Legenda Danau Poso, Masa Kini dan Masa Depan
Pengelolaan Danau Poso di Kabupaten Poso, Sulteng, dalam persimpangan. Semua aspek pendukungnya mutlak harus diperhatikan sehingga kehidupan di sekitar danau terdalam ketiga di Indonesia itu tetap berkelanjutan.
Awal Oktober lalu, tenang perairan biru membentang diapit rangkaian pegunungan di sisi barat dan timur. Tak ada ombak yang berarti hingga ke garis batas darat. Aktivitas warga di danau juga lengang. Yang lebih ramai terdengar kicauan burung yang bertengger di pepohonan di pinggir danau.
Itulah sepenggal pemandangan di Danau Poso dari Tentena, Kecamatan Pamona Puselamba, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Danau Poso dengan luas 323 kilometer persegi itu terletak di selatan Kabupaten Poso, terbentang dari Tentena di utara, ke Pendolo, Kecamatan Pamona Timur, di sisi selatan.
Selain merupakan danau ketiga terdalam di Indonesia dengan kedalaman sekitar 450 meter, Danau Poso juga salah satu dari danau purba di dunia. Danau terbentuk karena aktivitas tektonik, salah satunya dari aktivitas Sesar Poso Barat. Sesar tersebut terakhir menimbulkan gempa bermagnitudo 5,7 pada akhir Maret 2019 yang merusak sejumlah rumah dan bangunan di Kecamatan Pamona Barat.
Danau Poso kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk ikan migrasi sidat yang masyarakat setempat menyebutnya sogili atau masapi (Anguilla sp.). Ikan tersebut telah menjadi salah satu penanda ekonomi di Danau Poso karena harganya tinggi, sekitar Rp 100.000 per kilogram.
Dari kata posu,kata bahasa Pamona,berarti ’tanduk kerbau yang runcing’, itulah muncul nama Danau Poso dan Poso.
Wujud biodiversitas lainnya di sekitar danau adalah tumbuhnya berbagai jenis anggrek (Orchidaceae) di Desa Bancea, Kecamatan Pamona Timur. Danau Poso juga salah satu pusat peradaban masa silam. Ini diperkuat temuan banyaknya goa dengan artefak tulang dan alat-alat yang dipakai lelulur. Salah satu yang terkenal adalah Goa Pamona di Tentana yang berada di pinggir danau.
Legenda danau
Masyarakat yang mendiami sekitar danau sejak dulu kala memiliki banyak legenda dan pengalaman nyata interaksi terkait keberadaan danau. Salah satunya terkait terbentuknya danau. Dari banyak versi, satu di antaranya dikisahkan tentang kemurkaan dewa atas dosa yang dilakukan manusia.
Konon, danau pada mulanya kubangan kerbau. Di sana, ada manusia yang berbuat tak sepatutnya dengan kerbau. Dewa pun marah, lalu mendatangkan air dalam jumlah banyak dan menggenanginya sehingga terbentuklah danau.
”Dari kata posu,kata bahasa Pamona,berarti ’tanduk kerbau yang runcing’, itulah muncul nama Danau Poso dan Poso,” ujar tokoh adat Pamona, Kristian Botingge (66), di Tenta, Kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, Senin (4/10/2021).
Legenda itu sekaligus pengingat warga di sekitar Danau Poso untuk tak berbuat sembarangan terhadap alam ataupun sesama. Penghargaan terhadap sesama makhluk itu pula yang menjadi bagian dari kehidupan di sekitar danau dengan cerita-cerita tentang kehidupan lain di danau.
Suatu malam pada 1977. Kristian yang saat itu mengikuti Pendidikan Guru Agama bersama rombongan berangkat dari Desa Bancea di selatan danau menuju Tentena di bagian utara. Mereka berangkat dengan sampan dayung.
Tiba-tiba, di tengah danau muncul burung-burung bercahaya mengitari mereka. Beberapa anggota rombongan ketakutan melihat fenomena itu. Setiap kali mereka berkata-kata, makhluk yang berpijar itu semakin mendekat meski wujud pastinya tak bisa mereka kenali.
Dalam diam, rombongan tersebut terus mendayung perahu dikitari cahaya-cahaya. Mereka dikawal hingga subuh sampai di Tentena. ”Kami tidak disakiti sama sekali,” tutur Kristian yang juga aktif di Aliansi Penjaga Danau Poso, forum untuk kelestarian ekosistem danau.
Masih terkait makhluk bercahaya, hingga saat ini warga sering menyaksikan serupa makhluk seperti cahaya lampu senter di danau. Yang mereka yakini ”makhluk” itu terlihat muncul dari dalam danau, kadang teramati terbang di permukaan danau. Masyarakat setempat menyebutnya ”lampu danau”.
Baca juga: Goa Kubur Purba Kembali Ditemukan di Poso
Tak hanya itu, bagi segelintir orang, di danau ada semacam pemberi peringatan bencana atau petaka. Sinyal itu dibunyikan batu di dekat Goa Pamona, tak jauh dari jembatan yang menghubungkan timur dan barat Tentena. Warga menyebutnya watu nggongi (batu gong).
”Kalau watu nggongi bunyi, itu tanda bahaya. Orang jadi hati-hati ketika naik perahu di danau, awas tenggelam. Dan, memang dulu ketika itu bunyi ada yang tenggelam,” kata Kristian yang juga Ketua Dewan Adat Kelurahan Pamona.
Baginya, pengalaman dan cerita-cerita terkait Danau Poso menunjukkan bahwa selain manusia, ada kehidupan lain di danau dan sekitarnya. Kehadiran mereka harus dihargai. Harmoni itulah yang hidup ratusan tahun di sekitar Danau Poso sehingga semuanya terjaga baik. ”Danau memberikan kehidupan, lalu manusia di sekitarnya menghormati semua yang ada di danau,” tuturnya.
