Gelap Gulita Kemiskinan di Tengah Gemerlap Resor Berbintang
Di tengah kawasan resor berstandar internasional di Pulau Bintan, ada satu kampung yang warganya termarjinalkan. Sejak 1990-an, mereka terkurung dalam kawasan itu tanpa akses jalan dan aliran listrik.
Gemerlap kemewahan resor berstandar internasional di Pulau Bintan terasa kontras dibandingkan ketertinggalan satu kampung yang terkurung di kawasan itu. Lebih dari tiga dekade, warga kampung bertahan hidup tanpa akses jalan dan aliran listrik.
Rumah-rumah panggung berjejer di sepanjang jembatan kayu reyot di Kampung Baru, Desa Sebong Lagoi, Kecamatan Teluk Sebong, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Dinding rumah-rumah di tepi pantai itu terbuat dari papan.
Kebanyakan rumah itu di dinding depannya tertulis ”Penerima Manfaat Bantuan Langsung Tunai Dana Desa”. Itu merupakan tanda rumah-rumah tersebut dihuni keluarga miskin.
Sore itu laut tenang, beberapa perahu dayung nelayan dibiarkan terombang-ambing oleh ombak yang malas. Di teras salah satu rumah panggung, seorang laki-laki tua sedang khusyuk menyulam jaringnya yang bolong-bolong.
”Sebentar lagi (musim angin) utara datang, saya mulai jarang ke laut. Kerja saya (lebih banyak) mungut plastik di pantai sekitar resor-resor itu,” kata Kammarudin (59), Selasa (19/10/2021).
Musim angin utara di perairan Kepri biasanya berlangsung dari November hingga Maret. Nelayan kecil, apalagi nelayan dayung seperti Kammarudin, tidak berani melawan ombak yang tinggi saat musim angin utara.
Pada November-Maret itulah Kammarudin beralih menjadi pemulung sampah di pantai. Sampah plastik itu ia jual kepada pengepul seharga Rp 1.500 per kilogram (kg). Dalam satu hari, paling banyak ia hanya bisa mengumpulkan sekitar 20 kg sampah plastik yang kemudian ia jual Rp 30.000.
Musim angin utara adalah periode paling berat bagi warga di kampung itu yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Namun, tahun ini, hidup mereka terasa lebih berat lagi karena sudah beberapa minggu belakangan aliran listrik di sana putus akibat mesin diesel di kampung itu rusak.
”Di sini memang susah listrik. Pemerintah payah, dari dulu kerjanya cuma senyap saja,” ujar Kammarudin.
Kampung Baru dihuni sekitar 30 keluarga. Mayoritas adalah penduduk asli dari suku Melayu yang menolak pindah ketika daerah itu diubah menjadi kawasan pariwisata berstandar internasional pada era 1990-an.
Provinsi Kepri baru terbentuk pada 2002. Sebelum itu, Kepri adalah bagian dari Provinsi Riau. Dalam surat keputusan gubernur Riau tahun 1992, PT Buana Mega Wisatama (BMW) mendapat izin lokasi dan pembebasan tanah sekitar 23.000 hektar. Perusahaan tersebut mendapat kontrak sewa-pakai selama 80 tahun.
Kini, lahan seluas 23.000 hektar itu dikenal sebagai kawasan pariwisata Lagoi. Di sana terdapat 15 hotel dan resor mewah. Pantai di sana berpasir putih kemilau. Adapun bentang daratnya seperti di Singapura yang rapi, teratur, dengan hutan terpelihara, sekaligus steril.
Pada 2019, pengunjung di Lagoi mencapai 1,09 juta wisatawan. Sebanyak 138.115 orang di antaranya berasal dari Singapura. Pariwisata Lagoi menyumbang Rp 170 miliar dari total Rp 300 miliar pendapatan asli daerah (PAD) Bintan.
Sayang, pendapatan dari sektor pariwisata yang berlimpah itu tidak dapat dinikmati warga Kampung Baru. Bahkan, kampung itu belum mendapat aliran listrik dari PLN. Warga masih mengandalkan sebuah mesin diesel yang hanya mampu memasok listrik dari pukul 18.00 sampai pukul 23.00.
