Iwan Winarto, Jalan Terjal Menyulam Kemandirian Desa Wisata
Desa Pengudang dianugerahi kawasan pesisir yang asri dan indah. Iwan Winarto berupaya menjaganya sembari mengembangkan pariwisata berbasis komunitas untuk menggerakkan perekonomian warga.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Pada 2015, Iwan Winarto (43) keluar dari zona nyaman setelah 15 tahun bekerja di Lagoi, sebuah kawasan resor berstandar internasional di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia mengikuti panggilan hati untuk mengembangkan pariwisata berbasis komunitas di Desa Pengudang.
”Bekerja selama 15 tahun membuat saya merasa seperti katak dalam tempurung. Padahal, passion saya yang sebenarnya adalah beraktivitas di alam dan bertemu banyak orang,” kata Iwan saat ditemui di Desa Pengudang, Selasa (19/10/2021).
Iwan adalah perantau asal Lampung Selatan. Ia baru mengenal Desa Pengudang setelah menikah dengan Sarinah (44) pada 2003. Pelan-pelan, ia menyadari, desa itu memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi desa pariwisata berbasis komunitas.
Pengudang terletak di pesisir utara Pulau Bintan. Pantai di sana berpasir putih kemilau. Adapun perairannya dipenuhi padang lamun dan menjadi habitat dugong. Selain itu, pesisir tersebut juga menjadi tempat bagi penyu untuk bertelur.
Menurut Iwan, tutupan hutan bakau di sekitar Desa Pengudang juga terbilang masih bagus. Kelestarian alam yang masih terjaga itu tampak dari ribuan kunang-kunang yang berpendar di hutan bakau pada waktu malam.
”Kalau untuk merawat bakau, sebenarnya kami tinggal menambal saja di beberapa bagian. Yang terpenting sebenarnya adalah mengedukasi warga untuk tidak mengalihfungsikan hutan bakau di desa ini,” ujarnya.
Selain memiliki keindahan alam yang luar biasa, Desa Pengudang juga memiliki potensi lain yang bisa dikembangkan untuk menarik wisatawan. Penghobi selam akan termanjakan ketika melihat terumbu karang dan bangkai kapal tenggelam di perairan sekitar desa tersebut.
”Potensi di sini luar biasa. Maka, saya ingin berbuat sesuatu agar desa ini lebih maju,” ucapnya.
Mulai 2016, Iwan merangkul warga untuk bersama-sama mengembangkan wisata berbasis komunitas di Desa Pengudang. Ia mengajak pegiat usaha mikro, kecil, dan menengah untuk berkolaborasi.
Mulai dari pembuat kerupuk dan minyak kelapa sampai perajin sedotan bambu dan miniatur kapal didorong untuk mendapat manfaat dari kunjungan wisatawan. Iwan juga mengajak nelayan untuk mempromosikan wisata keramba apung dan tur kunang-kunang di hutan bakau.
”Perlahan-lahan banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri datang ke Desa Pengudang. Sekarang mulai banyak juga para peneliti yang riset di sini,” katanya.
Geliat pariwisata berbasis komunitas di Desa Pengudang akhirnya juga menarik perhatian Pemerintah Kabupaten Bintan dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Sejumlah fasilitas publik ditambah. Salah satunya, pemerintah membangun jalan aspal untuk memudahkan turis yang hendak berwisata ke desa tersebut.
Tantangan
Perjalanan Iwan merintis pariwisata berbasis komunitas di Desa Pengudang tidak selalu mulus. Ia merasa pemerintah daerah kurang mendukung model pariwisata yang dikelola sepenuhnya oleh warga secara mandiri.
Selama ini, pembangunan pariwisata di Kepri lebih banyak mengutamakan pemodal asing. Iwan ingin pengembangan pariwisata ke depan tak lagi hanya bertujuan pada pertumbuhan ekonomi atau perolehan devisa, tetapi lebih berorientasi pada pemerataan pendapatan secara struktural.
”Kalau (pemerintah) mengutamakan investor terus, warga biasa selamanya akan sekadar menjadi penonton,” ucapnya.
Iwan tidak setuju dengan pembuatan paket wisata yang semuanya dikelola oleh pihak resor atau hotel. Ia ingin wisatawan dibawa keluar untuk bertemu dengan masyarakat. Dengan begitu, warga desa sekitar resor atau hotel berbintang bisa mendapat manfaat dari geliat wisata di daerahnya.
”Kepri memiliki wilayah maritim yang luas dan sumber daya kelautan yang luar biasa. Harusnya potensi itu dikembangkan dengan kerangka pariwisata berbasis komunitas agar manfaatnya bisa dinikmati oleh lebih banyak warga,” ujarnya.
Kelompok wisata berbasis komunitas di Desa Pengudang juga mengalami ancaman kerusakan alam. Setiap akhir tahun, pantai mereka dikotori tumpahan minyak hitam yang dibuang kapal-kapal yang melintas di perairan antara Singapura dan Pulau Bintan.
”Tumpahan minyak hitam tergolong sebagai limbah berbahaya dan beracun. Itu merusak ekosistem pesisir dan membahayakan mahluk hidup di laut,” katanya.
Meskipun pencemaran minyak di perairan Bintan itu tidak masuk skala katastrofik, hal itu tetap mengakibatkan kerugian ekologi dan ekonomi yang tidak sedikit. Minyak bumi yang merupakan campuran hidrokarbon memiliki kandungan senyawa yang bersifat toksik, karsinogenik, dan mutagenik.
”Bakau yang masih kecil akan mati kalau terkena tumpahan minyak. Wisatawan juga tidak mau datang karena pantai menjadi kotor dan bau,” ucapnya.
Pandemi
Sejak pandemi Covid-19 melanda tahun lalu, geliat wisata di Desa Pengudang ikut mandek seiring dengan bangkrutnya banyak resor dan hotel berbintang di Bintan. Iwan menyadari, komunitas mereka secara bertahap harus mengurangi ketergantungan terhadap aliran wisatawan dari hotel dan resor tersebut.
”Selama ini, pariwisata di Bintan terlalu terlena pundi-pundi dollar dari wisatawan mancanegara. Sampai akhirnya lupa bagaimana pasar wisatawan domestik seharusnya dikembangkan,” katanya.
Menurut Iwan, biaya menginap di homestay dan biaya berwisata Pengudang masih ramah untuk kantong wisatawan dalam negeri. Ia berharap ke depan pemerintah lebih menggencarkan promosi pariwisata Bintan kepada wisatawan domestik.
”Masa pandemi Covid-19 ini waktu yang tepat bagi pemerintah dan pegiat wisata di Bintan untuk mengevaluasi diri. Kami harus mencari jalan bagaimana menyelenggarakan pariwisata yang berkelanjutan dari sisi ekonomi ataupun lingkungan,” ujarnya.
Kini, di tengah kondisi pariwisata yang masih lesu karena pandemi Covid-19, Iwan lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus lingkungan sekitarnya. Ia tengah berjuang membuat pesisir Desa Pengudang bebas dari sampah. Bersama sukarelawan dari lembaga non-pemerintah Seven Clean Seas, setiap hari ia mengangkat ratusan kilogram sampah dari pesisir utara Pulau Bintan.
Iwan tidak pernah jemu mengajak warga yang tinggal di pesisir untuk tidak membuang sampah ke laut. Ia yakin masyarakat pesisir akan mendapat banyak manfaat apabila kelestarian lingkungan mereka terjaga.
”Tidak ada hal yang tidak mungkin kalau kita memang mau berubah,” ucapnya.