Kearifan lokal
Masyarakat sekitar danau mengejawantahkan relasi harmonis itu dalam rupa-rupa kearifan lokal, antara lain wayamasapi dan mosango. Wayamasapi adalah cara menangkap ikan, terutama sogili, dengan membangun pagar dari bambu dan kerangkeng/jerat semacam bubu kerucut di pinggir danau.
Sidat biasanya masuk ke kerangkeng pada malam hari. Begitu berada di dalam jerat yang terbuat dari bambu, ikan tak bisa keluar lagi. Biasanya ikan yang kecil dilepas ke danau, hanya ikan besar layak konsumsi yang diambil.
Laku saling menghargai kehidupan lain di danau juga terwujud di mosango. Di area mosango, ikan ditangkap menggunakan keranjang. Area mosangobiasanya di pinggir danau yang terbentuk seperti delta tempat air pasang dan surut. Seperti wayamasapi,dalammosango,hanya ikan besar yang diambil untuk dikonsumsi.
Lokasi favorit mosango selama ini di muara Tentena yang disebut kompo dongi yang saat ini ditimbun untuk diubah menjadi taman konservasi. Pada Festival Danau Poso setiap tahunnya di pinggir danau, mosango menjadi salah satu atraksi wisata.
”Orang-orang dulu dan sampai saat ini hidup dengan cerita dan kearifan lokal dalam memanfaatkan Danau Poso. Inilah yang perlu terus dijaga, danau dan manusianya atau ekosistem secara keseluruhan,” tutur Kristian.
Wayamasapi ini sudah turun-temurun ada dan unik. Kami mau tetap bertahan dengan cara menangkap ikan seperti ini.
Harmoni ekosistem itu, menurut Kristian, timpang dalam pengelolaan Danau Poso yang mengalirkan air ke Sungai Poso menjadi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dikelola PT Poso Energy. Tak hanya soal sawah warga di pinggir danau yang terendam diduga karena bendungan untuk PLTA Poso 1 dan bisa melahirkan masalah sosial-ekonomi, seperti kemiskinan di kemudian hari, juga terancamnya praktik budaya, seperti mosango.
Titik favorit untuk mosango, yakni kompo dongi atau muara Danau Poso, tak bisa lagi digunakan karena ditimbun dan dijadikan taman konservasi oleh perusahaan. Kawasan itu juga menjadi salah satu pusat biodiversitas danau karena kaya akan makanan untuk biota danau.
Ancaman nyata
Danau Poso memang menghadapi tantangan, terlebih lagi ke depannya seiring meningkatnya jumlah penduduk di sekitar kawasan. Daya dukung lingkungan di sekitarnya diperkirakan akan terus terdegradasi.
Meskipun belum ada perhitungannya, sedimentasi terus mengalir ke danau melalui sungai-sungai besar, termasuk Sungai Meko di Pamona Barat. Di lereng-lereng gunung dan bukit, lahan baru untuk pertanian dengan penebangan hutan juga terlihat jelas.
Menjamurnya resor dan penginapan wisata di sepanjang Pantai Siuri, Kecamatan Pamona Barat, dengan pantai pasir putih kekuningan, juga bentuk ancaman lain terhadap ekosistem Danau Poso. Ancaman itu berupa limbah kegiatan wisata yang berlebih dan penebangan pohon untuk pembangunan obyek wisata.
Dampak lebih besar ke depannya terkait pemanfaatan pada tingkat maksimal bendungan Sungai Poso untuk PLTA Poso 1. Pemanfaatan maksimal bisa mencapai elevasi 512,2 meter di atas permukaan laut (mdpl). Padahal, dari uji coba tahun lalu saja maksimal baru di level 511,7 mdpl dengan dampak sawah terendam.
Terkait hal itu, Manajer Lingkungan, Kehutanan, dan CSR PT Poso Energy Irma Suriani memastikan pihaknya sudah mengantisipasi kemungkinan tersebut. Bentuknya bisa pendampingan usaha untuk petani yang terdampak dan juga kompensasi kerugian.
Baca juga: Cermin Agung di Lembah Behoa
Tati Rakota (46), nelayan yang menangkap ikan dengan wayamasapi, menuturkan, dirinya tak mempermasalahkan penataan Danau Poso. ”Hanya saja jangan sampai menghilangkan salah satu mata pencarian kami. Wayamasapi ini sudah turun-temurun ada dan unik. Kami mau tetap bertahan dengan cara menangkap ikan seperti ini,” tuturnya yang bisa mendapatkan hingga 30 kilogram sidat semalam dari wayamasapi.
Wayamasapi yang selama ini dibangun di pinggir alur danau menuju muara di Kelurahan Sangele terancam karena pengerukan alur (outlet) tersebut oleh PT Poso Energy. Sebagian besar nelayan wayamasapi sudah menerima ganti rugi dari PT Poso Energy sehingga alat tangkap tradisional itu sudah dibongkar. Tati sejauh ini belum mau kehilangan warisan dari keluarga suaminya, Fredi Kalengke (51), itu.
Bagi Direktur Institut Mosintuwu Lian Gogali, pengelolaan Danau Poso jangan hanya dilihat dalam konteks ekonomi. Danau dengan segala isinya dan manusia yang hidup di sekitarnya harus dilihat sebagai satu kesatuan sehingga ekosistem lestari dan manusia dengan segala aspek kehidupannya tetap berjaya.
Semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan danau secara berkelanjutan. Pemanfaatan dan penataan Danau Poso sebagai salah satu danau prioritas nasional mutlak harus memperhitungkan banyak aspek, mulai dari ekosistem hingga sosial-kultural masyarakat setempat atau peradaban pada umumnya.