Mesin itu sering rusak karena sudah dipakai setiap hari sejak 2009. Satu minggu belakangan, warga harus bertahan dalam gelap gulita karena mesin kembali rusak. Hal itu teramat ironis karena sebenarnya kampung itu terletak tepat di tengah gemerlap kawasan resor mewah yang selalu berlimpah listrik.
Kesulitan lain yang harus dihadapi warga adalah ketiadaan akses jalan. Untuk keluar-masuk kampung, mereka harus melewati lapangan golf milik salah satu resor di kawasan Lagoi. Untuk mengakses jalan tersebut, mereka harus melewati portal yang dijaga petugas keamanan.
Johari (50), Ketua RT 003/RW 011 Kampung Baru, mengatakan, sebenarnya ada akses jalan lain yang dulu dibuat warga secara mandiri. Namun, jalan sepanjang 3 kilometer itu hanya berupa tanah biasa yang tidak dikeraskan. Jalan itu akan sangat berlumpur apabila diguyur hujan.
”Sekarang jalan itu sudah hancur. Tidak bisa digunakan lagi,” ujar Johari.
Padahal, akses jalan sangat penting bagi warga Kampung Baru. Apalagi untuk belanja, sekolah, atau berobat, mereka harus pergi ke pusat desa di Sungai Kecil. Jarak Kampung Baru ke Sungai Kecil sekitar 16 kilometer atau 25 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Baca juga : Pariwisata Lumpuh, Perekonomian Kepri Jatuh
Tragedi pemagaran
Pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Dian Prima Safitri, pernah melakukan studi kasus di Kampung Baru bersama dua rekannya pada 2016-2017. Penelitian tersebut menjabarkan tragedi pemagaran yang dialami warga Kampung Baru.
”Tragedi pemagaran terjadi ketika dominasi negara dan swasta membatasi akses geografis masyarakat sehingga pengelolaan dan pemanfaatan barang publik menjadi terbatas,” kata Dian saat dihubungi, Sabtu (23/10/2021).
Tragedi pemagaran sebagai sebuah fenomena sosial dapat dilihat dari dua sisi, yakni akses geografis dan akses terhadap barang publik. Secara geografis, Kampung Baru terkurung dalam kawasan pariwisata Lagoi seluas 23.000 hektar. Kampung itu terpisah sekitar 16 km dari pusat Desa Sebong Lagoi.
Selain itu, warga Kampung Baru juga termarjinalkan karena mereka tidak bisa mengakses barang publik, seperti jalan dan listrik. Untuk mengakses dunia luar, warga harus melewati lahan yang dikuasasi perusahaan. Adapun aliran listrik yang merupakan kebutuhan dasar warga juga belum tersedia.
Secara terpisah, Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Bintan Fiven Sumanti berharap pemerintah dapat segera menyediakan akses listrik kepada warga di Kampung Baru. ”Yang di pulau-pulau (terpencil) saja bisa dialiri listrik, masak Kampung Baru yang ibarat di depan mata, (pemerintah) tidak bisa memfasilitasi,” ucapnya, Sabtu (23/10/2021).
Menanggapi hal itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan Adi Prihantara mengatakan, persoalan geografis Kampung Baru yang letaknya di tengah kawasan pariwisata Lagoi menjadi masalah utama bagi pemerintah untuk menyalurkan listrik. ”Mau dialiri lewat mana karena listrik di sana dominasinya dari (kawasan wisata) Lagoi,” katanya, Sabtu (23/10/2021).
Masalah seperti yang terjadi di Kampung Baru sebenarnya telah menjadi keprihatinan masyarakat pariwisata internasional terhadap arah perkembangan pariwisata, khususnya di daerah-daerah tujuan wisata dunia. Pada banyak kasus, pengembangan kawasan wisata kerap kali justru memarjinalkan penduduk lokal, merusak kebudayaan lokal, serta menghancurkan lingkungan dan sumber daya.
Johari menanggapi sumir pernyataan pejabat daerah Kabupaten Bintan yang selalu menjadikan letak geografis sebagai alasan untuk bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar warga. ”Saya rasa penyebab sebenarnya bukan soal bisa atau tidak, tetapi karena memang tidak ada rasa peduli,” ucapnya.
Baca juga : Istana Sampah Laut Ahmadun