, seperti pot, vas bunga, guci, jam dinding, dan tempat tisu.
Tak hanya Ridwan, istrinya, Dian, juga gemar mendaur ulang sampah. Jika Ridwan khusus mendaur ulang koran dan kardus bekas, Dian lebih sering mendaur ulang plastik keresek. Plastik keresek dengan berbagai warna itu didaur ulang oleh Dian menjadi bunga untuk mengisi pot-pot yang dibuat Ridwan. Setiap bulan, keduanya mampu menghasilkan uang sebesar Rp 3 juta dari aktivitas daur ulang sampah.
”Pekerjaan sehari-hari saya buruh serabutan. Kadang buruh bangunan, kadang buruh di tempat mebel. Selama pandemi, jarang ada yang butuh tenaga saya, jadi saya lebih banyak menganggur. Kalau sedang menganggur, saya mendaur ulang sampah,” kata Ridwan.
Komunitas
Ridwan, Dian, dan Mufasiroh yang memiliki ketertarikan pada daur ulang sampah kemudian bergabung dalam komunitas bernama Rutela. Rutela merupakan akronim dari Runtah Tegal Laka-laka. Runtah dalam bahasa Tegal berarti sampah. Adapun laka-laka berarti tiada duanya.
Komunitas yang didirikan pada 2017 itu diharapkan bisa menjadi wadah bagi orang-orang yang memiliki komitmen untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan cara mendaur ulang sampah. Kini, Rutela memiliki 13 anggota yang terdiri dari sepuluh perempuan dan tiga laki-laki.
”Kami ingin menularkan kebiasaan memilah dan mendaur ulang sampah kepada masyarakat. Kalau kebiasaan itu sudah dilakukan, sampah yang ada di tempat pembuangan akhir pasti lebih sedikit dan perekonomian masyarakat bisa terangkat lewat pemanfaatan barang-barang daur ulang,” tutur Ketua Rutela Amril Rulman.
Menurut Amril, kegiatan daur ulang sampah tidak hanya menguntungkan bagi pelaku daur ulang saja, tetapi juga bagi orang-orang yang memilah sampah. Sampah yang telah mereka pilah bisa mereka jual ke bank sampah atau komunitas daur ulang sampah di sekitarnya.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Tegal, ada sekitar 250 ton sampah yang dihasilkan di Kota Tegal setiap harinya. Dari jumlah tersebut, sekitar 30 persen atau sekitar 75 ton merupakan sampah anorganik, seperti logam, plastik, kaca, karet, dan kaleng.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tegal Resti Drijo Prihanto mengatakan, belum semua sampah anorganik didaur ulang. Padahal sampah jenis itu sulit terurai. Dari 75 ton sampah anorganik yang dihasilkan masyarakat Kota Tegal, baru sekitar 7,5 ton atau 10 persen yang didaur ulang.
”Daur ulang yang kami lakukan terhadap sampah anorganik selain besi dan kaca adalah dengan cara mengubahnya menjadi briket. Sisanya, didaur ulang lewat 21 unit bank sampah yang ada di Kota Tegal,” tutur Resti.
Resti menuturkan, pihaknya sudah berupaya mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah. Di beberapa titik, pemerintah juga menyediakan dua jenis tempat sampah, yakni tempat sampah organik dan anorganik. Namun, menurut Resti, sebagian masyarakat masih tetap membuang sampah sesukanya tanpa memperhatikan jenis sampah yang mereka buang.
Resti berharap kesadaran masyarakat mengolah sampah meningkat. Ke depan, edukasi kepada masyarakat akan dilakukan, setidaknya sekali dalam setahun. Pihaknya juga akan bekerja sama dengan kader-kader bank sampah dan komunitas daur ulang sampah dalam mengedukasi masyarakat.
Kemampuan tambahan
Sejak 2017, Rutela sudah berulang kali melakukan edukasi pemilahan sampah kepada masyarakat sekaligus menularkan ilmu mendaur ulang sampah menjadi barang bernilai jual. Agar bisa menyampaikan materi daur ulang sampah dengan baik, mereka memerlukan kemampuan tambahan, yakni public speaking atau kemampuan berbicara di depan publik.
”Salah satu kelemahan mayoritas anggota Rutela adalah public speaking. Dulu, kalau ada sosialisasi atau pelatihan, yang bicara hanya orang-orang itu saja karena yang lainnya takut. Hal itu menghambat upaya komunitas dalam mengampanyekan gerakan daur ulang sampah,” kata Amril.
Keresahan anggota Rutela akhirnya mendapat solusi setelah mereka mendapat sejumlah pelatihan berbicara di depan publik dari PT Pertamina. Selain dilatih berbicara di depan publik, Rutela juga diberi alat-alat penunjang presentasi, seperti komputer jinjing dan proyektor.
PT Pertamina melalui program tanggung jawab sosial perusahaan juga menyelenggarakan sejumlah pelatihan, seperti pemasaran digital, manajemen usaha, manajemen keuangan, dan manajemen kelompok. Alat-alat penunjang pemasaran digital, seperti kamera, printer (mesin pencetak), dan etalase untuk meletakkan barang, juga diberikan.
”Kegiatan yang dijalankan oleh Rutela sejalan dengan nilai-nilai PT Pertamina, yakni go green atau pelestarian lingkungan. Di samping itu, kami juga ingin mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs ke delapan, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk masyarakat,” ujar Community Development Officer Pertamina Fuel Terminal Tegal Arini.
Kegiatan yang dilakukan sejumlah orang di Rutela memang tampak sederhana. Namun, dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan itu sejatinya besar.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Tegal, Sri Nur Latifah, mengatakan, limbah anorganik, seperti plastik, merupakan salah satu faktor penyumbang emisi gas karbon terbanyak yang menyebabkan kenaikan suhu secara global. Kenaikan suhu global bisa menyebabkan sejumlah peristiwa, salah satunya mempercepat pencairan es di kutub.
”Kalau es di Kutub mencair, muka air laut akan naik. Hal ini bisa menyebabkan banjir rob dan yang paling parah bisa menenggelamkan pulau,” ucap Latifah.
Peningkatan suhu global biasanya juga menyebabkan suhu laut meningkat. Akibatnya, penguapan air laut meningkat dan potensi bencana hidrometeorologi terjadi juga semakin tinggi.
Kesadaran komunal untuk menyelamatkan Bumi melalui hal-hal kecil diharapkan bisa dilakukan oleh semua orang. Sebab, upaya kecil yang dilakukan hari ini tidak hanya bermanfaat bagi kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang, di kemudian hari.
Baca juga : Pemuda di Tegal Sulap Limbah Menjadi Wayang Golek